Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Masyumi dan Kesederhanaan Hidup

Oleh: Beggy Rizkiyansyah

Sesungguhnya kita tidak perlu merasa heran dengan sikap para tokoh Masyumi yang anti korupsi. Karena sikap itu telah ditunjukkan oleh paratokohnya dengan kasat mata dalam kesehariannya. Mereka adalah pemimpin yang seringkali dikenal hidup sederhana dan taat beragama. Jika kita menilik kembali pada saat Masyumi beserta tokoh-tokohnya, umumnya kita akan mendapatkan  kesan kehidupan mereka yang jauh dari kemewahan.

Meskipun memegang jabatan tinggi di pemerintahan, hidup mereka tak lekat dengan gelimang harta. Sebut saja kisah kesederhanaan M. Natsir, yang diakui oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin.
Nama Natsir dikenal oleh Kahin, lewat H. Agus Salim. Beliau (H. Agus Salim) merekomendasikan nama Natsir sebagai narasumber untuk Republik.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang Menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, anda seharusnya bicara dengannya,” jelas H. Agus salim.

Kahin membuktikan dengan matanya sendiri, ia melihat Natsir sebagai Menteri Penerangan, berdinas dengan kemeja bertambal. Sesuatu yang belum pernah Kahin lihat di menteri pemerintahan manapun. Muhammad Natsir. [70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. (Buku Peringatan Mohammad Natsir / Mohamad Roem 70 Tahun), Pustaka Antara. 1978. Jakarta].

Bahkan ketika menjabat sebagai Perdana Menteri pun, Natsir tak mampu membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya selalu di isi dengan kisah pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Kisah kesederhanaan Natsir terus berlanjut, tahun 1956, ketika telah berhenti menjadi Perdana Menteri dan menjadi pemimpin partai Masyumi, Natsir pernah akan diberikan mobil oleh seseorang dari Medan. Ia ditawari Chevrolet Impala, sebuah mobil ‘wah’, yang sudah diparkir didepan rumahnya. Namun Natsir menolaknya. Padahal saat itu mobil Natsir hanya mobil kusam merek DeSoto. (Politik Santun Diantara Dua Rezim. Majalah Tempo. 20 Juli 2008)

Jabatan yang tinggi menghindarkan mereka dari penyalahgunaan amanah. Hal ini berlaku juga pada Sjafrudin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi yang kental dengan dunia ekonomi. Tahun 1951, setelah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Sjafruddin ingin terjun di sektor swasta. Nafkahnya sebagai menteri, sangat pas-pasan, bahkan kurang.

Bagi menteri Sjafruddin, haram baginya menyalahgunakan kekuasaan, termasuk sambil berbisnis ketika menjabat, atau menerima komisi.Setelah tak menjabat, ketika itu datang tawaran untuk menjadi Presiden De Javasche Bank (kemudian dikenal dengan Bank Indonesia). Tawaran ini diberikan langsung oleh salah seorang direksinya, Paul Spies.

Sjafruddin menolaknya, dengan berbagai alasan, termasuk keinginannya mendapatkan penghasilan lebih. Ia merasa De Javasche Bank, yang akan dinasionalisasi oleh pemerintah, pasti akan turut mengalami penurunan gaji.  Ia merasa keberatan karena harus mendapatkan penghasilan pas-pasan, seperti menjadi menteri dahulu. Namun justru prinsip kejujuran inilah yang dicari oleh Paul Spies. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui tak akan menurunkan gajinya. Akhirnya jabatan itu pun diterimanya.

Gejala lain dari hidup para tokoh ini adalah, kondisi mereka serupa saja, baik saat sebelum menjabat, saat menjabat, atau pun setelah menjabat. Tetap sederhana. Hidup mereka hanya mengandalkan gaji saat menjadi pejabat. Hidup para tokoh Masyumi yang sederhana semakin terlihat tatkala mereka ramai-ramai dipenjara oleh rezim Soekarno, tentu saja bukan karena tuduhan korupsi. Tetapi melawan pemerintahan. Ketika masing-masing masuk bui, para istri mereka yang mengambil alih posisi mencari nafkah. Tak ada tabungan, atau harta melimpah yang disimpan suami mereka. Isteri dari Buya Hamka merasakan betul keadaan itu.

Semenjak Buya Hamka di tahan, ia sering berkunjung ke pegadaian. Seringkali perhiasannya tak dapat lagi ditebus.  Nasib serupa dialami Ibu Lily, istri dari Sjafruddin Prawiranegara, hidup menumpang di rumah kerabat danmenjual perhiasan. Rumah mereka yang dibeli dengan mencicil ke De Javasche Bank,  pun turut di sita.

Kisah-kisah para tokoh Masyumi yang tak punya rumah seringkali terdengar. Setelah bebas dari penjara, Natsir akhirnya bisa memiliki rumah, setelah membeli rumah milik kawannya, itu pun dengan cara mencicil dan meminjam sana-sini.

Begitu pula dengan Boerhanoeddin Harahap, ketika baru bebas, ia hidup menumpang di rumah adiknya yang sempit, di sebuah gang kecil, di Manggarai Selatan. Boerhanoeddin akhirnya memiliki rumah, dengan cara mencicil rumah yang dipinjamkan seseorang di daerah Tebet, Jakarta Selatan.
Teladan hidup sederhana ini menghindarkan mereka dari godaan hidup mewah, dan kemungkinan tuduhan korupsi. Bagaimana mungkin akan dituduh korupsi, jika rumah pun tak punya? Kesadaran tinggi akan amanah dan kesalehan merekalah yang menghindarkan mereka dari gaya hidup mewah yang seringkali memicu korupsi. Mereka lebih memilih hidup sederhana, ketimbang hidup mewah dengan mengumbar berbagai dalil sebagai dalih.

Teringatlah kita akan pesan Buya Hamka bagi para pejabat, untuk menghindai gaya hidup mewah;
“Sejak dari kepala negara sampai kepada menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah ditulari oleh kecurangan korupsi. Sehingga yang berkuasa hidup mewah dan mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak mati kelaparan, telah kurus-kering badannya.”
Buya pun melanjutkan dengan gamblang, ketika menjelaskan surat Ali Imran ayat 161 ini dalam Tafsir Al Azhar,

“...Nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu penguasa luarnegeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakana menurut rasa halusiman dan Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara, bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan ummat.”

Maka cerminan dari masa lampau tak pernah bisa kita hapuskan jika ingin melangkah. Sebaiknya para pengusung, pendukung dan terutama partai-partai berbendera Islam, mulai memikirkan kembali amanah mereka dan mulai bersikap hidup sederhana, menghempaskan gaya hidup bergelimang harta-dengan berbagai dalih-, seperti yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu kita.*
 Penulis adalah pemerhati masalah sejarah

Posting Komentar

0 Komentar