Metode menghafal yang
diambil dari pendapat ulama salaf dan penerapan mereka yang telah kita ketahui
kekuatan hafalan mereka yang luar biasa. Barangsiapa yang ingin kekuatan
hafalannya setingkat dengan mereka, hendaklah dia menenpuh metode metode mereka
dalam menghafal.
Ketahuilah, selain metode metode yang akan disebutkan, dibutuhkan juga kesabaran, keuletan serta semangat yang tinggi. Janganlah tergesa gesa ingin mendapatkan hasilnya. Jangan pula dia merasa jenuh dan bosan karena terlalu lama menghafal. Bahkan dikatakan kepadanya, hendaklah ia bersabar dan menyadari bahwa sesungguhnya dia sedang berada di kebaikan yang besar karena ketahuilah bahwa waktu yang sangat lama dihabiskannya untuk menuntut ilmu ini tidaklah terbuang sia sia, bahkan berpahala jika niatnya benar.
Wahai orang yang diberi taufiq, ketahuilah sesungguhnya dalam menghafal, harus ada dua hal penting berikut ini:
1. Meminimalkan jumlah yang ingin dihafalkan
2. Mengulang ulang
Sekarang,
mari kita bercerita satu persatu..
1. Meminimalkan jumlah yang ingin dihafalkan
Wahai orang yang telah diberi hidayah, hendaklah engkau bagi nash nash tersebut dalam beberapa hari. Hafalkan setiap hari satu bagian yang sudah ditentukan, dan buatlah bagian ini bagian yang sedikit dan mudah. Hendaknya tidak menyulitkan dengan membuat target yang banyak karena akan menyebabkan kejenuhan dan rasa berat.
Telah dikatakan bahwa
Wahai orang yang telah diberi hidayah, hendaklah engkau bagi nash nash tersebut dalam beberapa hari. Hafalkan setiap hari satu bagian yang sudah ditentukan, dan buatlah bagian ini bagian yang sedikit dan mudah. Hendaknya tidak menyulitkan dengan membuat target yang banyak karena akan menyebabkan kejenuhan dan rasa berat.
Telah dikatakan bahwa
“Barangsiapa yang mengambil ilmu sekaligus makan akan hilang
darinya sekaligus pula.”
Disebutkan
pula:
“Bertumpuknya ilmu akan menyesatkan pemahaman.”
Dan Kekasih kita Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Wahai manusia, ambillah dari
amalan amalan itu apa yang kalian mampu. Sesungguhnya Allah tidak akan bosan
hingga kalian merasa bosan. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah
adalah amalan yang terus menerus walaupun sedikit.” [4]
Al-Khatib
Al-Baghdadi berkata:
“Hendaknya seseorang teliti dalam mengambil ilmu dan jangan
memperbanyak. Hendaknya dia mengambilnya sedikit demi sedikit, sesuai yang dia
mampu untuk menghafalkannya dan yang mudah untuk dipahami karena Allah
berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا
نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ
فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”. demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (Al Furqon:32)
Beliau
(Al-Khatib) juga berkata:
“Ketahuilah bahwasanya hati itu merupakan bagian dari
anggota anggota badan. Hati itu mampu membawa banyak hal, dan lemah pula (tidak
mampu) untuk membawa banyak hal lainnya. Sebagaimana badan, sebagian manusia
ada yang mampu membawa beban 200 rithl (1 rithl sekitar 8 ons) dan sebagian lainnya
tidak mampu meskipun hanya 20 rithl saja. Demikian pula ada diantara mereka
yang mampu berjalan beberapa farsakh (1 farsakh sekitar 8 km) dalam sehari
tanpa membuatnya lemah, namun sebagian yang lain hanya mampu berjalan beberapa
mil saja dan hal itu sudah membahayakannya. Diantara mereka ada yang mampu
memakan beberapa rithl, sementara yang lainnya cukup makan satu rithl saja atau
kurang dari itu.”
Demikian
pula dengan hati manusia, ada diantara mereka yang mampu menghafal 10 lembar
dalam satu jam, dan diantara mereka ada yang tidak mampu menghafal setengah
lembar dalam beberapa hari. Apabila orang yang kemampuan hafalannya hanya
setengah halaman tersebut ingin menghafalkan 10 lembar karena ingin meniru
orang lain, maka kejenuhan dan kebosanan akan menimpanya. Maka ia akan lupa
dengan yang dihafalkannya da apa yang telah dia dengar tidaklah memberinya
manfaat.
Oleh
karena itu, hendaklah setiap kita membatasi diri sesuai dengan kemampuan masing
masing selama tidak mengurangi seluruh semangatnya karena yang demikian itu
akan lebih membantunya dalam belajar daripada pikiran yang bagus dan pengajar
yang cerdik (paham terhadap kondisi anak didiknya).[5]
Yunus
bin Yazid berkata: Ibnu Syihab berkata kepadaku:
”Yaa Yunus, janganlah engkau sombong terhadap ilmu, karena
sesungguhnya ilmu itu beberapa lembah. Lembah mana saja yang kau tempuh,
niscaya lembah itu akan memutuskanmu sebelum engkau sampai kepadanya. Akan
tetapi tempuhlah lembah itu seiring perjalanan hari dan malam. Dan janganlah
engkau mengambil ilmu itu sekaligus, karena ilmu itu akan hilang pula darinya
sekalihus. Akan tetapi, ambillah sedikit demi sedikit sesuai perjalanan hari da
malam”[6]
Dan
Yunus berkata: “Aku mendengar Az Zuhri berkata:
”Sesungguhnya jika engkau mengambil ilmu ini terlalu banyak,
maka ilmu itu justru akan mengalahkanmu dan engkau tidak akan berhasil
mendapatkannya sedikitpun. Akan tetapi, ambillah ilmu itu perlahan lahan sesuai
perjalanan waktu siang dan malam. Niscaya engkau akan berhasil mendapatkannya”
[7]
Para
ulama salaf benar benar menerapkan metode ini dan tampak jelad bagaimana mereka
bersemangat untuk terus menerus melaksanakan perkara ini pada diri diri mereka
dan pada murid murid mereka. Ibnu Umar misalnya, beliau mempelajari Surat
Al-Baqarah selama 4 tahun [8] dan dikatakan bahwasanya beliau tetap
mempelajarinya selama 8 tahun [9].
Abu
Abdurrahman As Sulami berkata:
”Apabila kami mempelajari sepuluh ayat AlQur’an, maka kami
tidak mempelajari sepuluh ayat sesudahnya hingga kami mengetahui dan memahami
tentang hukum halal dan haram yang ditunjukkan oleh ayat tersebut, serta
perintah dan larangannya.”[10]
Abu
Bakr Ibnu ‘Iyasy berkata:
“Aku belajar Al-Qur’an kepada ‘Ashimin bin Abin Najud.
‘Ashim memerintahkan kepadaku agar membaca setiap hari hanya satu ayat saja,
tidak lebih. Beliau berkata, “Sesungguhnyahal itu lebih mantap bagimu.” Maka
akupun khawatir bahwa Asy-Syaikh (‘Ashim) akan meninggal sebelum aku
menyelesaikan AlQur’an sehingga aku terus menerus meminta kepadanya. Akhirnya
beliau mengizinkanku membaca lima ayat perhari [11]. Demikianlah ‘Ashim yang
memeirntahkan Abu Bakr untuk meminimalkan jumlah hafalan agar mencapai derajad
‘Ashim dalam hal itqan. Beliau berkata:”Aku sakit selama 2 tahun. Ketika
sembuh, aku membaca AlQur’an (dari hafalan) dan tidak ada kesalahan walau satu
huruf” [12]
2. Mengulang ulang
Setelah
menerapkan perkara yang pertama, maka selayaknya bagimu untuk mengulang ngulang
nash (yang dihafal) dengan pengulangan yang sangat banyak. Karena ketahuilah
bahwa sesungughnya hafalan itu tidak akan kokoh kecuali dengan mengulang
ngulang. Ibnul Jauzi dalam buku beliau Al-Hatstsu ‘ala Hifzhil ‘Ilmi berkata:
“Jalan untuk menguatkan hafalan adalah dengan memperbanyak
mengulang. Dan manusia itu bertingkat tingkat dalam masalah hafalan. Diantara
mereka ada yang hafalannya kuat walau sedikit mengulang. Ada juga yang tidak
hafal kecuali tsetelah mengulanginya berkali kali. Maka hendaklah seseorang
mengulang ulang hafalannya setelah menghafalnya, agar hafalan itu kuat dan
terus bersamanya.”
Lebih
lanjut beliau (Ibnul Jauzi) berkata:
“Saya telah memperhatikan orang yang belajar fiqih
bahwasanya mereka mengulang pelajarannya dua atau tiga kali. Setelah berlalu
dua hari, salah seorang dari mereka telah lupa terhadap pelajaran tersebut.
Jika dia membutuhkan sesuatu dari masalah itu saat diskusi, dia tidak
mampu. Maka hilanglah waktu pertama dengan percuma. Diapun harus mengulangi
menghafal lagi sebagaimana lelahnya waktu pertama kali menghafal. Hal ini
karena dia tidak mengokohkan hafalannya.”
Az-Zarnuji
berkata:
“Selayaknya bagi seorang pelajar untuk mempersiapkan dan
menentukan ukuran bagi dirinya sendiri dalam mengulang hafalannya. Karena
hafalan itu tidak akan menetap dalam hatinya hingga dia mencapai apa yang telah
ia tetapkan untuk dirinya. Dan hendaklah penuntut ilmu mengulang ulang
hafalannya yang baru (sehari sebelumnya) sebanyak lima kali, mengulang hafalan
dua hari yang lalu empat kali, mengulang hafalan tiga hari yang lalu sebanyak
tiga kali, mengulang hafalan empat hari yang lalu dua kali, dan mengulang
hafalan lima hari yang lalu satu kali. Cara yang seperti ini leih membantu dan
mendorong untuk cepat hafal.”
Al Khatib dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allum berkata
bahwa ‘Alqamah berkata:
”Berlama lamalah dalam mengulang hadits, niscaya hadits itu
tidak akan hilang.” Dan ucapan Sufyan: “Jadikanlah hadits itu sebagai
pembicaraan dalam jiwa kalian dan perenungan dalam hati kalian, niscaya kalian
akan hafal.” [13]
Al
Hasan bin Abu Bakr An-Naisaburi berkata:
“Ada seorang ahli fiqh mengulang ulang pelajaran dirumahnya
berkali kali. Berkatalah seorang wanita tua yang berada dirumahnya: “Sungguh,
demi Allah, akut telah menghafalnya.” Ahli Fiqh itu berkata: “Ulangilah
pelajaran itu.” Wanita itu pun mengulanginya. Setelah beberapa hari, ahli Fiqh
itu berkata: “Wahai wanita tua, ulangilah pelajaran itu.” Wanita tua itu
menjawab:”Aku tidak hafal lagi pelajaran itu.” Ahli Fiqh itu berkata:”Aku
mengulang ulang hafalan agar tidak ditimpa apa yang menimpamu.”[14]
Ibnu
Jibrin berkata:
“Pada umumnya, barangsiapa yang menghafal dengan cepat tanpa
mengulanginya, maka diapun akan cepat lupa. Dan sungguh kebanyakan pelajar pada
zaman dahulu mencurahkan kesungguhan mereka dalam menghafal. Sampai sampai
salah seorang diantara mereka membaca satu hadits atau satu bab sebanyak
100 kali sehingga melekat dalam benaknya. Setelah itu mereka mengulang ulang
apa yang telah mereka hafal. [15]
Hai orang orang yang mendapat taufiq,
semoga Allah menambahkan taufiq-Nya kepadamu. Sungguh Ulama mewajibkan diri
diri mereka untuk mengulang ulang pelajarannya. Namun adakalanya kejenuhan dan
kebosanan melanda. Beginilah para ahlul ilmi menghilangkan kebosanan dan
kejenuhan.
Ali bin Abdurrahman As Sahaibani telah bercerita kepadaku bahwa di Mauritania ia bertemu dengan sebagian orang Syinqith yang memiliki hafalan yang kokoh. Dia bertanya kepada orang orang tersebut bagaiana cara mereka memuraja’ah? Orang itu menjawab: “Aku mengulang ulang pelajaran dengan menghadap kesegala arah sebanyak 80 kali yaitu menghadap ke timur lalu membaca 80 kali, kemudian kearah barat dengan jumlah yang sama dan begitu seterusnya.”
Demikian upaya mereka menghilangkan kejenuhan diri dan mewajibkan diri mereka mengulang sebanyak yang mereka tentukan. Seandainya dia hanya duduk dirumahnya dan ingin mengulangi sebanyak ini tentu akan terasa jenuh dan bosan.
Ali bin Abdurrahman As Sahaibani telah bercerita kepadaku bahwa di Mauritania ia bertemu dengan sebagian orang Syinqith yang memiliki hafalan yang kokoh. Dia bertanya kepada orang orang tersebut bagaiana cara mereka memuraja’ah? Orang itu menjawab: “Aku mengulang ulang pelajaran dengan menghadap kesegala arah sebanyak 80 kali yaitu menghadap ke timur lalu membaca 80 kali, kemudian kearah barat dengan jumlah yang sama dan begitu seterusnya.”
Demikian upaya mereka menghilangkan kejenuhan diri dan mewajibkan diri mereka mengulang sebanyak yang mereka tentukan. Seandainya dia hanya duduk dirumahnya dan ingin mengulangi sebanyak ini tentu akan terasa jenuh dan bosan.
CATATAN PENTING:
1. Wajib bagi siapa saja yang ingin menghafal agar terlebih dahulu membetulkan apa yang ia baca dengan bacaan yang benar dan kuat sebelum menghafalkannya, serta tidak mulai menghafal sedikitpun sebelum membenarkannya karena ia dapat terjatuh pada tahrif (perubahan makna) dan tashif (kesalahan dalam membaca) [16]
2. Selayaknya bagi orang yang sedang belajar untuk mengangkat suaranya saat belajar hingga bisa memperdengarkan pada dirinya sendiri. Karena suara yang didengar oleh telinga itu akan tertanam kokoh didalam hati. Oleh karena itulah, seseorang cenderung lebih hafal apa yang ia dengan daripada apa yang ia baca.
1. Wajib bagi siapa saja yang ingin menghafal agar terlebih dahulu membetulkan apa yang ia baca dengan bacaan yang benar dan kuat sebelum menghafalkannya, serta tidak mulai menghafal sedikitpun sebelum membenarkannya karena ia dapat terjatuh pada tahrif (perubahan makna) dan tashif (kesalahan dalam membaca) [16]
2. Selayaknya bagi orang yang sedang belajar untuk mengangkat suaranya saat belajar hingga bisa memperdengarkan pada dirinya sendiri. Karena suara yang didengar oleh telinga itu akan tertanam kokoh didalam hati. Oleh karena itulah, seseorang cenderung lebih hafal apa yang ia dengan daripada apa yang ia baca.
Al Askari berkata:”Dihikayatkan kepadaku dari Abu Hamid bahwa dia berkata kepada
shahabat shahabatnya: ‘Jika kalian belajar, keraskanlah suara kalian, karena
yang demikian lebih kuat untuk menghafal dan lebih bisa mengusir rasa
kantuk.’ Dia juga berkata: ‘Membaca dengan pelan itu
untuk memahami, sedangkan membaca dengan keras itu untuk menghafal dan
memahami.” [17]
(Kitab
rujukan dalam buku tersebut saya cantumkan saja, siapa tahu ada yang berminat
menelusurnya langsung)
[4].
HR. Al-Bukhari dan Muslim
[5] Al-Faqiih wal Mutafaqqih (2/107) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[6] Jaami’ Bayanil ‘ilmi wa Fadhlih hal 168 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[7] Jaami’ Bayanil ‘ilmi wa Fadhlih hal 168 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[8] Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Ibn Sa’d (4/123) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[9] Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[10] Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[11] Thabaqat Al-Hanabilah (1/42) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[12] Siyar A’lamin Nubala’ (5/258) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[13] Al-Jaami’ li Akhlaqir Rawi (2/226) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[14] Al Hatstsu ‘ala Hifzhil ‘Ilmi hal 21 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[15] Kaifa Tathlub Al-‘ilm, dialog bersama Fadhilatu Syaikh Al-‘Alamah Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, I’dad: ‘Isa bin Sa’d Alu ‘Uwasyn, hal 31
[16] Lihat tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal 121-122 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[17] Al Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilmi hal a72 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[5] Al-Faqiih wal Mutafaqqih (2/107) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[6] Jaami’ Bayanil ‘ilmi wa Fadhlih hal 168 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[7] Jaami’ Bayanil ‘ilmi wa Fadhlih hal 168 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[8] Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Ibn Sa’d (4/123) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[9] Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[10] Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[11] Thabaqat Al-Hanabilah (1/42) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[12] Siyar A’lamin Nubala’ (5/258) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[13] Al-Jaami’ li Akhlaqir Rawi (2/226) dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[14] Al Hatstsu ‘ala Hifzhil ‘Ilmi hal 21 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[15] Kaifa Tathlub Al-‘ilm, dialog bersama Fadhilatu Syaikh Al-‘Alamah Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, I’dad: ‘Isa bin Sa’d Alu ‘Uwasyn, hal 31
[16] Lihat tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal 121-122 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
[17] Al Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilmi hal a72 dalam Keajaiban Hafalan – Muhammad Taqiyyul islam Qaariy
Sumber: https://irilaslogo.wordpress.com/2010/03/19/metode-menghafal-ulama-salaf-penuntut-ilmu-itu-gemar-menghafal-alquran-part-2/
0 Komentar