Banyak orang terkejut, termasuk dirinya sendiri ketika namanya
disebut K.H. Hasan Basri menjadi salah seorang ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Beberapa menit sebelum pembacaan nama-nama pengurus
pusat MUI, beberapa ibu yang aktif mengikuti jalannya Munas MUI memberi
selamat kepada dirinya.
''Saya sampai terheran-heran, ada apa ya kok saya diberi selamat?''
kata Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat mengenang suasana saat itu.
Zakiah
sendiri mengaku tak tahu persis kenapa dirinya terpilih sebagai salah
seorang pengurus inti MUI pusat. ''Mungkin karena persoalan wanita sudah
demikian penting untuk ditangani, dan untuk itu perlu seorang wanita,''
kata psikolog lulusan Universitas Ain Syams Kairo ini kepada Muarif
dari Republika, yang menemuinya di kediamannya, Kompleks Wisma
Sejahtera, Jalan Fatmawati 6, Jakarta, Rabu (2/8) lalu.
Ketua
Umum MUI K.H. Hasan Basri kepada Republika menjelaskan, usulan agar
salah seorang ketua MUI dari kalangan wanita datang dari berbagai pihak.
Pada mulanya diusulkan tiga nama: Dra. Hajah Tutty Alawiyah (pimpinan
Perguruan Islam Asy-Syafiiyah, Jakarta), Dra. Hajah Siti Suryani Thahir
(pimpinan Perguruan Islam Attahiriyah, Jakarta), dan Prof. Dr. Zakiah
Daradjat sendiri. Namun setelah melalui berbagai musyawarah, terpilihlah
Zakiah. Sedang kedua nama lainnya diposisikan sebagai anggota pengurus
MUI.
Menurut Zakiah, jabatannya yang baru sebagai ketua MUI tidak
akan mengganggu aktivitasnya di klinik konsultasinya, menjadi guru
besar IAIN Jakarta, dan jabatannya sebagai Ketua Perhimpunan Wanita
Alumni Timur Tengah. Berikut petikan wawancara dengannya tentang
berbagai hal, termasuk pandangannya tentang peran wanita Islam sesudah
50 tahun Indonesia merdeka.
Bagaimana perasaan Anda ketika terpilih menjadi ketua MUI?
Saya
bersyukur kepada masyarakat dan ulama yang dapat menerima salah seorang
pimpinan MUI itu wanita. Ini penting karena tradisi ini bukan hanya
pertama di Indonesia, namun juga pertama di dunia. Saya gembira juga
terharu bahwa di Indonesia wanita sudah disejajarkan dengan pria dalam
soal ini. Apalagi, usulan ketua wanita datangnya dari kalangan ulama
pria. Saya tidak pernah mengusulkan diri, apalagi selama ini saya sudah
duduk menjadi anggota.
Menurut Anda, apakah ada alasan tertentu kenapa baru sekarang ketua MUI dari kalangan wanita?
Wanita
itu punya cukup peran penting dalam negara ini. Kerangka pembangunan
agama sudah cukup baik, tapi kenapa tidak ada pengurus wanita.
Barangkali begitu perkiraan saya.
Jadi, ketua MUI perempuan itu bukan usulan dari organisasi wanita Islam?
Tidak.
Tidak ada yang menuntut. Oleh karena itu saya tidak punya persangkaan.
Apalagi ketika itu saya ikut dalam salah satu sidang komisi. Ada empat
komisi yang bersidang saat itu dan masing-masing bersidang di tempat
yang berbeda. Yang saya tahu, ada sidang formatur yang diketuai oleh Pak
Menteri Agama. Itu saja.
Atau karena sebelum ini, konsentrasi
MUI masih kepada masalah laki-laki, sehingga belum merasa perlu
memposisikan perempuan sebagai ketua MUI?
Ada yang sudah punya perhatian. Tapi, masih banyak ulama yang merasa bahwa wanita belum cukup mampu untuk menjadi ketua.
Lalu, menurut Anda, apakah sudah apa perubahan berpikir pada kalangan ulama pria itu?
Beberapa
tahun belakangan ini wanita cukup gencar dalam pendidikan agama dan
penyiaran agama. Utamanya bergerak dalam majelis taklim. Di Jakarta saja
jumlahnya lebih dari 10 ribu, belum lagi di daerah-daerah. Jadi,
kegiatan wanita di segala bidang itu semakin tampak. Ini barangkali yang
membuat ulama pria itu semakin sadar.
Bagi Anda, apakah pemilihan Anda menjadi salah satu ketua MUI merupakan bentuk dari emansipasi?
Islam
itu tidak mengenal emansipasi. Islam itu memberikan kepada wanita hak
dan kewajibannya yang jelas. Dalam hal-hal yang bersifat umum itu haknya
sama dengan pria. Jadi, itu bukan emansipasi, tapi hak kaum wanita yang
belum terlaksana di banyak tempat.
Kira-kira apa program Anda sebagai ketua MUI dalam waktu dekat ini?
Saya
kira program kerja belum bisa saya katakan. Kita kan belum rapat. Tapi,
yang seringkali menjadi pemikiran saya bukan sebagai ulama adalah
bagaimana meningkatkan kesadaran dan kemampuan kaum wanita untuk
mendidik anaknya sehingga menjadi anak yang baik dan saleh, yang
berakhlak. Lalu, bagaimana caranya agar anak-anak itu benar-benar
mendapat bekal yang cukup bagi dirinya, baik bekal iman maupun
keduniaannya.
Menurut saya, pendidikan anak itu harus dimulai
dari rumah. Karena itu harus kita ciptakan keluarga yang sakinah. Ini
memang bukan hanya tugas kaum wanita saja. Secara umum, perhatian saya
adalah pendidikan. Mungkin ini pula yang akan jadi bahasan dalam rapat
di MUI nanti.
Di kalangan ulama pria ada sebutan kyai, bagaimana dengan kalangan ulama wanita?
Karena
tidak difungsikan seperti kaum lelaki, maka tidak ada sebutan untuk
ulama wanita. Lagi pula, sebutan kyai itu kan istilah yang ada di Jawa.
Di lain daerah, lain lagi sebutannya. Tuanku, di Sumatera Barat atau
Tengku di Aceh, misalnya. Kalau wanita, kebanyakan ya sebutannya istri
kyai atau Nyi.
Apakah selama ini pernah muncul ulama wanita yang peranannya sangat menonjol, terutama dalam masalah keagamaan?
Dulu
ada, misalnya di Sumatera Barat ada Ibu Rahmah El Yunisiah. Beliau
tokoh wanita Islam yang tidak hanya berjuang dalam perang kemerdekaan,
namun juga menjadi pendiri sekolah yang sampai sekarang maju, bahkan
hingga universitas. Juga ada Ibu Rangkayo Rasuna Said, Cut Nyak Dhien.
Mereka semua merupakan tokoh wanita Islam, yang saya kira, tidak hanya
memiliki pemahaman agama yang kuat tapi juga menjadi pejuang bangsa.
Tapi, apakah ada tokoh wanita yang spesialisnya soal-soal fikih misalnya?
Kalau yang begitu saya belum menemukannya. Mungkin Ibu Rahma El Yunisiah bisa dimasukkan dalam hal ini.
Dalam
Alquran tertulis bila anak-anak dan wanita adalah perhiasan dunia. Ini
sepertinya menempatkan wanita sebagai pelengkap. Bagaimana pendapat Anda
tentang anggapan tersebut?
Sebenarnya dalam Alquran
itu ada ayat-ayat yang secara eksplisit menyebut bahwa laki-laki dan
wanita yang beriman dan beramal saleh itu akan memperoleh balasan yang
sama. Itu petunjuk bahwa wanita itu harus bekerja. Di ayat lain ada
dijelaskan bahwa laki-laki dan wanita itu satu sama lain menjadi
pemimpin. Tidak dikatakan bahwa pria harus menjadi pemimpin dari kaum
wanita.
Lalu, bagaimana dengan pendapat yang mengatakan
bahwa wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga harus
ikut kehendak kaum laki-laki?
Saya tidak menemukan
petunjuk demikian. Tidak di Alquran, tidak pula di hadis. Dari mana
asalnya legenda wanita diciptakan dari tulang rusuk kaum laki-laki, itu
saya tidak tahu. Dalam penciptaan Ibu Hawa, saya tidak temukan
penjelasan bila ia diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Mungkin
pengkajian kita lebih banyak dari kisah-kisah yang belum jelas
kebenarannya.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa peluang kaum
laki-laki untuk masuk surga lebih besar dari kaum wanita, karena
laki-laki bebas dalam beribadah, sementara wanita punya keterbatasan,
seperti kalau sedang haid misalnya. Menurut Anda?
Kalau hal itu
dijadikan alasan, ada hal lain yang juga bisa dijadikan alasan kaum
wanita. Pria itu tidak pernah mengalami beratnya hamil dan sakitnya
melahirkan. Betapa besar pahalanya kaum wanita dalam hal ini. Jadi, ada
imbangan atas kekurangan yang dimilikinya.
Sebenarnya bagaimana sih fungsi kaum wanita menurut Islam itu?
Menurut
saya, kaum wanita sama saja fungsinya dengan laki-laki. Mungkin di masa
lalu, mencari rezeki itu memerlukan kerja keras dan tenaga kuat,
sehingga hanya kaum laki-laki yang bekerja. Tapi, baik laki-laki maupun
wanita harus bekerjasama dalam hal ini. Kalau di keluarga, laki-laki
yang harus dipatuhi, itu memang demikian. Tapi dalam kehidupan
bermasyarakat tidak demikian. Mereka sama, yang membedakan hanya
kemampuannya. Kalau dalam keluarga harus ada yang dipatuhi, itu benar.
Tapi kepatuhannya seperti apa, itu kan menjadi masalah. Kepatuhan itu
menjadi relatif, kalau masuk akal maka baru bisa diterima.
Kalau begitu, wanita bebas untuk bekerja apa saja?
Di
zaman Rasulullah, Siti Aisyah pernah ikut dalam peperangan. Siti
Khadijah adalah konglomerat kaum Quraisy. Anak buahnya banyak dan itu
laki-laki semua. Tentu saja, kita tidak bisa melepaskan adanya kodrat
dari kaum wanita yang menyebabkan ia punya keterbatasan. Tidak mungkin
rasanya kalau kemudian ada wanita yang menjadi kuli pelabuhan.
Kalau begitu memang ada bidang-bidang tertentu yang wanita tidak bisa bekerja di situ?
Kalau
mengandalkan kekuatan fisik, mungkin tidak bisa. Demikian pula dengan
bekerja ketika malam hari. Bagaimanapun juga mereka harus menjaga diri
dari kejahatan hawa nafsu. Oleh karena itu saya paling tidak setuju
dengan adanya pekerja wanita yang bekerja hingga larut malam. Masyarakat
harus ikut menjaga wanita dalam hal ini, jangan sampai karena tidak
hati-hati masyarakat rusak karena wanita.
Menurut Anda, apakah fikih itu hanya menguntungkan kaum laki-laki?
Ya,
ada juga. Fikih itu kan pendapat dari para ulama. Itu penafsiran. Kalau
ditafsirkan di zaman wanita itu rusak, maka sudah pasti cara pandangnya
tidak ada wanita yang baik. Tapi, kalau penafsirannya di zaman
wanitanya baik-baik, berpikir maju, fikihnya pasti akan memberi tempat
kepada kaum wanita. Ini tergantung dari fikihnya. Fikih itu kan
pemahaman terhadap ajaran Islam.
Kalau begitu perlu ada perombakan terhadap fikih, terutama berkenaan dengan kaum wanita?
Penafsiran-penafsiran
yang dilakukan itu perlu dilihat kembali, misalnya, kapan pemikiran itu
datang. Bila hal itu ada kaitan dengan lingkungan, maka ulama yang
kemudian perlu terus berijtihad. Tentunya dengan alasan-alasan yang
kuat.
Apa kendalanya juga karena wanita tidak ada yang
menjadi ahli fikih, hadis, atau tafsir, sehingga kepentingan kaum wanita
terabaikan?
Mungkin dulu kesempatan belajar dari kaum
wanita sangat terbatas, maka sudah pasti ahli-ahli fikih yang muncul
adalah kaum pria. Puluhan tahun lalu, tidak ada hakim agama dari
kalangan wanita. Baru beberapa tahun belakangan ini saja kita punya
hakim-hakim agama wanita. Mungkin karena ada pendapat bahwa wanita tidak
mampu menjadi hakim. Padahal kenyataannya sekarang ini, dengan adanya
hakim wanita tidak ada masalah, semuanya berjalan baik.
Kalau begitu, berarti saat ini kita sangat membutuhkan tokoh-tokoh wanita yang menjadi ahli fikih, hadis atau tafsir?
Betul,
kita sangat perlu akan tokoh-tokoh semacam itu. Sudah saatnya kita
memberi kesempatan kaum wanita untuk menggeluti bidang-bidang seperti
itu. Sekolah untuk itu sekarang ini sudah demikian banyak. Kalau kita
berpegang teguh pada Alquran, maka wanita punya hak untuk menjadi ulama
atau pemimpin. Tapi, belum banyak wanita yang muncul karena faktor
budaya.
Jadi belum banyaknya muncul tokoh wanita karena faktor budaya?
Memang
budayanya. Garis agama itu jelas. Budaya yang mempengaruhi
keterbelakangan wanita. Situasi dan kondisi suatu daerah sangat mungkin
menyebabkan tidak menghargai wanitanya. Ada budaya yang menganggap bahwa
wanita tidak mampu untuk tampil ke depan, bahkan sampai kuatir bila
wanitanya maju. Lalu agama menjadi justifikasi dalam hal ini, sehingga
kaum wanitanya dilarang untuk tampil.
Berbicara tentang kedudukan kaum wanita ini, bagaimana dengan peran Ormas wanita Islam selama ini?
Kelihatannya
mereka terlalu sibuk sehingga kurang waktu untuk menghadiri berbagai
aktivitas organisasinya. Memang banyak program dan seksi yang
menanganinya, tapi apakah berjalan dengan baik atau tidak, itu sulit
mengetahuinya. Sebab mengumpulkan orang di kota besar macam Jakarta ini
sulit sekali.
Tapi dalam pandangan Anda, apa kelemahan dari Ormas wanita Islam?
Kegiatan
mereka sebenarnya cukup banyak. Dengan kemampuan mereka masing-masing,
itu sudah cukup baik dan bagus. Kalau mereka bermusyawarah atau rapat
sepertinya hasilnya bagus-bagus. Tapi, dalam menjalankan program kerja,
mereka sepertinya punya kendala, di antaranya adalah mereka yang
memiliki banyak gagasan, sangat sibuk. Sementara mereka yang punya
waktu, ternyata tidak banyak yang bisa dipikirkan.
Apa karena tugasnya sebagai isteri atau ibu rumah tangga menjadi kendala juga?
Itu
jelas. Mereka punya kegiatan yang harus diurus di rumah dalam posisinya
sebagai isteri atau ibu dari putra-putrinya. Selain sibuk di rumah,
banyak wanita yang sibuk bekerja di luar rumah. Jadi banyak wanita yang
sibuk di rumah, di kantor dan juga di organisasi. Apalagi sekarang ini
tidak semua orang mampu memelihara pembantu. Jadi, memang banyak
kendala.
Lalu menurut Anda bagaimana cara mengoptimalkan peran Ormas wanita tersebut?
Apa
yang selama ini mereka lakukan telah membawa hasil. Paling tidak
memberikan sumbangan kepada peningkatan kesadaran wanita. Untuk lebih
meningkatkan peran seperti itu memang perlu banyak tenaga, terutama
tenaga-tenaga pemikir yang punya waktu. Dari mereka akan banyak lahir
konsep dan aktivitas dengan lebih baik lagi. Tentunya harus ditunjang
dengan mekanisme organisasi yang sehat. Kalau soal semangat, sebenarnya
wanita Indonesia termasuk maju dibandingkan dengan wanita negara-negara
lain.
Kalau kaum wanita Indonesia secara keseluruhan bagaimana kondisinya?
Masih
banyak yang harus ditingkatkan, baik pengetahuannya maupun
keterampilannya. Kemampuan dalam berbagai bidang juga harus
ditingkatkan. Pada tingkat pimpinan hal itu sudah memadai, namun pada
tingkat bawah masih banyak yang harus ditingkatkan. Tapi, kita sudah
bersyukur karena kaum pria mau menerima kemajuan kaum wanitanya. Di
banyak negara, hal ini masih belum bisa diterima.
Tentunya dengan kedudukan Anda sebagai Ketua MUI, hal seperti itu juga menjadi perhatian?
Doakan saja. Mudah-mudahan bisa ada manfaatnya meski kesibukan saya tidak berkurang malah bertambah.
Sekarang soal aktivitas Anda. Pilihan Anda menjadi ahli jiwa itu kenapa?
Sebenarnya
dari dulu saya senang mengamati orang. Orang bicara saya dengar. Orang
mengeluh saya perhatikan. Lalu pada waktu saya masuk perguruan tinggi,
saya memilih jurusan pendidikan. Di situ ada pendidikan ilmu jiwa.
Ketika saya ke Kairo, minat saya pada ilmu jiwa lebih berkembang lagi
karena sepertinya dosen-dosen saya mendorong untuk menekuni bidang itu.
Selama menangani soal-soal kejiwaan ini, keluhan terbanyak biasanya berkisar soal apa saja?
Yang
terbanyak adalah problem keluarga, problem anak-anak yang beranjak
remaja, dan masalah kepribadian yang tidak hanya berkait dengan masalah
keluarga, misalnya merasa dirinya tidak sukses, memandang dunia ini
kelabu terus, dan penderitaan-penderitaan pribadi lainnya. Memang cukup
bervariasi. Tapi, pernah suatu ketika saya buka catatan pasien yang
datang ke klinik dalam satu tahun. Ternyata persoalan kaum remaja itu
mencapai 45 % dari kasus yang masuk. Sementara yang lainnya hampir
seimbang.
Kenapa justru kaum remaja?
Karena
mereka kurang baik hubungannya dengan keluarganya sehingga muncul
problem-problem di sekitar mereka. Cukup banyak kaum remaja ini
mengeluhkan kondisi keluarganya, misalnya tentang ibunya yang sibuk,
ayahnya yang jarang di rumah, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, tidak
hanya masalah pribadi yang disampaikan, masalah pendidikan pun banyak
yang dikeluhkan. Bahkan seorang gadis remaja pernah datang ke klinik
saya mengeluh karena sampai sekarang belum memperoleh pacar.
Para
remaja selalu mengeluhkan kalau orangtua sulit diajak bicara, sementara
orangtua selalu bilang anaknya bungkem tidak mau bicara. Kalau sudah
begini yang salah siapa? Menurut saya, tidak ada yang salah. Situasi
yang menjadikan mereka menjadi demikian.
Bagaimana cara Anda memberi solusi?
Sebenarnya
saya tidak memberikan nasehat secara khusus. Saya mengembangkan
kepribadian seseorang untuk dapat mengenali permasalahan yang dihadapi
itu apa. Lalu bersama-sama dia, saya menelusuri asal-usul masalah.
Dengan sendirinya, mereka akan menemukan jawabannya. Benarkah keinginan
dirinya? Benarkah pula persangkaannya tentang penyebab masalah? Saya
menggunakan teori non-directive, perawatan kejiwaan yang tidak
diarahkan. Pasien dibantu dengan pengembangan dirinya untuk mengetahui
persoalan yang dihadapi. Jalan keluar yang kemudian dipakai adalah
perombakan kepribadian. Dalam hal inilah agama saya sisipkan ke
dalamnya. Kalau sulit bicara pada orang lain, bicaralah kepada Allah
lewat tahajud. Mengadulah, menangislah, berteriaklah kalau mau
berteriak. Allah pasti dengar.
Pernah gagal dalam memberikan konsultasi?
Saya
tidak tahu persis, karena memang ada yang cuma sekali datang ke rumah.
Menurut pengalaman, pada umumnya mereka semua menuju sukses. Selama ini
setiap mereka yang datang ke rumah selalu memperoleh informasi dari
pasien terdahulu. Itu kan berarti mereka berhasil.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/01/15/mgng2r-mengenang-zakiah-daradjat-ulama-wanita-pertama-yang-menjadi-ketua-mui
0 Komentar