Suksesi
kepemimpinan nasional baru saja terjadi di Persatuan Islam (Persis), salah satu
ormas Islam terkemuka di Indonesia. Posisi ketua umum yang ditinggalkan
almarhum KH Abdul Latief Muchtar, MA karena wafat Oktober tahun lalu kini
ditempati oleh Ustadz Shiddiq Amin.
Kabarnya
Shiddiq melewati beberapa tokoh senior di teras organisasi itu. Banyak yang
berharap Persis tampil makin segar di bawah kendali generasi baru. Organisasi
ini memang dikenal menajamkan perhatiannya pada persoalan-persoalan hukum
Islam. Perkembangan masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang menuntut Persis
makin cekatan dan makin luas wilayah kerjanya.
Harapan
itu dicetuskan juga oleh Hud Abdullah Musa, tokoh pendidikan Persis dari Bangil,
Jawa Timur. Orang memang mengenal poros Bandung-Bangil sebagai harmoni kekuatan
inti gerakan dakwah yang berpusat di Bandung ini. Adalah Ustadz A. Hasan, ulama
legendaris Persis yang tafsir al-Qurannya
‘Al Furqon’ tersebar di mancanegara,
yang telah sengaja atau tidak- membangun kekuatan itu dengan kepulangannya ke
kampung halamannya di Bangil.
Selain
berperan sebagai Koordinator Pimpinan Pusat Persis untuk Indonesia Bagian
Timur, Hud yang salah satu buyut A. Hasan ini juga Pemimpin Redaksi majalah
hukum Islam terkenal Al-Muslimun.
Jabatannya yang lain Kepala Bagian Pendidikan Yayasan Pesantren Persis, Bangil.
Kalem, tenang, dan lebih bersosok sebagai guru yang arif, begitulah Hud tampil
sehari-hari. Sarjana Syariah lulusan Universitas Baghdad, Iraq (1976) dan
master Sosiologi dari Universitas Islam Karachi, Pakistan (1980) ini lebih memillih
beristiqamah mendidik dan membina masarakat saat lingkungan bergaulnya mufai
melirik politik praktis.
Selain
mengajar fiqh da'wah (hukum-hukum dakwah) dan tsaqafah Islamiyah (peradaban
Islam) di pesantrennya, ia juga aktif membina mahasiswa di berbagai kampus
perguruan tinggi. Setiap Jumat malam Hud menjadi pembicara tetap di Masjid Al-Hilal,
Surabaya, untuk materi fiqh shirah (hukum-hukum sejarah) dan fiqh harakah
(hukum hukum pergerakan).
Berikut
ini pandangan-pandangan pria
kelahiran Bangil, 9 Oktober 1948 ini kepada Akbar Muzakki dari majalah Suara Hidayatullah.
Bagaimana Ustadz melihat perkembangan Persis selama ini?
Persis sebagaimana organisasi Islam yang
lain telah mengalami regenerasi. Meskipun regenerasi
di Persis tergolong lambat,
pada masa kepemimpinan Pak Latief (alm. KH Abdul Latief Mukhtar) Persis telah dibawa ke
wilayah yang lebih luas. Kalau dulunya lebih banyak berkecimpung di wilayah
ibadah mahdhah, pada masa Pak Latief
meluas dan mencakup juga masalah-masalah sosial, ekonomi bahkan pula pada
pendidikan dan politik digarap dengan jitu. Kita berharap Shiddiq Amin dapat meneruskan
perkembangan tersebut. Jangan lagi
sibuk dengan masalah-masalah intern raja, yang tidak ada habisnya, yang akan
berakibat lambatnya perkembangan organisasi. Kehadiran Shiddiq Amin di
kepemimpinan menandakan tidak adanya pembedaan berdasar usia dan senioritas,
tapi pada kemampuan. Insya Allah dia mampu.
Ada anggapan bahwa fatwa-fatwa Persis masih ketinggalan,
terutama pada
soal-soal kontemporer?
Benar
bahwa Persis tidak terlalu cepat menanggapi masalah-masalah masa kini.
Nampaknya karena peninggalan gaya masa lampau yang lambat. Karenanya harus ada
gebrakan agar cepat menangkap seperti organisasi Islam yang lain.
Apa upaya yang bisa Anda sarankan?
Nampaknya
Persis lemah dalam hal publikasi masalah hukum. Ini perlu jadi perhatian.
Jalinlah kerja sama
dengan media-media
massa yang kuat. Kita tidak bisa
lagi hanya mengandalkan (media) yang dimiliki Persis.
Sebenarnya wilayah masyarakat yang jadi binaan Persis itu
yang bagaimana?
Sejak
didirikan oleh usahawan Palembang yang ada di Bandung, dakwah Persis dinilai
dari masjid yang sangat mudah diterima oleh semua
kalangan. Mulai dari kalangan petani di pedesaan hingga kalangan
cendekiawan seperti Natsir (Dan
kawan-kawan yang berkumpul di Jong Islamiten Bond (JIB) waktu itu.
Para
aktivis JIB ini belajar agama pada A. Hasan. Dilihat dari ajaran yang
disampaikan Persis, sesungguhnya dakwahnya tidak disampaikan di kalangan terbatas
tetapi menyeluruh ke semua lapisan
masyarakat. Namun dalam
perkembangan berikutnva, lantas mengalami penyempitan gerakan dakwah yaitu
mengarah ke soal-soal ahkam
(hukum) semata.
Padahal
di masa A. Hasan, soal-soal ideologis, politik juga ditangani. Sebab apa pun
isu yang muncul selalu ditanggapi secara serius oleh A. Hasan dan santri-santrinya. Malah di
zaman itu sepertinya sudah ada pembagian tugas. Misalnya Natsir harus menangani
isu-isu sekularisme, menghadapi ajaran sesat diserahkan kepada seseorang.
Bahkan sampai pada masalah-masalah politik praktis, A. Hasan menyerahkan kepada
Isa Anshary. Nah
kemudian generasi berikutnya lebih menangani masalah ibadah mahdhah. Panjang sekali masa penyempitan
itu.
Apa sebab utama penyempitan itu?
Saya
pikir, sistem yang dipakai memang berbeda. Abdurrahman maupun Abdulkadir Hasan,
anak-anak A. Hasan, lebih serius menangani pesantren: soal
pendidikan dan hukum agama. Sejak tahun 1958, tokoh seperti ayah mereka yang perhatian dan wawasannya
seimbang keluasannya sudah tak ada lagi.
Persis
lalu lebih membumi sebagai gerakan agama dalam masalah tertentu. Sementara
tokoh terkemuka lainnya seperti Natsir maupun Isa Anshary lebih enjoy di partai, dan secara
organisatoris sudah jarang terjadi komunikasi.
Natsir
sempat mendirikan Pendis (Pendidikan
Islam) di Bandung dengan harapan mampu melahirkan wajah-wajah kader seperti dia
sendiri. Tapi karena kesibukannya Pendis pun bubar.
Berkaitan dengan pesantren, seringkali orang membedakan
corak pendidikan Pesantren Persis Bangil dengan Bandung, bagaimana bisa seperti
itu?
Memang
ada perbedaan. Bangil tidak terikat secara struktural organisatoris, Bangil diikat
dengan Yayasan Persis. Pesantren-pesantren Persis di Jawa Barat langsung ada di
bawah organisasi Persis sehingga bisa ada keseragaman. Namun pada prinsipnya ada
kesamaan, apa pun yang dilakukan
Persis tetap saja orang mengklaim bahwa pesantren itu ada di masalah-masalah
hukum agama. Meskipun tidak
disengaja, figh itu menjadi ciri khas Persis baik di Bangil atau di Bandung.
Dalam pelaksanaannya?
Agak
berbeda sedikit. Kalau di sini (Bangil) pelajaran fiqh tidak dianggap pelajaran fiqh,
karena yang dipakai
adalah kitab hadits Bulughul Maram.
Sedang di sana, fiqh yang dibuat dan yang telah disusun berdasarkan faham
mereka. Di sini
pelajaran kitab hadits itu ditambah dengan ilmu alatnya: ushul fiqh dan bahasa Arab. Sehingga murid diharapkan dapat meng-istimbath
(mempertimbangkan secara komprehensif) sendiri hukum itu dengan ayat dan
hadits. Pikiran anak-anak jadi lebih hidup.
Adakah peluang mempertemukan pesantren di daerah dengan
pesantren mahasiswa dan halaqah-halaqah mahasiswa di kota-kota besar?
Memang
gejala ini semakin nampak scjak tahun 1980-an. Ormas-ormas Islam seperti HMI,
PII, Persis sendiri maupun Muhammadiyah dan lainnya tidak memberikan tawaran
yang sesuai dengan kehausan akan agama.
Seperti
HMI yang lebih cenderung terhadap politik tidak menghilangkan dahaga orang akan
Islam. Persis lebih banyak soal hukum yang praktis-praktis. Walhasil mereka tidak disambut
terlalu baik. Sementara
kelompok-kelompok kecil di kampus
justru memberikan hal-hal yang mendasar seperti aqidah.
Seperti yang dikatakan Pak Natsir, mestinya kita introspeksi, karena kita membangun
dinding tapi melupakan pondasi. Dinding-dinding
itu akan roboh bila dihembus angin karena pondasinya tidak kuat.
Jadi sebaiknya metode dakwah yang bagaimana yang
dikembangkan sekarang?
Fiqhud dakwah sebenarnya harus tetap menjadi acuan. Yang
disebut halaqah itu
sesungguhnya sudah ada sejak
jaman Rasulullah, berupa pertemuan-pertemuan di rumah Arqam bin Abil Argam
serta di rumahnya Fatimah
adiknya Umar.
Rasulullah
membagi tugas ke
sahabat-sahabat, ada halaqah tafsir
ke Ibnu Abbas, halaqah fiqh kepada
siapa begitu. Imam-imam
halaqah itu selanjutnya juga membentuk
halaqah lain yang lebih luas
dan banyak jumlahnya. Inilah embrio sistem pendidikan Islam yang sesungguhnya. Karena makin membesar dan tidak
dapat tertangani lagi maka kemudian diarahkan menjadi bentuk yang lebih besar
yang di kemudian hari ditiru oleh pesantren. Lalu dengan menggabungkan halaqoh, tetap saja mereka dibina
oleh imam-imam mereka sesuai dengan bidangnya.
Lembaga
pendidikan ini lalu diformalisasi oleh
pemerintahan-pemerintahan Islam menjadi
madrasah-madrasah. Terus terang,
pada saat masih berbentuk halaqah dahulu kontrol akan lebih
baik karena anak didik terus
terpantau secara efektif, baik perkembangan intelektual, mental, spiritual
maupun fisiknya.
Di
kampus-kampus yang satu kelas
berisi lebih dari 50 orang, mungkin ilmunya
bisa terpakai dengan indeks prestasi, tetapi
kepribadian dan spiritualnva tidak
bisa dipantau lagi karena ter¬alu banyak orang. Misalnya, seorang ustadz mengajarkan ma'iyatullah (kebersamaan dengan Allah).
Kalau di kelas
hanya sekadar
ilmu tentang maujud Allah bersama kita, dibawakan ayat-ayatnya dan hadits- haditsnya sampai hafal, sudah.
Waktu ujian mereka bisa menjawab dalam lisan maupun tulisan. Tetapi apakah
mereka merasakan kebersamaan dengan Allah itu yang tidak bisa terjamin.
Kan di
halagqah setelah disampaikan terus
dilakukan kemudian diterapkan di lapangan. Kalau
ini tidak terlaksanakan maka akan
disampaikan lagi materi itu dengan cara yang lain. Sehingga perkemnbangan murid
tertata dengan efektif. Memang
tidak mudah untuk menjadi seorang pendidik di situ. Karena yang disebut murabi atau
mursyid itu bukan saja harus
selalu memantau murid-muridnya tapi juga membenahi dirinya terus-menerus agar tetap
berkualifikasi orang yang bias dijadikan uswah. Yang begini, hanya di pesantren
dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh.
Selain kurang memenuhi kehausan agama, apa lagi yang Anda
anggap kurang dari ormas-ormas dakwah kita?
Sistem
pembinaan jamaah
tidak mempunyai ukuran yang jelas. Kalau di halaqah-halaqah itu ada ukuran
tertentu, misalnya pada tahap ini anggota telah memahami sekian persen, dan format
akhlaknya juga sudah begini atau
begitu.
Dengan
begitu massa tidak terlalu tergantung pada figur kepemimpinan. Ketergantungan
pada figur menyebabkan turun naiknya kualitas massa menjadi rentan. Misalnya, Amien Rais di
Muhammadiyah sudah memasuki tahapan yang tinggi. Karena tidak ada ukuran yang
jelas, bisa jadi setelah diturunkan
dan diganti yang lain, kualitas dakwah dan jamaahnya malah menurun. Harus ada pembagian yang jelas
antara strategi dakwah dengan dakwah khash
(khusus). Misalnya, bila disepakati bahwa kita garap bersama aqidah umat, lalu
ukhuwwah, lalu masalah ekonomi dan sebagainya. Harus ada
kesepakatan-kesepakatan di antara ormas Islam untuk merancangnya. Sedangkan dakwah khashshah, masing-masing bisa berbicara
sendiri di dalam tanpa harus ada melibatkan ormas lain sesuai kebutuhan
intern-nya. Namun tetap harus menyertakan problem-problem asasi keumatan.
Dengan cara ini akan berlaku suatu proses
penyatuan pemikiran umat Islam.
Bagaimana caranya untuk mempertemukan arus gerakan dakwah?
Apa sebenarnya yang harus mendapatkan prioritas?
Insya
Allah soal missi mungkin sudah menyatu tapi soal visi masih belum. Visi dalam
melihat Islam dan melihat realita-realita yang dihadapi Islam. Banyak di kalangan kita
yang memandang Islam sebagai idealitas yang harus diterapkan sekaligus, mengabaikan
realita-realita kelemahan umat
kita. Akibatnya terkadang muncul ekstrimitas dari pengikut-pengikutnya. Lalu
biasanya disertai sikap mudah menghakimi orang
lain salah, salah, dan salah.
Jadi
selain fiqhud dien
(pemahaman tentang agama) yang harus disatukan, juga ada fiqh aulawiyah (fiqh
prioritas) tentang apa-apa yang mesti didahulukan penerapannya.
Untuk
menuju ke sana, sosialisasi
pemikirannya jangan diarahkan pada penyatuan ormas-ormas Islam. Saya tidak
setuju, karena keragaman pemikiran memang sudah begitu adanya. Itu tidak akan
memecahkan persoalan, tapi malah hanya menunda suatu perpecahan yang lebih
besar. Yang
penting ada kesamaan fikrah mengenai Islam. Konflik muncul karena memandang Islam secara sektoral.
Bagi orang Persis, kalau hukumnya sudah
baik maka Islamnya baik. Bagi Muhammadiyah kalau sosialnya baik, maka Islamnya
sudah baik. Bagi PPP kalau politiknya sudah canggih, maka Islamnya baik. Islam
tidak dipandang utuh. Kedua,
interaksi dengan ajaran Islam. Interaksi yang dimaksud adalah adanya kesatuan
ajaran aqidah, fikrah dan perasaan dalam berislam.
Secara
eksternal harus dilakukan simbol-simbol Islam seperti wanita muslim harus
berjilbab, lelaki muslim berjenggot. Simbol-simbol itu sangat diperlukan untuk
membedakan mana yang
muslim dan mana yang
tidak. Kalau ada pemikiran bahwa simbol Islam itu akan menimbulkan sektarianisme,
justru yang mengatakan itu telah sektarian.
Ketiga,
kebersamaan dalam dakwah. Keempat, setiap
pelaku dakwah harus mengerti tentang mas'uliyah,
tanggung jawab terhadap persoalan Islam, dakwah dan umat Islam. Sedangkan yang
terakhir, setiap
muslim pelaku dakwah harus mempunyai kafa'ah, kemampuan sesuai dengan tanggung
jawabnya.
Tujuan
dari semua itu ialah kekuatan. Dakwah harus melahirkan
kekuatan umat. Dengan kekuatan inilah sistem kehidupan bisa diarahkan secara
Islami. Maka kekuasaan dalam diri umat Islam adalah kekuasaan Allah yang akan
menggerakkan hidup dan kehidupan.
Dalam kaitannya dengan gerakan dakwah, apa yang Anda saksikan di Pakistan?
Saya
dapat menyaksikan gerakan Jamiat-i-Islami yang elitis itu dan gerakan Jamaah
Tabligh yang sangat merakyat. Namun, meski tidak terlibat langsung dalam gerakan
mahasiswa, saya dapat melihat langsung bahwa kelompok Zulfikar Ali Buttho lebih
berpengaruh ketimbang gerakan Islam tadi.
Mengapa Jamaah Tabligh bisa lebih merakyat ketimbang
Jamiat-i-Islami maupun Hizbuttahrir?
Organisasi
pimpinan Abul A'la al-Maududi itu
sangat terkesan elit, hampir seluruh pimpinan senat dikuasainya, tetapi sayangnya
kurang mempunyai akar di bawah. Ketika Zia-ul-Hag naik umat
Islam tetap saja minoritas kekuatan politiknya, karena massa tetap dikuasai Partai Rakyat
(PPP) pimpinan Bhutto. Kekuasaan yang direbut oleh Zia-ul-Haq tidak
dimanfaatkan untuk memperkuat akar massa
Islam. Akibatnya, begitu Zia jatuh, dengan segera massa Bhutto bangkit lagi
mendukung putrinya. Sementara, Jamaah Tabligh yang mempunyai rekrutmen massa yang besar.
Ketika menjadi penyiar Radio
Nasional Pakistan program berbahasa Indonesia,
yaitu umat yang terkumpul itu hendak dikemanakan. Yang namanya jihad itu kan
bukan semata-mata khuruj,
bidang¬bidang kehidupan lainnya juga perlu jihad. Masalah ghazzuul fikri
(perang pemikiran) misalnya, tidak pernah ditangani serius oleh Jamaah Tabligh.
Pengamalan
Islam bukan hanya pada soal rekrutmen, pembinaan ibadah, dan sunnah Nabi secara
individual. Islam juga harus diamalkan dalam kehidupan sosial dan kenegaraan.
Kalau
saja para pimpinan Jamaah Tabligh yang rendah hati dan dan pimpinan
Jamiat-i-Islami yang kebanyakan kalangan intelektual bisa bertemu dan bekerja
bersama, insya Allah akan terwujud kehidupan yang lebih Islami.
Pelajaran apa yang bisa diambil untuk Indonesia?
Kita di
Indonesia juga pernah terjebak parsialisme seperti itu. Misalnya Masyumi yang
memiliki anggota-anggota istimewa, yakni NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad
dan lain-lain. Sebenarnya diharapkan tiap organisasi itu mempunyai spesialisasi
di bidang tertentu.
Pandangan
terhadap Islam sudah utuh. Sikap-sikap politik juga memiliki satu muara. Tetapi
ketika Masyumi bubar, perbedaan-perbedaan lahan garapan itu justru menyebabkan
kekaburan dalam memandang Islam, lalu melebar pada perbedaan pemahaman.
Anda optimis suatu saat gerakan-gerakan dakwah di Indonesia
akan bersatu lagi?
Kita
harus optimis pada kemungkinan untuk bersatu, terlebih dengan adanya
globalisasi ini. Literatur dan komunikasi sudah serba terbuka itu.
Gerakan-gerakan Islam baru yang lahir kembali di belahan bumi lain seperti di
Chechnya dan Azerbaijan menghembuskan semangat itu.
Ayahnya
bernama Abdullah Musa dan
ibunya bernama Zulaicha, anak ketiga dari Abdulkadir putra A. Hasan. Putra ketiga
dari delapan bersaudara ini sering berendah hati dengan mengatakan bahwa sekolahnya
sejak kecil tidak ada yang beres. Pada kenyataannya, justru ia mengenyam
berbagai jenis sekolah dan kegiatan yang membuatnya matang. SD di Muhammadiyah,
SLTP Negeri Bangil lalu melanjutkan
ke Pesantren Persis. Setelahnya, ia sempat mencicipi bangku kuliah Fakultas
Syariah Universitas Islam Indonesia (Ull) cabang Bangil selama setahun.
Entah
bagaimana asal-usulnya ia lantas memutuskan merantau ke Jakarta, belajar di
Universitas Islam Jakarta mengambil jurusan ilmu pendidikan. Belum tuntas di Jakarta,
ia terbang ke Iraq setelah beroleh beasiswa di Universitas Baghdad. Kuliah di
fakultas syariah itu diawali lagi dari semester satu. Salah satu pengajarnya
ialah Abdul Karim Zaidah, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Iraq terkemuka.
Lulus
dari Baghdad ia melanjutkan ke Karachi.
Tesis masternya "Sumbangan Pemikiran Mohammad Natsir bagi Pembangunan di
Indonesia". Studi sosiologi menarik hatinya, karena sejak masih aktif di
Pelajar Islam Indonesia (PII) ia banyak melihat ajaran-ajaran agama yang sulit
diterima penjelasannya oleh masyarakat. "Sepertinya antara
nilai-nilai agama dengan masyarakat tidak ada kesatuan," kenangnya.
Menurutnya, sosiologi dapat memberi nilai lebih dalam berkomunikasi dengan
masyarakat.
Kalau
di Iraq,
ia merasakan iklim yang kurang bersahabat bagi gerakan-gerakan dakwah, di
Pakistan ia justeru
merasakan hawa yang segar. Di negeri inilah ia berkenalan dengan para aktivis
dan tokoh-tokoh dari Jamiat-i-Islami, Hizbuttahrir, dan Jamaah Tabligh. Di
Karachi ia juga sempat jadi penyiar Radio Nasional Pakistan untuk program
siaran berbahasa Indonesia selama 8 bulan.
Sepulangnya
dari Pakistan ia menikah dan dikaruniai 5 orang buah hati Zuhal, Jihad, Nibras,
Nuha, dan Ilya'. Tetap tidak tergerak hatinya untuk pindah ke Surabaya,
misalnya, ia lebih senang tinggal di Bangil dan istiqamah menekuni pendidikan
santri-santrinya.
Ada
kata-kata para ulama Jamaah Tabligh yang cukup populer di kalangan mereka,
"Sesuatu yang istiqamah itu lebih utama daripada seratus karamah."
Sumber: Majalah Suara Hidayatullah, Pebruari 1998
0 Komentar