Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Ulama Salaf Enggan Dekati Pintu Penguasa (2-Habis)


Suatu saat Muhammad bin Rafi’ An Naisaburi (245 H), ulama hadits semasa Imam Bukhari menerima seorang utusan dari Amir Thahir bin Abdullah Al Khuza’i, seoarang penguasa pada waktu itu. Utusan itu menemui Muhammad bin Rafi’ yang sedang makan roti dengan menyodorkan uang lima ribu dirham. Sekantong uang itu diletakkan di samping Muhammad.

Utusan itu menjelaskan bahwa Amir Thahir mengirimkan uang ini untuk belanja kaluarga Muhammad. ”Ambil, ambillah harta itu untukmu. Saya tidak membutuhkan. Saya telah berumur 80 tahun, sampai kapan saya akan terus hidup?” Jawab Muhammad.

Akhirnya, utusan itu pergi dengan sekantong uang dirham. Namun, setelah utusan itu pergi, putra Muhammad muncul dari dalam rumah, ”Wahai Ayah, malam ini kita tidak memiliki roti!” serunya, sebagaimana dikisahkan Ad Dzahabi dalam Thabaqat Al Huffadz (2/510).

Ada pula sebuah kisah menarik lainnya, tentang Imam Al Auza’i (157 H). Setelah memberi nasehat kepada Khalifah Al Manshur, beliau meminta izin kepada khalifah, untuk pergi meninggalkannya demi menjenguk anaknya di negeri lain. Al Manshur merasa bahwa Al Auza’i telah berjasa kepadanya, karena nasehat-nasehat yang telah disampaikan kepadanya. Akhirnya, ia ingin memberi ”bekal perjalanan” untuk ulama ini. Namun apa yang terjadi? Sebagaimana disebutkan dalam Al Mashabih Al Mudzi` (2/133,134), Imam Al Auzai menolak. ”Saya tidak membutuhkan itu semua, saya tidak sedang menjual nasehat, walau untuk seluruh dunia dan seisinya.” Ucap beliau dengan tegas.

Ada beberapa ulama lain, yang juga tegas menolak pemberian para penguasa. Adalah Kamal Al Anbari (513 H), dalam Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra (7/155), disebutkan bahwa beliau adalah ulama nahwu yang memiliki harta pas-pasan. Hidupnya hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.

Namun keadaan itu tidak mempengaruhi sikap beliau. Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Anbari menolak. Sehingga utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”.

Al Anbari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”

Perkataan Al Anbari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima dan memberikan hadiah itu kepada anaknya.

Abu Hasan Al Karkhi (410 H) termasuk bagian dari deretan para ulama yang menolak pemberian penguasa. Saat beliau menderita sakit keras, 4 sahabatnya menjenguk, merasa iba dengan keadaan Al Karkhi. Akhirnya mereka berunding mengenai biaya pengobatan, karena tidak ingin memberatkan umat Islam, mereka bersepakat untuk meminta penguasa waktu itu, Saif Ad Daulah agar memberikan bantuan.

Setelah dilaksanakan, mereka mengabarkan hal itu kepada Al Karkhi. Bukan malah senang, Al Karkhi malah menangis, dan berdoa, ”Ya Allah, jangan Engkau jadikan rezeki untukku, kacuali apa yang biasa Engkau berikan.”

Doa Al Karkhi terkabul, beliau telah wafat terlebih dahulu, sebelum bantuan itu sampai. Barulah setelah itu, surat dari Saif Ad Daulah berserta sepuluh ribu dirham tiba, dan disebut dalam surat, bahwa penguasa berjanji, siap memberikan uang sebesar itu pula suatu saat nanti. [thoriq/www.hidayatullah.com]

Posting Komentar

0 Komentar