Rosihan Anwar, kerap menyebut para founding fathers asal Minangkabau sebagai seorang yang gilo-gilo baso (nyentrik atau gendeng
dalam istilah Jawa). Hal ini berdasarkan pengamatannya selama bergaul
dengan tokoh-tokoh tersebut, sejak zaman pergerakan hingga masa
kemerdekaan. Jika diperhatikan dan diinap-inap, perkataan jurnalis
kawakan itu ada benarnya. Penulis mencatat, hampir keseluruhan para
pendiri bangsa yang berasal dari ranah Minang, memang memiliki sikap
yang eksentrik. Sebut saja misalnya Tan Malaka, yang gila berkelana demi
kemerdekaan Indonesia sampai lupa menikah. Hatta yang selalu tepat
waktu, tak mau terlambat barang semenit-pun. Mohammad Yamin, seorang
ahli mitos yang asik mendalami budaya-budaya kuno. Atau Buya Hamka yang
keranjingan menulis, hingga melahirkan puluhan buku agama, filsafat,
sejarah, dan cerita fiksi. Satu lagi tokoh Minang yang eksentrik adalah
Haji Agus Salim. Setidaknya, politisi yang dijuluki Orang Tua Besar (The Grand Old Man) itu, memiliki tujuh karakter nyentrik.
1. Ulama Rasional Panutan Para Santri
Ada
beberapa hal yang patut diapresiasi dari cara Agus Salim melakukan
dakwah. Diantara yang cukup menonjol adalah berpikir rasional dalam
menyikapi pesan-pesan agama. Misalnya dalam hal puasa yang mengikuti
waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika tinggal di Amerika, Salim
selalu sahur jam 4 subuh dan berbuka jam 7 malam. Padahal sesuai waktu
setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam. Dalam perkara ini,
Salim melakukan ijtihad dengan berpuasa mengikuti kebiasaan di
Indonesia. Salim juga berpendapat bahwa wine boleh diminum asal
tidak memabukkan. Hal ini diperoleh dari keterangan Emil Salim yang
dikutip Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan (Agustus 2013). Menurut Emil :
“Om tahu batas. Ia tidak mabuk. Tubuhnya yang dihangatkan, bukan otak”,
begitu penjelasan putra Bey Salim (adik Agus Salim) ketika diwawancarai
wartawan Tempo. Satu lagi tindakan Salim yang dirujuk banyak ulama
hingga sekarang adalah dibukanya tabir pembatas antara laki-laki dan
perempuan, ketika berlangsung musyawarah Jong Islamieten Bond (JIB).
Menurutnya tabir itu merupakan produk budaya Arab – bukan Islam, simbol
penindasan terhadap kaum perempuan.
Meski
sikap Salim cenderung nyeleneh dan bertentangan dengan banyak ulama
ketika itu, namun ia tak dicap menganut aliran liberal. Malah
pemikirannya itu kemudian, banyak dipuji oleh tokoh-tokoh Islam seperti
Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif. Kita bisa memahami kedalaman
ilmu Agus Salim, karena ia sempat berguru selama lima tahun di Hejaz,
Arab Saudi. Salah satu ulama yang mempengaruhi cakrawala pemikirannya
adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang juga merupakan pamannya.
Dari ulama tersebut ia memperoleh banyak ilmu baru, terutama mengenai
fikih Islam.
2. Pemimpin yang Mau Hidup Miskin
Haji
Agus Salim merupakan sedikit dari pemimpin bangsa yang mau hidup susah.
Jika saja ia mau meneruskan pekerjaannya sebagai konsulat Belanda di
Arab Saudi, mungkin Salim tak akan hidup melarat. Pada awal abad ke-20
Salim sudah beroleh gaji sangat besar, 200 gulden per bulan. Menurut
budayawan Ridwan Saidi, gaji itu sangat besar untuk ukuran orang Melayu.
Sebagai perbandingan, sebuah keluarga dengan satu istri dan tiga anak,
saat itu dapat hidup layak hanya dengan 15 gulden per bulan. Namun Salim
meninggalkan itu semua, dan memilih menjadi aktivis Sarekat Islam (SI).
Ketika
menjadi aktivis SI, Salim juga menjabat sebagai pemimpin redaksi
“Hindia Baroe”, koran yang dimiliki beberapa pengusaha Belanda. Melalui
koran ini, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak
pro-rakyat. Oleh para pemiliknya, Salim diminta untuk tidak terlalu
keras mengkritik pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya
dengan pengunduran diri. Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim tak
mempunyai pendapatan tetap. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah,
dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Mohammad Roem, aktivis JIB
yang sering bertandang ke rumah Salim menceritakan, bahwa rumahnya di
Tanah Tinggi – Jakarta Pusat, berada di kawasan becek. Ia juga pernah
tinggal di Jatinegara, yang mana keluarga Salim hanya menempati satu
ruangan. Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di pinggir
ruang dan beberapa kasur digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri
luar negeri, Salim dan keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan.
Terakhir ia mondok di Jalan Gereja Theresia No. 20, Menteng, tempat
dimana ia menghabiskan masa tuanya.
3. Mendidik Anak Tanpa Sekolah Formal
Karakter
ini boleh jadi tak dimiliki oleh pemimpin bangsa lainnya, yang hidup
sezaman dengannya. Pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh-tokoh bangsa
menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang paling tinggi. Malah
banyak pula yang menyekolahkannya hingga ke mancanegara. Namun Salim
berbeda dengan yang lain. Bukan karena ia tak mampu membiayai pendidikan
putra-putrinya, namun ia beranggapan sekolah kolonial tak membuat anak
mandiri. Prinsip Agus Salim sama seperti halnya Mohammad Syafei, pendiri
INS Kayutanam. Bedanya Syafei membangun sekolah dengan kurikulum
mandiri, sedangkan Salim mengajarkan anak-anaknya sendiri.
Menurut
Siti Asiah, putri Agus Salim, ketujuh anaknya itu tidak pernah
mengenyam bangku pendidikan formal, kecuali si bungsu Mansur Abdur
Rachman Ciddiq. Salim bersama istrinya Zainatun Nahar-lah, yang
mengajarkan anak-anaknya secara bergantian. Pendidikan ala keluarga
Salim, biasanya berlangsung sambil bermain atau ketika sedang makan.
Menurut Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatje dan maatje
(panggilan untuk ayah-ibunya) sering menyanyikan lagu-lagu yang
liriknya diambil dari karya sastrawan dunia. Selain itu ayahnya juga
pandai berhumor, sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk
melatih kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak
anak-anak berbicara Bahasa Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa
ibu mereka.
Pendidikan home schooling
ala Agus Salim tak semata-mata membuat anak pintar, namun juga
memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak
menginginkan anak-anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh
karenanya, ia mengharamkan memberi kualifikasi seperti “kamu nakal” atau
“kamu jahat” kepada anak-anaknya. Meski tak mengenyam pendidikan
formal, namun anak-anak Salim bisa tumbuh dan “menjadi orang”. Ketika
W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola, putri
tertuanya Dolly – yang ketika itu berusia 15 tahun, mengiringinya dengan
piano. Sedangkan putranya, Islam Besari Salim, terjun di dunia militer
dan sempat menjadi atase militer Indonesia di China.
4. Humoris yang Intelek
Agus
Salim merupakan seorang intelektual yang humoris dan seorang humoris
yang intelek. Pada saat menjadi pimpinan Sarekat Islam, Salim sering
berseberangan dengan anggota yang beraliran komunis. Ia kerap kali
dicerca dan diejek oleh pengikut SI berhaluan kiri. Dalam salah satu
kesempatan di podium, Muso pernah mengejek Cokroaminoto seperti kucing,
dan Agus Salim yang mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin :
“Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!”
jawab hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!”
Begitu giliran Salim berpidato, ia tak mau kalah. “Saudara-saudara,
pertanyaan yang tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak
berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab sendiri, “Anjing!”
Kisah
yang lain. Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang
disampaikan Agus Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan
“mbek, mbek, mbek”. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti
janggut kambing. Meski diejek oleh banyak orang, namun Salim tak
kehilangan akal. Ia malah dengan entengnya menukas, “Tunggu sebentar.
Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk
mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia,
sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada
mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau
pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk
kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”
Satu
lagi humor Agus Salim yang diingat orang ialah ketika ia diundang makan
malam. Pada acara tersebut ia memilih menyantap hidangan dengan
tangannya. Seorang Eropa terkesima dengan tindakan tersebut dan langsung
menegur, “Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah tersedia
sendok”. Salim lantas menjawab, ”Saya menyuap dengan tangan sendiri
untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang Tuan-tuan pakai, pernah
masuk ke mulut banyak orang.” Begitulah beberapa cuplikan humor intelek
khas Agus Salim.
5. Menguasai Banyak Bahasa Asing
Agus
Salim adalah sedikit dari orang Indonesia yang fasih berbicara dalam
sembilan bahasa asing. Selain Bahasa Melayu dan Bahasa Minang yang
menjadi bahasa ibunya, Salim juga menguasai Bahasa Belanda, Arab,
Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Mandarin, Latin, Jepang dan Turki. Ia
juga menguasai beberapa bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda.
Karena penguasaannya yang komplet, Salim beberapa kali ditugaskan
pemerintah mewakili Indonesia dalam berbagai perundingan. Pada tahun
1947, ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi
Inter-Asia di New Delhi. Selanjutnya Salim memimpin delegasi Indonesia
ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Hasilnya,
Indonesia beroleh dukungan kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947),
Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947). Selanjutnya Agus Salim
kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di
Lake Success Amerika Serikat. Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim
kembali diutus untuk berunding dengan Belanda. Kali ini ia pergi bersama
Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, dan
Ir. Djuanda.
Kefasihan
Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang
Indonesianis George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang Salim
dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia
diminta sebagai pembicara tamu di universitas tersebut, sedangkan Diem
sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Belakangan, tokoh
yang terkenal jago omong itu menjadi Perdana Menteri di negerinya.
Melihat keduanya asik berdebat dalam Bahasa Prancis, Kahin begitu
terperangah. Namun ia lebih terperangah lagi, ketika melihat Diem
terpana mendengarkan kata-kata Agus Salim.
6. Pendebat yang Kritis
Dalam suatu pertemuan, penulis pernah mendengar kesan seseorang yang mengatakan bahwa orang Minang itu suko maota, pandai maota, dan lamak maota
(suka bicara, pandai bicara, dan enak ketika berbicara). Dari sifat
itulah kemudian tumbuh sifat inklusif dan egaliter pada kebanyakan
pribadi Minangkabau. Seperti laki-laki Minang yang suka maota
di lapau, Agus Salim juga tangkas dalam bersilat lidah. Kepiawaian ini
berguna sekali ketika ia menjadi wartawan, diplomat, dan politisi. Dalam
sidang Volksraad misalnya, Salim pernah berbantah-bantahan dengan
Bergmeyer tentang kata ekonomi. Hal ini bermula ketika Salim tak
diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer dengan
maksud mengejek, menyela pidato Salim dan bertanya, “Apa kata ekonomi
itu dalam Bahasa Melayu” Bukannya menjawab, ia lantas membalas
pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang sama, “Coba Tuan sebutkan
dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan
sebutkan Bahasa Melayunya”. Karena memang tak ada padanannya dalam
Bahasa Belanda, sontak tantangan tersebut membuat geger seisi ruang
sidang.
Ketika
menulis di berbagai media, sering pula ia menggunakan keahliannya itu
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25
September 1917, ia pernah menulis : “dalam negeri kita, janganlah kita
yang menumpang”. Tulisan ini untuk mengkritik kebijakan Belanda yang
mendiskriminasi masyarakat inlander. Kemudian di harian Fadjar
Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang polisi dan rakyat : “sikap
polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam
memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka
rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad
yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul
kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …” Demikian goresan pena
Salim, yang dimuat di beberapa media terbitan Hindia-Belanda.
7. Guru yang Tak Menggurui
Menurut
pendapat banyak aktivis muslim pra-kemerdekaan, Agus Salim merupakan
mentor yang menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga
merupakan tipikal guru yang membimbing. Ketika berdiskusi ia selalu
menyerahkan kesimpulannya kepada masing-masing lawan bicara. Mohammad
Natsir salah satu murid binaannya pernah menuturkan : “ketika sulit
memperoleh jalan keluar dari sebuah permasalahan, para pengurus JIB
berpaling ke Agus Salim. Di depan orang tua itu mereka memaparkan
permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran Salim yang
berbicara. Panjang lebar, dari semua aspek ia terangkan, namun tak
menyinggung solusi. Kemudian salah seorang pengurus JIB menyela : tapi
mana jawabnya? Agus Salim hanya merespons : “Jawab permasalahan itu ada
pada Saudara-saudara, karena ini persoalan generasi Saudara, bukan
persoalan saya. Lihat anak saya (sambil menunjuk anaknya yang masih
kecil). Jikalau saya menggendongnya terus, kapan ia berjalan? Biarlah ia
mencoba berjalan. Terjatuh tapi ia akan beroleh pengalaman dari situ”
(Ridwan Saidi dalam buku 100 tahun Agus Salim).
Karena
kurang setuju dengan sikap yang menggurui, Agus Salim pernah meminta
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari, untuk mendidik santri agar tidak
mendewakan guru. Menurutnya kultus individu terhadap guru akan membuat
umat menjadi jumud. Alih-alih ingin membebaskan orang sesuai pesan
Islam, taklid buta malah membuat umat semakin bodoh dan jauh dari
nilai-nilai agama.
Sumber: http://jejakislam.net/?cat=12
0 Komentar