Berbicara mengenai
pendidikan, rasanya kurang afdol apabila tidak menyebut nama Syekh Muhammad
Thaib Umar. Dia adalah ulama peletak dasar inovasi pendidikan agama di Sumatera
Barat. Seperti diketahui, bahwa propinsi ini telah banyak melahirkan ulama dan
tokoh-tokoh besar yang berjasa telah bagi agama, nusa dan bangsa.
Ulama ini terlahir di
Sungayang Batu Sangkar tahun 1874. Ayahnya bernama Umar bin Abdul Kadir yang
juga seorang ulama terkemuka pada jamannya. Dengan latar belakang tersebut,
tidaklah mengherankan apabila sejak kecil, ia sudah mendapatkan bimbingan agama
secara intensif dari sang ayah.
Pada usia 7 tahun,
Muhammad Thaib mulai belajar huruf-huruf Alquran. Tepatnya setahun kemudian,
untuk lebih meningkatkan ilmu agama, ia juga berguru ke surau milik pamannya, H
Muhammad Yusuf (Engku Labai). Di tempat inilah kemudian meneruskan belajar
membaca ayat-ayat dan surat-surat pendek. Ketika menginjak usia 9 tahun,
orangtuanya mengirim dia belajar mengaji kepada H Muhammad Yasin di surau
Tengah Sawah, Sungayang, hingga khatam Alquran.
Sepanjang masa kecil
hingga dewasa, beliau tidak pernah merasakan menuntut ilmu di sekolah umum. Hal
tersebut memang dikarenakan adanya diskriminasi pendidikan dari pemerintah
Belanda. Anak-anak pribumi sangat sulit bisa masuk sekolah umum. Maka tidak
mengherankan apabila Muhammad Thaib tidak dapat membaca huruf latin.
Akan tetapi kekurangan
itu tertutupi dengan kepandaiannya di bidang ilmu agama. Sebab semenjak khatam
Alquran tadi, ia lantas melanjutkan upaya mengembangan ilmu agama ke beberapa
ulama terkenal. Tercatat antara lain Syekh Haji Abdul Manan di surau Talago
Padang Ganting Batusangkar yang kondang dengan pengajian Surah Ilmu Fikih dan
Syekh M Shalih di surau Padang Kandis Suliki.
Muhammad Thalib
menjadi murid yang cerdas. Melihat bakat dan kesungguhan anaknya ini, sang ayah
lantas berinisiatif untuk membawa beliau menimba ilmu ke tingkat lebih tinggi
di Tanah Suci. Jadilah mereka pergi ke Makkah sekaligus untuk menunaikan ibadah
haji.
Selanjutnya Muhammad
Thalib menetap di Arab Saudi selama hampir 5 tahun. Adapun di antara guru
beliau tercatat nama Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama asal Minangkabau yang
memperoleh tempat mengajar di Masjidil Haram. Di samping itu ada pula sejumlah
ulama terkemuka lainnya.
Begitu kembali ke
tanah air, dibukanya sebuah pesantren pengajian kitab di surau milik sang ayah
di Batu Bayang Sungayang. Karena dari waktu ke waktu santri-santrinya bertambah
banyak, maka dia memutuskan untuk membangun surau sendiri di Tanjung Pauh,
Sungayang. Ketika itu, usianya baru 23 tahun.
Hanya dalam waktu
tidak terlalu lama setelah dibuka, surau tersebut telah berkembang pesat.
Jumlah santrinya makin meningkat. Mereka tidak hanya datang dari wilayah
sekitar Batusangkar, namun juga dari Bukitinggi, Padang Panjang, Payakumbuh,
Solok, bahkan dari seluruh penjuru Minangkabau.
Sejumlah inovasi
dilakukannya pada sistem dan jumlah mata pelajaran agama. Jika sebelumnya
pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab ada empat macam ilmu, yakni ilmu sharaf,
nahwu, fikih, dan tafsir, lantas diperbaruinya menjadi 12 macam ilmu antara
lain ilmu nahwu, sharaf, fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, musthalah Hadis,
tauhid, mantiq, ma'ani, bayan, dan juga ilmu badi'.
Di samping itu juga
metode pengajaran di surau itu mulai memakai kitab-kitab yang dicetak dengan
letter press Arab. Padahal sebelumnya para santri terbiasa memakai kitab-kitab
tulisan tangan.
Dari namanya, bisa
diketahui bahwa bentuk pendidikan yang diterapkan juga agak berbeda dari
pesantren atau surau. Misalnya saja, para santri tak lagi duduk bersila
melingkari guru, melainkan telah menggunakan sarana bangku, meja, dan papan
tulis. Bisa dikatakan, madrasah ini merupakan madrasah pertama di Sumatera
Barat yang menggunakan meja kursi dalam kegiatan belajar agama.
Tak hanya itu. Pun
dalam mata pelajaran yang diberikan, bukan lagi terbatas pada ilmu-ilmu agama,
melainkan juga ilmu umum seperti aljabar dan pelajaran bercerita. Sementara
pelajaran agama meliputi ilmu sharaf, nahwu, mudahatsah (bercakap-cakap dalam
bahasa Arab), imla (dikte), lagu Quran serta memperbaiki bacaan shalat dengan
lagu bersama-sama waktu akan keluar madrasah.
Seperti disebutkan
dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Syekh
Muhammad Thaib Umar juga aktif dalam kegiatan dakwah kepada masyarakat umum.
Tetapi beliau lebih banyak berdakwah melalui bidang jurnalistik dengan mengupas
masalah-masalah agama pada majalah Almunir Padang -- merupakan majalah Islam
pertama di Minangabau, bahkan Indonesia.
Dalam setiap
kesempatan mengajar dan berdakwah, Syekh Muhammad Thaib kerap mengingatkan
umat, khususnya generasi muda, agar mempelajari ilmu pengetahuan umum yang
dinamainya ilmu ashiriyah (ilmu yang sesuai dengan masa). Sebab ia berpendapat,
maju dan berhasilnya bangsa Barat menjajah bangsa Timur lantaran mereka
mempelajari ilmu dunia yang penting untuk keperluan hidup di dunia. Dia tidak
menyukai kebiasaan yang cuma mementingkan pelajaran ilmu fikih saja, sehingga
mundur dalam kehidupan dunia.
Jasa besar lainnya
dari ulama adalah dialah yang mempelopori khutbah Jumat dan khutbah Hari Raya
dalam bahasa Indonesia (kecuali rukun-rukun khutbah). Sebelumnya, para ulama
beranggapan kedua hal tersebut wajib hukumnya untuk dibawakan menggunakan
bahasa Arab, tanpa memperdulikan pendengarnya mengerti atau tidak.
Pada hari Rabu petang
tepatnya tanggal 22 Juli 1920, Syekh Muhammad Thaib meninggal dunia dalam usia
47 tahun setelah menderita penyakit tiga tahun lamanya.( yus )
0 Komentar