Kampung Kauman, Yogyakarta, pada masa lalu dikenal sebagai basis
santri, ulama, dan kaum ningrat. Masyarakatnya dikenal religius dan
santun.
Kata Kauman, menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Adaby Darban, berarti “Tempat Para Penegak Agama”.
Di
kampung ini berkumpul para ulama, penghulu keraton dan para ketib
masjid. Keberadaan Masjid Gede Kauman yang didirikan pada 1773 menjadi
bukti sejarah identitas Kauman hingga kini.
Kampung Kauman pada
masa lalu juga memiliki hubungan yang erat dengan kampung-kampung lain
yang menjadi basis para santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di
Kampung Kauman inilah, Muhammad Darwis bin KH Abu Bakar bin KH Sulaiman
dilahirkan. Muhammad Darwis yang belakangan berganti nama menjadi KH
Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1868.
Garis keturunannya
adalah para ulama di lingkungan keraton. Ayahnya seorang khatib di
Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Siti Aminah,
adalah putri dari seorang penghulu Kesultanan Yogyakarta. Silsilah
keluarga Dahlan sendiri sampai kepada Maulana Malik Ibrahim (w. 1419
M/882 H) yang juga dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali.
Sebagai
anak yang lahir di lingkungan ulama dan keraton, maka pada usia 23
tahun, Dahlan muda sudah menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia berangkat
ke Tanah Suci, bahkan sambil menimba ilmu di sana.
Di Makkah
Al-Mukarramah inilah ia banyak membaca kitab, terutama kitab-kitab yang
ditulis oleh para ulama pembaru yang kemudian dikenal sebagai penggerak
harakah at-tajdid (gerakan pembaruan).
Di Makkah Al-Mukarramah
pula, Ahmad Dahlan berkenalan dengan ide-ide Pan-Islamisme yang saat itu
marak diperbincangkan, karena upaya dominasi Kristen-Barat yang
berusaha menguasai negeri-negeri Islam, khususnya pasca jatuhnya
Khilafah Utsmaniyah di Turki.
Karenanya, Ahmad Dahlan ketika itu
banyak bersentuhan dengan tulisan-tulisan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha,
Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al-Afghani. Bahkan, Ahmad Dahlan pula
yang membawa Majalah Al-Urawatul Wutsqa dan Al-Manar yang ia
‘selundupkan’ lewat perjalanan via kapal yang merapat di Pelabuhan
Tuban, Jawa Timur.
Pemikiran-pemikiran dalam majalah-majalah dan
buku bacaan yang dibawa Kiai Dahlan dari Timur Tengah itulah yang
kemudian banyak mempengaruhi pemikirannya terutama dalam bidang tajdid
(pembaruan), sehingga Muhammadiyah yang dibidani oleh Kiai Dahlan
disebut sebagai Harakah at-Tajdid (Gerakan Pembaruan).
Pada saat
itu, bacaan-bacaan dari Timur Tengah dilarang, karena dianggap oleh
Belanda membawa ajaran Pan-Islamisme yang menyuarakan penentangannya
terhadap penjajahan di negara-negara Muslim.
Dalam pertemuan
tahunan ibadah haji di Tanah Makkah, tokoh-tokoh Islam dari berbagai
belahan dunia, termasuk dari Nusantara, membincangkan upaya untuk
menyelamatkan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme negara-negara
kafir. Kiai Ahmad Dahlan terlibat dalam ide-ide itu selama mukim di
Makkah.
J. Vredebregt dalam tulisan berjudul ”The Hadji” seperti
dikutip W. Poespoprodjo menyatakan bahwa kontak langsung dengan Arabia
mengalirkan pemikiran-pemikiran ke Indonesia. ”Udara” Asia Barat (Timur
Tengah) menghembuskan sikap-sikap baru pada orang Jawa, yakni sebutan
bagi orang-orang Nusantara yang melaksanakan ibadah haji.
Arabia
tak hanya menjadi tempat berkumpul dan bersatunya umat Islam yang naik
haji pada masa itu, tetapi tempat berkumpulnya para ahli-ahli politik
dari berbagai dunia Islam, untuk saling bertemu dan berembuk soal
politik dan rencana-rencana mereka.
Di Makkah juga mereka
mengadakan konsultasi dan saling meminta nasihat, kemudian pulang dengan
semangat baru untuk melawan penjajahan yang dilakukan para penjajah
Kristen.
Kontak langsung dengan Arabia melalui pertemuan dalam
ibadah haji di Makkah menimbulkan ketakutan tersendiri bagi penjajah
terhadap munculnya fanatisme yang digerakkan lewat usaha-usaha membangun
persaudaraan Muslim dunia.
Karena itu, usaha menghalang-halangi
orang pribumi untuk melaksanakan ibadah haji dilakukan lewat Ordonansi
Haji (Peraturan Haji). Larangan berhaji juga diberlakukan untuk para
Pangreh Pradja, Sultan, regent, dan elit-elit penguasa lokal lainnya.
Karenanya,
tak heran jika elit-elit di Jawa pada masa lalu, terutama mereka yang
berasal dari keraton dan priayi yang menjadi kepanjangan tangan
kolonial, tak ada yang melaksanakan ibadah haji.
Sepulang dari
Makkah, KH Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo pada
1909. Namun keberadaanya dalam organisasi yang berada dalam pengaruh
kuat Gerakan Freemason ini tak lama.
Kiai Dahlan melihat Boedi
Oetomo tak mempunyai kepedulian terhadap Islam. Para aktivisnya ketika
itu lebih kental mengamalkan kebatinan, dibandingkan menjalankan
ajaran-ajaran Islam.
Sejak awal berdiri, Boedi Oetomo sudah
didekati oleh kelompok Freemason, yang pada masa lalu disebut oleh orang
Jawa sebagai “Gerakan Kemasonan”. Ketua pertama Boedi Oetomo, Raden Mas
Tirtokoesoemo, adalah seorang Mason, begitu pun ketua-ketua
selanjutnya.
Selama di Boedi Oetomo, Kiai Dahlan pernah berupaya
mengadakan pengajian keislaman, namun usaha itu ditolak oleh para
anggota lainnya yang kebanyakan para penganut kejawen.
Kiai
Dahlan juga gencar melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh lain di kalangan
Kemasonan dan Kristen, seperti Dirk van Hinloopen Labberton (Tokoh
Theosofi-Freemasonry) dan Van Lith (Tokoh Katolik Serikat Jesuit), juga
dikalangan elit keraton Jawa seperti Ki Ageng Soerjomentaram.
Pada
masa itu, kelompok kebatinan-kejawen dan sekular seperti para aktivis
Boedi Oetomo memang seringkali menyerang ajaran-ajaran Islam. Bahkan,
pelecehan terhadap ajaran Islam dilakukan secara terbuka lewat
rapat-rapat umum (openbare) dan media massa.
Inilah
yang juga menjadi keprihatinan Kiai Dahlan, sehingga ketika
ramai-ramainya Nabi kaum Muslimin dihina oleh kelompok tersebut, KH
Ahmad Dahlan bersama para tokoh Islam lainnya terlibat dalam organisasi
Tentara Kandjeng Nabi Muhammad yang bertujuan membela kemurnian Islam.
Sebagai
seorang Muslim yang berilmu, KH Ahmad Dahlan pada waktu itu sangat
prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah netral (neutrale school) yang
bercorak netral agama dan mendapat dukungan pemerintah kolonial Belanda.
Selain
itu, ia juga prihatin dengan menjamurnya sekolah-sekolah yang dikelola
oleh misi Kristen dan kelompok Freemasonry. Ia khawatir, banyak
anak-anak Muslim yang masuk dalam sekolah tersebut sehingga rusak
akidahnya. Ia juga miris dengan banyaknya kaum Muslimin yang masih hidup
dalam kekurangan, sehingga hanya berpikir bagaimana bisa makan, tanpa
memikirkan pendidikan dan masa depan.
Keprihatinan KH Ahmad
Dahlan terekam dalam penelitian yang dilakukan oleh sejarawan senior
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurrachman Surjomihardjo
dalam buku “Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe”.
Dalam buku ini,
dijelaskan keprihatinan KH Ahmad Dahlan dengan tumbuh suburnya
pendidikan netral bercorak barat, yang dikelola oleh Gerakan Kemasonan.
Selain
itu, ia juga prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah Kristen yang
mendapat subsidi pemerintah Belanda, yang kerap melakukan upaya
kristenisasi. Semua sekolah-sekolah ini, selain mendapat dukungan
pemerintah kolonial, juga mendapat dukungan elit pemerintahan setempat
yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh Gerakan Kemasonan
(Freemasonry).
Dukungan pemerintah kolonial terhadap
sekolah-sekolah milik Gerakan Kemasonan dan Kristen adalah upaya untuk
mendirikan sekolah pribumi yang mampu bersaing dengan pesantren yang
menjadi basis pendidikan umat Islam.
Tujuan pendidikan netral
yang didirikan oleh Gerakan Kemasonan dan menjamurnya sekolah-sekolah
Kristen tak lain adalah upaya mematikan peran pesantren.
Pendidikan
netral bertujuan menumbuhkan jiwa loyalitas masyarakat pribumi terhadap
pemerintah kolonial atau mengubah anak-anak elit Jawa menjadi
”bangsawan holland denken” (bangsawan yang berorientasi kebelandaan).
Karena
itu, untuk mendapatkan kaki tangan yang setia bagi pemerintah kolonial
dalam bidang pemerintahan dan jaksa, dibuatlah sekolah pamong praja,
Opleiding School voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Karena
prihatin dengan sekolah-sekolah yang membawa misi anti-Islam itu, KH
Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18
November 1912, yang secara tegas menonjolkan identitas keislamannya.
Muhammadiyah
mempunyai tujuan: Pertama, ”Menjabarkan pengadjaran Igama Kandjeng Nabi
Muhammad sallallahu Alaihi Wasallam kepada pendoedoek boemipoetra di
dalam residentie Djokjakarta”. Kedua, ”Memadjukan hal Igama
anggauta-anggautanya”.
Sebab-sebab berdirinya Muhammadiyah selain
faktor internal, yaitu umat Islam tidak lagi memegang teguh tuntunan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan merajalelanya
kemusyrikan, juga disebabkan faktor eksternal, yaitu kesadaran akan
bahaya yang mengancam akidah umat Islam yang disebabkan oleh upaya
Kristenisasi yang marak saat itu.
Faktor eksternal lainnya
adalah, merebaknya kebencian di kalangan intelektual saat itu yang
menganggap Islam sebagai ajaran kolot, tidak sesuai zaman. Dan yang
terpenting dari sebab berdirinya Muhammadiyah adalah upaya untuk
membentuk masyarakat dimana di dalamnya benar-benar berlaku ajaran dan
hukum Islam.
Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan
beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang
pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung oleh
pemerintah kolonial lewat kebijakan Kerstening Politiek (Politik
Kristensiasi) yang dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di
Nederland dan dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.
Di
antara kebijakan Kerstening Politiek adalah dikeluarkannya ”Sirkuler
Minggu” dan ”Sirkuler Pasar” oleh Gubernur Jenderal pada 1910.
SirkulerMinggu menegaskan bahwa tidak patut mengadakan perayaan
kenegaraan pada hari Minggu. Kegiatan pemerintahan pada hari Minggu
diliburkan. Sirkuler Pasar melarang diadakannya hari pasaran pada hari
Minggu.
Kebijakan ini berlanjut sampai hari ini, sehingga di
Indonesia yang mayoritas Muslim, hari liburnya itu Minggu, bukan hari
Jumat. Inilah di antara keberhasilan Politik Kristenisasi.
Kiprah
KH Ahmad Dahlan dalam membendung arus Kristenisasi dan Gerakan
Freemasonry juga dijelaskan oleh Dr. Alwi Shihab dalam disertasinya yang
kemudian dibukukan dan diberi judul “Membendung Arus: Respon Gerakan
Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”.
Alwi
menjelaskan, bahwa Freemasonry di Indonesia digerakkan oleh orang-orang
Kristen yang sadar diri dan sangat peduli terhadap penyebaran Injil.
Mereka melakukan upaya Kristenisasi, termasuk tentu saja
mempropagandakan ajaran-ajaran Freemasonry.
Alwi Shihab
memaparkan, ”Lembaga ini (Freemason, pen) telah berhasil menggaet
berbagai kalangan Indonesia terkemuka, dan dengan demikianmempengaruhi
berbagai pemikiran berbagai segmen masyarakat lapisan atas… Merasakan
bahwa perkembangan Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung,
kaum Muslim mulai merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam… Dalam
upayanya menjaga dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa,
(Ahmad) Dahlan bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar
dari kondisi yang sangat sulit ini. Untuk menjawab tantangan ini,
lahirlah gagasan mendirikan Muhammadiyah. Dari sini, berdirinya
Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan perkembangan
pesat Freemasonry.”
Selain
jawaban terhadap upaya Gerakan Kemasonan dan Kerstening Politik,
berdirinya Muhammadiyah juga sebagai respon dari berbagai pelecehan
terhadap Islam yang dilakukan oleh para aktivis kebangsaan yang
tergabung dalam Boedi Oetomo.
Dengan bahasa sindiran,
Muhammadiyah menyatakan, ”Jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka
sebaliknya Politik berada di luar Muhammadiyah.” Demikian khittah
perjuangan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya.
Begitulah
kiprah perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam membendung Kristenisasi dan
Freemasonry di Indonesia, dengan mendirikan lembaga pendidikan yang
bercorak Islam.
Sudah sepatutnya, generasi pewaris perjuangan KH
Ahmad Dahlan saat ini, yang menjadi kader Persyarikatan Muhammadiyah,
meniru ketegasan ulama tersebut, terutama dalam mencegah upaya-upaya
kelompok yang merusak akidah! (Artawijaya)
0 Komentar