Oleh: Susiyanto
Sambungan artikel PERTAMA
Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk-beluk tentang Jawa, lembaga
ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping bagi penerjemahan
Bible ke dalam Bahasa Jawa.[ Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007), hlm. 127]
Instituut voor de Javaansche Taal memiliki banyak peran
strategis dalam menentukan wajah Jawa. Berbagai kitab kuno diteliti
ulang, sejumlah pandangan hidup Jawa diberi pemaknaan baru, dan
kebanggaan terhadap masa lalu terutama dari era pra Islam dikembangkan
kembali secara masif. Bahkan beberapa wujud kebudayaan yang menampakkan
anasir Hindhu-Budha dilegitimasi sebagai bentuk kebudayaan “asli Jawa”.
Sementara itu produk kebudayaan Islam dibiarkan tenggelam dan kalau pun
diangkat biasanya lebih pada wujud kebudayaan era transisional yang
masih kental dengan sifat dekaden.
“Pembaratan” Jawa
Lembaga Bahasa Jawa didirikan dengan berbagai tujuan yang hendak
diraih. Bagi Pemerintah negara jajahan, keberadaan lembaga yang mampu
menyediakan tenaga terdidik untuk berdialog dengan pribumi dinilai
menguntungkan dalam upaya menjaga stabilitas dan memelihara hegemoni.
Sementara itu bagi kalangan zending belanda, Instituut voor de
Javaansche Taal berfungsi sebagai ujung tombak bagi penerjemahan Bible
ke dalam Bahasa Jawa. Pendanaan bagi aktivitas penginjilan pun secara
otomatis diperoleh dari Pemerintah Kolonialis melalui lembaga tersebut.
Dengan demikian kepentingan kolonialis dan misionaris terpadu menjiwai
semangat pendirian lembaga ini.
Pemerintah Belanda bukannya tidak mengetahui bahwa tujuan pendirian
lembaga itu berhubungan dengan kepentingan misi Kristen. Baud
mengungkapkan penawarannya tentang pendirian lembaga bahasa tersebut
kepada Gubernur Jendral Belanda sebagai berikut: “Jika pemerintah setuju
maka akan didirikan institut di Jawa untuk studi bahasa-bahasa Timur,
dengan maksud memajukan usaha penerjemahan Alkitab.”[ J.L.
Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara, Jilid 1 (1820-1900) (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006)]
Gericke pada saat di Jawa tahun 1826 telah diberi instruksi untuk
berhati-hati dalam menjalankan tugas peyelidikan di Jawa. Instruksi itu
isinya agar ia menyembunyikan tujuan utamanya membentuk sebuah institut
di Jawa yang berkaitan dengan misi peginjilan di Jawa. Isi instruksi itu
dalam poin ke-9 adalah sebagai berikut:
“Kepada Tuan Gericke dianjurkan dengan sangat agar dalam …
percakapan-percakapannya, khususnya dengan orang Jawa, ia menyatakan
bahwa ia diutus untuk belajar dan mengajar bahasa Jawa, dan menghindari
diskusi-diskusi agama yang tidak bermanfaat dan ucapan-ucapan
menghebohkan yang akan menyingkapkan tujuan lebih lanjut kegiatannya di
sana. Kendati demikian, tujuan tersebut jangan pernah hilang dari
benaknya.”[ J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …, hlm. 36]
Dalam salah satu surat untuk Nederlands Biblegenootschaft (NBG),
masyarakat Bible Belanda, pada Oktober 1852, Gericke menegaskan bahwa
penterjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa itu memiliki tujuan politis
yang akan menguntungkan Pemerintah Belanda. Alasannya, ketika pemerintah
telah menawarkan pendidikan bagi orang Jawa tanpa diimbangi penyebaran
Injil sangat mungkin rakyat jajahan akan menyulitkan pemerintah pada
masa yang akan datang. Gericke menyatakan bahwa jika mereka diberi
pendidikan “tanpa serentak mengajar mereka mengenal Tuhan dan takut akan
Dia maka dimasa depan mereka tidak akan dapat lagi diatur dengan mudah
dan mungkin akan terdorong untuk melemparkan beban yang selama ini
mereka pikul dengan sukarela dan taat … ”.[ J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …, hlm. 36]
Kerja Gericke membuahkan hasil dengan diterbitkannya terjemahan
Perjanjian Lama pada Oktober 1852 dan diterbitkan ulang dalam 3 jilid
tebal berbentuk oktaf pada 1854. Ketika buku itu diterbitkan ulang, NBG
menyatakan bahwa bible berbahasa Jawa merupakan “een waardig
tegengeschenk is voor al de schatten die jaar in jaar uit van dit door
de natuur zo rijk gezegende eiland ons toestromen” (hadiah yang layak
untuk mengimbangi harta kekayaan yang setiap tahun mengalir kepada kita
dari pulau yang diberkati dengan kekayaan alam yang begitu banyak).[
J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …, hlm. 70; Laurens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia, dalam Henry Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (PT Gramedia, Jakarta, 2009), hlm. 472]
Dari pernyataan di atas, bisa dimengerti bahwa NBG selaku lembaga
bible memiliki keterkaitan dengan proses penjajahan di tanah air.
Pendirian lembaga Bahasa Jawa di atas sejatinya merupakan langkah
pemerintah kolonialis untuk memuluskan pemberlakuan Sistem Tanam Paksa
dan model Saldo Positif. Kekayaan dari hasil bumi nusantara dikeruk
untuk mengisi kas negeri Belanda. Dari sini bisa dipahami bahwa NBG
mendukung sistem tanam paksa yang telah menyengsarakan masyarakat
Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa kaum misionaris tidak
mengingkari praktik penjajahan di Jawa. Pembentukan lembaga ini sendiri
justru merupakan bentuk dukungan misi Kristen terhadap kekuasaan dan
hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda.
Jadi pendirian Instituut voor de Javaansche Taal yang digawangi oleh
kalangan penginjil dari NZG tidak murni bersifat akademis apalagi
pengembangan budaya. Juga bukan sekedar menyangkut kepentingan
penyebaran Agama Kristen belaka. Eksistensi lembaga ini secara tidak
langsung membuktikan bahwa kalangan misi mensupport keberlanjutan sistem
tanam paksa. Juga memperlihatkan dukungan lembaga penginjilan terhadap
upaya melanggengkan penjajahan Belanda di Jawa.*
Penulis adalah peneliti – Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Surakarta. Artikel aslinya berjudul “Misionaris dan Kolonialis dalam
“Pembaratan” Jawa (Studi Kasus Instituut Voor De Javaansche Taal Di
Surakarta) dalam laman pribadinya
0 Komentar