Sulit memisahkan agama (baca: Islam) dari Indonesia. Sejarah mengabarkan, bahwa sejak dulu –saat berperang mengusir penjajah- dan bahkan sampai hari ini, spirit agama terus mewarnai dinamika keseharian negeri ini. Maka, menjadi aneh, jika belakangan ada kesan agama akan dipinggirkan lewat berbagai ide dan sikap dari pejabat negara.
Catatan Emas
Siapa yang bisa membantah bahwa negeri
ini dibangun berdasar semangat untuk menegakkan agama (Islam) dan
sekaligus martabat bangsa? Sekadar menyebut contoh, dari Aceh kita
mengenal kegigihan Teuku Umar. Dari Sumatera Utara kita mengenal
keberanian Sisingamangaraja XII yang oleh sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara diyakini sebagai seorang pejuang Muslim. Lalu, dari Sumatera
Barat, kita paham siapa Imam Bonjol.
Sementara, di Jawa ada Diponegoro, di
Makassar ada Hasanuddin, dan di Maluku ada Pattimura. Siapa Pattimura?
Sekali lagi, menurut sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara, Pattimura
adalah seorang pejuang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, dia
juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua
pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau
keduanya (www.voa-islam.com 09/11/2011).
Pada 1945, bangsa ini dengan jujur
mengakui bahwa kemerdekaan yang diraihnya hanya karena berkat rahmat
Allah. Saat itu, kita sepakat pula dengan Pancasila, yang sila
pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Lewat buku berjudul “Demokrasi Pancasila”,
Prof. Hazairin -Guru Besar Ilmu Hukum UI- berpendapat, “Yang dimaksud
dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat
mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan
Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’.” (baca Kholili Hasib, www.inpasonline.com 03/08/2014).
Lebih jauh, lihatlah ketika umur
Republik Indonesia belum genap tiga bulan dan penjajah berusaha ‘masuk’
lagi ke Indonesia. Di tanggal 10 November 1945, terjadilah pertempuran
sengit di Surabaya. Kala itu, pekik Allahu-Akbar dari Bung Tomo yang
disiarkan radio diyakini sebagai penyulut api jihad rakyat dalam membela
agama sekaligus negaranya.
Lalu, jangan sekali-kali melupakan bahwa
beberapa hari sebelum pecah pertempuran yang mencengangkan dunia
tersebut, Resolusi Jihad telah difatwakan oleh KH Hasyim Asy’ari. Apa
Resolusi Jihad itu yang diyakini sebagai pemicu terbesar bergeloranya
spirit rakyat untuk berjuang?
Pada 23 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari
mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang lalu terkenal dengan
istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa
dan Madura menjadi markas pasukan non-regular pasukan Hizbullah dan
Sabilillah. Mereka tinggal menunggu komando (www.nu.or.id 09/11/2012).
Paparan ringkas di atas sekadar
menunjukkan bahwa bangsa ini punya identitas yang sulit dihapus yaitu
kuat memegang teguh ajaran agamanya. Hal itu ditandai bahwa
prinsip-prinsip ajaran agama –semisal amar ma’ruf nahi munkar- terus
diamalkan dalam keseharian.
Urgensi Identitas
Di negeri ini setiap warga yang telah
memenuhi syarat harus memiliki penunjuk identitas bernama KTP (Kartu
Tanda Penduduk). Di dalam KTP berisi sejumlah informasi yang akan
memudahkan identifikasi pada saat-saat diperlukan. Di dalamnya ada
informasi tentang nama, tempat serta tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat, agama, status perkawinan, dan pekerjaan.
Dalam waktu yang lama, tak ada masalah
dengan format KTP. Kontroversi mulai tersulut di masa kampanye Pemilihan
Presiden di sekitar Juni 2014. Bacalah! “Timses Jokowi-JK Wacanakan
Penghapusan Kolom Agama di KTP” (www.jpnn.com 18/06/2014).
Inti berita di atas, Musdah Mulia -dosen
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang juga anggota
Tim Sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla- menyatakan bahwa pasangan calon
presiden yang dijagokannya mendukung penghapusan kolom agama di KTP.
Alasannya, pertama, karena beragama adalah hak pribadi. Kedua,
ada kekhawatiran bahwa pengisian kolom agama disalahgunakan sejumlah
pihak, misalnya untuk membuka ruang diskriminasi dalam pelayanan publik.
Atas ide nyeleneh itu
masyarakat -dan terutama tokoh-tokoh Islam- lantang menolaknya. Kolom
agama bisa memicu terjadinya diskriminasi adalah alasan yang sangat
mudah dipatahkan. Misal, jika memang niatnya jahat untuk melakukan
diskriminasi, maka semua bagian identitas di KTP itu (seperti nama,
tempat lahir, alamat, pekerjaan) juga berpeluang sama untuk dijadikan
pemicu diskriminasi.
Setelah sempat mereda, kontroversi soal
KTP kembali meledak. Pemicunya berasal dari ‘kubu’ yang sama. Ada
berita, bahwa “Mendagri Izinkan Masyarakat Kosongkan Kolom Agama di KTP”
(www.detik.com 06/11/2014). Bahwa,
Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, “Jangan dipaksakan mengisi kolom
agama tertentu karena ajarannya mirip, misalnya. Kasihan kan mereka”.
Esoknya, Mendagri menambahkan, bahwa “Menurut UU kolom agama itu harus
ada. Diisi dengan enam agama itu. Tapi masalahnya sekarang bagaimana
dengan (yang) di luar itu”. (Sekadar mengingatkan, pada pilpres 2014,
Tjahjo Kumolo adalah Ketua Tim Pemenangan Capres Jokowi-JK).
Ide Mendagri ini pun ramai ditolak
masyarakat dan terutama lewat tokoh-tokoh Islam. KH Hasyim Muzadi
-mantan Ketua Umum PBNU- mengatakan bahwa sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila, Indonesia tidak punya hak -apalagi kewajiban-
untuk mereduksi identitas agama dan umat beragama (www.islampos.com
11/11/2014). Sementara, Din Syamsudin -Ketua Umum PP Muhammadiyah-
menyatakan bahwa sebaiknya wacana penghilangan kolom agama dalam KTP
tidak usah dimunculkan kembali. Selain hanya menimbulkan masalah, isu
ini hanya menjadikan kebijakan yang kontraproduktif (www.detik.com 07/11/2014).
Alhasil, kontroversi soal pengosongan
identitas keagamaan di kolom agama KTP sejatinya memang tak perlu ada.
Sebab, banyak hal negatif yang bisa muncul jika kolom itu dikosongi (dan
apalagi jika ditiadakan). Misal, pertama, bisa menyebabkan tumbuhnya berbagai aliran sesat. Kedua, bisa memancing kesan bahwa pemerintahan sekarang takmempedulikan agama dan ini –bisa dibilang- ahistoris.
Sumbr: http://inpasonline.com/new/indonesia-agama-dan-identitas-keagamaan/
0 Komentar