Oleh: Lukman Hakiem
Peminat Sejarah
“JANGAN sekali-kali melupakan sejarah,” ujar Prof. Yusril Ihza Mahendra, mengutip Bung Karno, dalam tulisannya yang viral di media sosial (Ahad, 19 Maret 2017).
Tulisan pakar hukum tatanegara itu mengupas latar belakang sejarah lahirnya kata “orang Indonesia asli” pada Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945.
Tulisan singkat ini hendak memberi tambahan riwayat mengenai proses “menjadi Indonesia” yang tidak mudah itu.
Soekiman Wirjosandjojo
Ketika kesadaran politik umat dan bangsa sudah makin luas, dan sudah bangkit kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, pada 1925 para mahasiswa kita di Belanda mengganti nama organisasinya dari Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia-Belanda) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Peristiwa ini jelas bukan sekadar urusan pergantian nama, karena di dalamnya terkandung kesadaran dan arah yang lebih tegas dalam perjuangan organisasi, yakni berbangsa Indonesia dan bernegara Indonesia merdeka.
Dalam catatan sejarah, inilah untuk pertama kali nama Indonesia secara resmi dilekatkan pada nama sebuah organisasi. Ketika Indische berubah menjadi Indonesische, organisasi itu sedang dipimpin oleh Soekiman Wirjosandjojo. Kelak Soekiman dikenal sebagai salah seorang perumus UUD 1945, Ketua Umum Partai Politik Islam Masyumi dan Perdana Menteri Republik Indonesia (1951-1952).
Pada 1925 pula, Jong Islamieten Bond (JIB) membentuk badan kepanduan bernama Nationale Indonesische Padvindery (Natipij). Dari JIB lahir para pendiri dan pejuang RI seperti Sjamsuridjal, Kasman Singodimedjo, M. Natsir, Jusuf Wibisono, Mohamad Roem, dan Prawoto Mangkusasmito.
Pada 1926, dalam kongresnya yang pertama, nama Indonesia dilekatkan pada nama organisasi Indonesia Muda. Nama Indonesia makin menguat ketika pertemuan para pemuda di Jakarta bulan Oktober 1928 melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu.
Dalam sumpahnya, para pemuda menyatakan berbangsa satu: bangsa Indonesia, bertanah air satu: tanah air Indonesia, serta menjunjung tinggi bahasa persatuan: bahasa Indonesia.
Partai Arab Indonesia
Masih dalam proses menjadi Indonesia, pada 4 Oktober 1934 para pemuda Indonesia Keturunan Arab mengikrarkan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (SPIKA) yang berbunyi:
1. Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia,
2. Karenanya peranakan Arab di Indonesia harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi), dan
3. Peranakan Arab di Indonesia harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Berdasarkan SPIKA, didirikan Partai Arab Indonesia (PAI) yang dipimpin oleh Abdul Rahman Baswedan (1908-1986). Kelak Baswedan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Menteri Muda Penerangan. Dalam posisi sebagai Menteri Muda, Baswedan turut dalam delegasi diplomatik ke Timur Tengah,dan menghasilkan pengakuan kemerdekaan dari Mesir, Libanon, dan Saudi Arabia.
Dalam Pasal 2 Anggaran Dasarnya PAI menegaskan pendirian sebagai berikut:
1. Bahwa Indonesia tempat peranakan Arab lahir adalah tanah airnya yang kepadanya mereka mempunyai kewajiban,
2. Bahwa kepentingan mereka dan rakyat Indonesia yang mereka termasuk di dalamnya, wajib diutamakan.
Pada Pasal 3, PAI merumuskan tujuan dan usahanya:
1. Mendidik peranakan Arab supaya menjadi putra dan putri Indonesia yang berbakti kepada tanah air dan masyarakatnya,
2. Bekerja dan membantu segala daya upaya dalam lapangan politik, ekonomi, dan sosial yang menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia.
Kaum Pergerakan Mendukung
SPIKA dan PAI segera disambut dengan pro dan kontra.
Pemerintah kolonial Belanda mengambil sikap waspada. Bagaimanapun, menurut strata hukum yang berlaku pada masa itu, orang Arab digolongkan sebagai orang Timur Asing bersama orang Cina, dan India. Karena itu derajat orang Arab setingkat di bawah orang Belanda dan Eropa, serta setingkat di atas orang Indonesia asli, kaum pribumi, yang secara merendahkan disebut inlander.
SPIKA dan PAI dengan sadar dan terencana telah memilih tempatnya di antara rakyat Indonesia asli. Pilihan SPIKA dan PAI untuk menjadi Indonesia, menunjukkan aktivitas kelompok Arab ini adalah aktivitas radikal, progresif, dan revolusioner. Oleh karena itu Belanda mewaspadai SPIKA dan PAI.
Berbeda dengan Belanda, kaum pergerakan nasional menyambut SPIKA dan PAI dengan suka cita. Di tengah sikap keras pemerintah Belanda yang menangkapi dan men-Digul-kan banyak aktivis politik, kelahiran PAI adalah darah segar bagi pergerakan nasional.
Semua koran dan majalah milik kaum pergerakan di seluruh tanah air memberitakan dan mempropagandakan SPIKA dan PAI. Para tokoh pergerakan nasional dengan senang hati turut menggembleng kader-kader PAI, sehingga dalam waktu singkat PAI diterima sekaligus menjadi anggota Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) dan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI).
Tidak banyak partai politik yang diterima menjadi anggota GAPPI sekaligus MIAI. Di antara yang sedikit itu adalah PAI. Fakta ini menunjukkan bahwa warga keturunan Arab sejak sebelum Indonesia merdeka telah diakui dan diterima sebagai putera Indonesia.
Catatan Roem
Pejuang-perunding Mr. Mohamad Roem (1908-1983), mencatat peristiwa bersejarah kelahiran SPIKA dan PAI sebagai berikut:
“Pada umur 26 tahun, A.R. Baswedan mengemukakan gagasan bahwa bagi golongan keturunan Arab yang dilahirkan di Indonesia, yang hidup di Indonesia, hendaknya memandang Indonesia sebagai tanah airnya. Hal itu terjadi pada tahun 1934. Hanya seorang yang dapat melihat jauh ke masa depan, mampu mengambil keputusan yang demikian. Dia tidak memilih bagi golongannya tempat yang sedang dinikmati (bersama golongan Timur Asing –ed), tapi dia memilih tempat yang merendahkan golongannya (bersama golongan Inlander –ed).”
Sumber: http://www.lukmanhakiem.com/2017/03/21/sumpah-pemuda-indonesia-keturunan-arab-spika/
0 Komentar