Oleh: Muhaimin Iqbal
KEKUATAN perdagangan umat
ini di masa lalu antara lain terungkap dalam Seminar Numismatika Bank
Indonesia 27 Oktober 2009 yang membahas sejarah mata uang Indonesia.
Sekitar satu setengah abad setelah Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) merajalela di Nusantara ini, akhirnya memperoleh persetujuan dari Kerajaan Mataram untuk mencetak uangnya sendiri.
Uang itu kemudian diberi nama Derham Djawi
dan di kedua sisinya bertuliskan huruf Arab. Inilah menariknya, mengapa
harus diberi nama Derham dan mengapa harus ditulis dengan huruf Arab?
Pada koin Derham Djawi edisi tahun 1765 misalnya, satu sisinya bertuliskan Ila Jariyat Jawa Al Kabir sedang sisi lainnya bertuliskan Derham Min Kompani Welandawi. Kedua teks ini intinya menjelaskan bahwa uang Derham tersebut adalah dari perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar.
Karena ini kesepakatan VOC dan Kerajaan
Mataram, mengapa uang tersebut tidak berbahasa Belanda dengan huruf
latin atau dalam bahasa Jawa dengan huruf Jawa? Uang adalah bahasa
perdagangan pada jamannya. Artinya yang dominan di dunia perdagangan
saat itu adalah para pedagang muslim yang berbahasa Arab.
Kekuatan perdagangan umat Islam saat itu
juga sejalan dengan sejarah bahwa Agama ini lahir pertama kalinya di
lingkungan para pedagang tangguh, yang kemudian terbukti memudahkan
mereka berhijrah dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia.
Yang anomali adalah umat Islam yang hidup
di jaman ini, kita masih mayoritas di negeri ini – tetapi dalam dunia
perdagangan kita terperdaya oleh kaum minoritas. Mayoritas kita terbuai
dengan comfort zone kita masing-masing, sehingga menimbulkan tragedy of the common bagi umat secara keseluruhan.
Lho apa salahnya perdagangan
dikuasai oleh orang lain ? Bila mereka yang bisa mengelola perdagangan
itu dengan baik dan memenuhi kebutuhan kita so what?
Ketika menjadi Muhtasib atau pengawas
pasar, Umar bin Khattab Radliallahu ‘Anhu sering teriak-teriak : “…tidak
boleh berdagang di pasar orang yang tidak tahu syariat jual beli…”.
Karena dengan ketidak tahuannya akan membawanya ke transaksi ribawi dan
hal-hal lain yang dilarang tanpa disadarinya.
Dan inilah exactly yang terjadi
di perdagangan kita sekarang. Karena yang menguasai perdagangan tidak
memahami syariat, riba dan kedhaliman terjadi secara massif di pasar –
tanpa banyak yang menyadarinya.
Kalau Anda panen sayur di kebun Anda sendiri misalnya, bisakah Anda begitu saja bawa ke pasar dan berjualan di sana?
Kemungkinan besarnya Anda akan berhadapan dengan calo atau bahkan premanisme sebelum barang Anda bisa masuk pasar.
Atau Anda mungkin sudah merasa beruntung setelah bersusah payah akhirnya sayuran Anda bisa masuk jaringan super atau hyper market
raksasa, tanpa Anda sadari ternyata Anda justru memodali para raksasa
dengan dagangan Anda yang dibayarnya kapan-kapan oleh mereka.
Konon keuntungan terbesar para raksasa
retail bukan hanya dari margin jual beli, tetapi justru dari memutar
cash yang diterimanya dari menjual barang dagangan orang lain secara
tunai – tetapi kemudian membayar ke si pemilik barangnya sampai sekian
waktu kemudian. Itulah sebabnya mereka berusaha menahan uang Anda selama
mungkin kalau bisa.
Salah siapa ini? Ya salah kita semua yang
membiarkan ini terjadi. Salah kita yang tidak bertebaran di muka bumi
untuk mencari karuniaNya sambil mengingatNya banyak-banyak (QS 62:10).
Bila yang bertebaran di muka bumi adalah orang-orang yang tidak
mengenalNya apalagi mengingatNya – maka mereka bisa menghalalkan segala
cara untuk meraih keuntungan materinya.
Lantas bagaimana sekarang kita bisa
kembali meraih kejayaan di perdagangan sebagaimana generasi terbaik
dahulu yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?
Ya kita harus mau mulai bersungguh-sungguh belajar berdagang.
Banyak diantara kita yang sudah pandai
memperdagangkan produk orang lain (tempatnya bekerja) tetapi gamang
untuk mulai berdagang dengan produknya sendiri. Jadi sebenarnya sudah
sangat banyak diantara kita para pedagang tangguh, hanya belum menyadari
potensinya saja.
Maka dari sinilah kita bisa mulai,
kemampuan berdagang yang sudah inherent ada dalam diri kita tinggal
diasah dan dikeluarkan sedikit-demi sedikit. IsyaAllah tidak akan lama
waktunya bagi umat ini untuk melahirkan Abdurrahman bin ‘Auf –
Abdurrahman bin ‘Auf jaman ini.
Masih sulit membayangkannya? Tidak usah
terlalu banyak dipikirkan atau dibayangkan, mulailah melakukan tiga hal
ini – maka insyaAllah Anda sudah akan bisa menjadi pedagang tanpa Anda
sadari.
Pertama, identifikasi produk
berupa barang atau jasa apa yang Anda punya passion padanya. Bisa dari
lingkungan pekerjaan Anda sekarang, dari hobi Anda, dari kebutuhan Anda,
dari masalah yang Anda hadapi – dari mana saja yang bisa menginspirasi
Anda.
Kedua, maksimalkan nilai atau
manfaat dari produk yang sudah Anda temukan tersebut. Misalnya Anda
punya passion terhadap kedelai, maka sedapat mungkin ya jangan hanya
jual beli kedelai. Tetapi bagaimana menjadikannya tempe, tahu, kecap dan
perbgagai produk pengembangannya.
Ketiga, promosikan atau
perkenalkan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak semua orang
akan merespon positif produk Anda, itupun tidak masalah. Bahkan bila
hanya ada 1 orang tertarik terhadap produk Anda dari 100 orang yang Anda
tawari, maka bersyukurlah – karena Anda telah menemukan niche market
Anda.
Tinggal kemudian mencari padanan dari 1
orang yang sudah tertarik tersebut dengan system pencarian yang
terstruktur, systematis dan massif. Di Indonesia saja ada 2.5 juta orang
padanan dari satu orang yang Anda temukan tersebut (1/100 dari 250 juta
penduduk).
Inilah peluang pedagang di era teknologi,
yang sangat-sangat mungkin bagi Anda untuk tetap bisa menggarap secara
efektif segmen pasar yang sangat sempit sekalipun. Maka perkembangan
teknologi informasi saat ini mestinya bisa menjadi momentum untuk
kebangkitan perdagangan umat di jaman ini.
Bila Anda punya passion di bidang hasil bumi, maka Anda-pun bisa bersinergi dengan kami di Natural Resources Indonesia yang mempunya misi Identify, Maximize and Promote kekayaan hasil bumi yang terbarukan dari negeri ini. InsyaAllah.*
Penulis Direktur Gerai Dinar
0 Komentar