Dari Ponari Hingga Hasyim Muzadi
PADA Metro TV (Headline News) edisi Minggu, 22 Februari 2009 21:09 WIB, Ketua Umum Tanfidiziyah Pengurus Besar NU (Nahdlatul Ulama) Kiai Haji Hasyim Muzadi mengatakan, praktik Ponari tidak perlu ditutup, yang perlu dilakukan itu penertiban antrean pasien agar tidak terjadi korban. Menurut Hasyim Muzadi, syirik tidaknya pengobatan yang dilakukan dukun cilik Ponari tergantung pada niat masing-masing pasien. Pernyataan tersebut disampaikan Hasyim Muzadi setelah ia menghadiri acara wisuda di Universitas Darul Ulum Jombang. (http://www.metrotvnews.com/main.php?metro=berita&id=77174)
Bagi yang memahami makna syirik sebagai dosa terbesar yang tak terampuni, dan mengenali wujud perbuatan yang tergolong syirik, pernyataan Hasyim Muzadi itu tentu sangat mengejutkan. Pertanyaan pertama yang pasti keluar adalah, “apakah Hasyim Muzadi tidak paham makna dan hakekat syirik?”
Kalau pernyataan Hasyim Muzadi yang berbunyi “syirik tidaknya pengobatan yang dilakukan dukun cilik Ponari tergantung pada niat masing-masing pasien” ini diimplementasikan kepada pembunuhan dan aneka perbuatan jahat lainnya, apakah bisa diterima banyak orang?
Misalnya, seorang pelaku pembunuhan, ketika melakukan perbuatan jahatnya itu disertai dengan niat yang ‘baik’ yaitu dalam rangka mengurangi jumlah penduduk yang tidak produktif, maka ia bunuh sejumlah orang yang sudah jompo, pikun, penyakitan, dan sebagainya; apakah perbuatan membunuh tersebut lantas menjadi benar di mata hukum dan syari’at?
Atau, seorang pelacur yang berniat ingin menghibur laki-laki dengan menjajakan tubuhnya, apakah bisa dibenarkan? Demikian pula dengan lelaki hidung belang yang berniat menghibur dan membahagiakan sang pelacur dengan cara menjadi pelanggannya setiap saat, apakah bisa dibenarkan?
Begitu juga dengan seorang koruptor yang berniat untuk mendirikan berbagai rumah ibadah, merenovasi sekolah, menyantuni anak-anak telantar, anak yatim-piatu dari hasil korupsinya, apakah dapat dibenarkan?
Untuk membedakan sikap bagaimana yang digolongkan syirik ketika menyikapi suatu barang, dan mana yang tidak, perlu disimak lagi ungkapan berikut ini (yang telah dimuat di nahimunkar.com dalam judul News Maker from Jombang February 20, 2009 8:25 pm):
Batu dan KemusyrikanYang primitif, misalnya bisa dilihat dari kasus Ponari dan Dewi, dukun cilik yang dianggap sakti karena dipercaya bisa menyembuhkan segala macam penyakit, berkat batu petir yang dimilikinya. Itu sisa-sisa keyakinan primitive yang bersumber pada ajaran dynamisme, yang dalam Islam disebut syirik, menyekutukan Allah Ta’ala dengan lainnya. Karena menganggap batu itu sebagai batu sakti yang memiliki kekuatan untuk penyembuhan. Kecuali kalau khasiat untuk obat itu ada landasan dalilnya yang shahih, misalnya air zamzam, madu, dan habbatus sauda’ (jinten hitam). Ternyata barang-barang yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu memang bisa dibuktikan secara ilmiyah lantaran memiliki kandungan yang berunsur obat. Demikian pula barang-barang yang bisa dibuktikan secara ilmiyah memang bisa untuk obat, dengan hukum sebab akibat, maka boleh-boleh saja untuk berobat. Namun ketika batu dipercaya sebagai barang ajaib dan menyembuhkan aneka penyakit, tanpa bukti-bukti ilmiyah dan juga tanpa dalil syar’i, maka ini termasuk yang digolongkan mempercayai kekuatan sakti pada selain Allah. Dalam keyakinan Islam digolongkan syirik, menyekutukan Allah Ta’ala. Itu dosa terbesar.
Oleh karena itu ketika Al-Lajnah Al-Daaimah di Saudi Arabia (terdiri dari kibar ulama/ ulama-ulama besar) ditanya tentang sepotong kain atau sepotong kulit dan sejenisnya diletakkan di atas perut anak laki-laki dan perempuan pada usia menyusu dan juga sesudah besar, maka jawabnya:
“Jika meletakkan sepotong kain atau kulit yang diniatkan sebagai tamimah (jimat) untuk mengambil manfaat atau menolak bahaya, maka ini diharamkan, bahkan bisa menjadi kesyirikan. Jika itu untuk tujuan yang benar seperti menahan pusar bayi agar tidak menyembul atau meluruskan punggung, maka ini tidak apa-apa.” (Al-Lajnah Ad-Daaimah, Fatawa al-‘Ilaj bi Al-Qur’an wa Assunnah, ar-Ruqo wamaa yata’allaqu biha, halaman 93).
Mencari berkah kepada pohon, batu dan lainnya termasuk dilarang dalam Islam, bahkan bila dilakukan maka termasuk kemusyrikan. Karena telah jelas dalam Hadits:
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ خَرَجَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ حُنَيْنٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ وَكَانَ الْكُفَّارُ يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ بِسِدْرَةٍ وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةً إِنَّكُمْ تَرْكَبُونَ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Riwayat dari Abi Waqid Al Laitsi, ia berkata: “Kami keluar kota Madinah bersama Rasulullah menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon bidara, aku berkata: “Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon “dzatu anwaath” (pohon yang dianggap keramat) sebagaimana orang kafir mempunyai “dzatu anwaath”. Dan adalah orang-orang kafir menggantungkan senjata mereka di pohon bidara dan beri’tikaf di sekitarnya. Maka Rasulullah menjawab: “Allah Maha Besar, permintaanmu ini seperti permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa: (`Jadikanlah bagi kami suatu sembahan, sebagaimana mereka mempunyainya`), sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu.” (HR Ahmad dan Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, hadits no 267, juga riwayat At-Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan shahih).
Tafsir Al-Qur’an keluaran Departemen Agama RI mengulas sebagai berikut:
Kenyataan tentang adanya kepercayaan itu diisyaratkan hadits di atas pada masa dahulu dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum muslimin agar berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga seluruh kaum muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum muslimin yang masih memuja kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua, dan sebagainya. Karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan kekhusyukan, yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan menyembah Allah sendiri. Banyak juga di antara kaum muslimin yang menggunakan perantara (wasilah) dalam beribadah, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah Maha Dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadah yang ditujukan kepada-Nya itu akan sampai tanpa perantara. Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyyah dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. (Al-Qur’an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1985/ 1986, jilid 3, halaman 573-574). (nahimunkar.com dalam judul News Maker from Jombang February 20, 2009 8:25 pm)
Dari penjelasan tersebut di atas, kalau batu dipakai untuk menggosok daki-daki di badan agar hilang dan bersih, misalnya, maka boleh saja. Karena sesuai dengan sifatnya, batu itu memang bisa untuk menggosoki badan, menghilangi daki. Tetapi kalau batu itu dicelupkan ke air lalu airnya diminum kemudian diyakini akan memberikan kesembuhan, padahal tidak ada dalil syar’i tentang itu atau tidak ada bukti ilmiah bahwa batu itu tadi ada unsur-unsur obat, maka berarti menjadikan batu itu sebagai tamiimah alias jimat. Itu termasuk kemusyrikan. Jadinya dukun cilik Ponari atau lainnya dengan batu yang diyakini sakti itu jelas bentuk kemusyrikan.
Dalilnya:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : { إنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتُّوَلَةَ شِرْكٌ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ .
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat, dan pelet (aji pengasihan, mantra ataupun jimat untuk menjadikan cinta atau pisahnya lelaki-perempuan) adalah syirik.? (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Larangan menganggap benda sebagai barang yang sakti:
عن عمران بن حصين رض{ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً - أَرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ - فَقَالَ : وَيْحَك مَا هَذِهِ ؟ قَالَ : مِنْ الْوَاهِنَةِ . قَالَ أَمَّا إنَّهَا لَا تَزِيدُك إلَّا وَهْنًا , انْبِذْهَا عَنْك فَإِنَّك لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْك مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا } . (رواه أحمد بسند لا بأس به).
“Dari Imran bin Hushain ra dinyatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki memakai gelang kuningan di tangannya. Beliau bertanya, celaka kamu, apa ini?? Orang itu menjawab: menolak lemah (wahinah)?. Maka Nabi berkata kepada orang itu, 揂dapun sesungguhnya ia tidak akan menambah kamu kecuali kelemahan, maka lepaskanlah gelang itu darimu, karena sesungguhnya apabila kamu mati sedangkan ia masih ada padamu, tentulah engkau tidak akan beruntung selama-lamanya.? (HR Ahmad dan Al-Hakim dengan sanad laa ba’sa bih).
Pernyataan Hasyim Muzadi agar praktik dukun cilik Ponari tidak perlu ditutup, menunjukkan bahwa ia mendukung praktik kemusyrikan. Setiap ulama pewaris Nabi (bukan ulama su’/ ulama yang jahat) tentu mengerti makna dan hakekat syirik. Sehingga, yang ia nyatakan dan upayakan adalah menghilangkan praktik kemusyrikan, bukan sekadar mengatur masalah teknis untuk menghindarkan timbulnya korban akibat antrean yang panjang. Tugas ulama adalah menyelamatkan ummatnya dari aneka kesesatan dan bid’ah, terutama menyelamatkan dari kemusyrikan. Karena kalau sampai musyrik, maka semua amalnya akan sia-sia belaka. Tidak akan mendapatkan pahala sama sekali, justru mendapatkan dosa terbesar tak diampuni oleh Allah Ta’ala.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ(65)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS Az-Zumar: 65).
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا(48)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisaa’: 48).
MUI Jawa Timur: Praktek dukun, kultus dan syirik.Sebelumnya, MUI Jawa Timur telah menginstruksikan agar praktik dukun cilik Ponari ditutup. Karena, ditemukan adanya pengkultusan pada batu petir milik Ponari yang mengarah ke perbuatan syirik. MUI Jawa Timur juga melihat, sikap masyarakat yang datang tidak lagi rasional karena mengagung-agungkan batu sebagai penyembuh utama. Bahkan, air bekas mandi Ponari pun ikut dikultuskan.
Namun demikian, instruksi tersebut sama sekali tidak digubris. Menurut Didik Suryanto, Sekretaris Panitia Pengobatan dukun cilik Ponari, instruksi MUI Jatim itu selain tidak realistis juga tidak akan menyelesaikan masalah, karena masyarakat tetap akan berdatangan ke kediaman Ponari. Faktanya, sampai Sabtu (21 Feb 2009), ribuan orang tetap berbondong-bondong ke kediaman Ponari di Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang.
Kebodohan (kejahilan) masyarakat miskin yang tetap antusias mendapatkan kesembuhan melalui cara-cara yang tidak rasional ini, menyebabkan mereka tidak peduli dengan instruksi MUI Jawa Timur. Ketidakpedulian itu selain disebabkan oleh kebodohan dan kemiskinan, juga akibat rendahnya tingkat intelektualitas mereka. Artinya, mereka itu tergolong orang-orang yang lemah multidimensi (lemah akal, lemah iman, lemah harta, dan sebagainya). Kelemahan itu akan tetap melekat di dalam diri mereka bila tidak ada yang memberikan pencerahan.
Sikap Hasyim Muzadi justru seperti memberi vitamin dan energi tambahan bagi mereka sehingga tetap berada di dalam kebodohan dan kelemahannya. Padahal, tugas ulama adalah membuat ummatnya yang tidak pinter (bodoh) menjadi pinter. Sedangkan lakon tukang tipu adalah meminteri orang yang tidak pinter (bodoh).
Sepekan sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf berpendapat, kemunculan Ponari dan batu saktinya itu memang bisa menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mencari pelayanan kesehatan. Bahkan Syaifullah Yusuf pun berharap, batu sakti Ponari itu benar-benar bisa menyembuhkan penyakit masyarakat, bukan sugesti semata. (http://www.gp-ansor.org/berita/gus-ipul-jombang-memang-aneh-ada-gus-dur-sampai-ponari.html)
Pernyataan Syaifullah Yusuf seperti tersebut di atas, dapat dirasakan bahwa ia juga mendukung kemusyrikan yang dipraktikkan Ponari. Ini merupakan fakta yang memprihatinkan. Mereka yang selama ini dikenal sebagai tokoh ormas keagamaan justru mendukung kemusyrikan atau setidaknya tidak bersikap tegas terhadap adanya perilaku syirik di daerahnya. Sebagai penanggung jawab Jawa Timur, dan Jombang merupakan bagian dari Jawa Timur, maka perilaku syirik Ponari dan ribuan pasiennya merupakan tanggung jawab umara (pemimpin pemerintahan) setempat secara kolektif.
Ternyata, kemusyrikan itu terbentang luas. Dari rakyat paling miskin, hingga rakyat paling kaya. Dari orang awam agama sampai yang digolongkan ulama dan di organisasi yang namanya pakai ulama. Dari rakyat jelata hingga umara setempat. Dari desa hingga ke kota. Maka tak heran jika praktik kemusyrikan ala Ponari bukannya hilang tetapi justru bertambah-tambah.
Selain PonariSetelah Ponari, pada pertengahan Februari 2009, muncul dukun cilik lain bernama Dewi Setiawati, berusia 14 tahun, yang tempat tinggalnya hanya berjarak lima kilometer dari kediaman Ponari. Konon, Dewi yang dikabarkan sering nunggak kelas karena sering tidak naik kelas dan masih di SD (Sekolah Dasar) ini juga mempunyai batu petir yang masih ‘bersaudara’ dengan batu petir milik Ponari. (lihat tulisan berjudul News Maker From Jombang February 20, 2009 8:25 pm).
Sekitar sepekan setelah kemunculan dukun cilik Dewi Setiawati, masih di Jombang, seorang ibu rumah tangga menemukan batu bertuah. Siti Nur Rohmah (35 tahun), yang berdomisili di Perumahan Tambakasri I-13, Jombang, Jawa Timur, menemukan batu pualam berbentuk pipih sekitar pukul 07.30 WIB, saat sedang mengantarkan anaknya ke sekolah di kawasan Dayu, Jombang.
Menurut penuturan Siti Nur Rohmah, sejak dari rumah ia mendengar suara perempuan yang meminta tolong untuk diselamatkan. Suara itu kian terdengar keras ketika Siti berada di depan sekolah anaknya. Tepatnya, bersumber dari selokan. Siti kemudian mendekati sumber suara tadi, dan ternyata suara minta tolong itu berasal dari sebuah batu dalam keadaan tebungkus kain. Batu itu kemudian dibawa pulang dan dimandikan, kemudian digunakan untuk mengobati giginya yang sakit. Sejak penemuan itu terdengar luas di masyarakat, rumah Siti Nur Rohmah mulai dipadati warga.
Fenomena ini langsung direspon positif oleh Kislan, Kepala Kelurahan Tunggorono. Kislan membawa Siti Nur Rohmah ke Mapolsekta Jombang untuk menjalani pemeriksaan secara intensif di ruang Unit Reskrim Polsekta Jombang.
Jauh sebelum Ponari, Dewi Setiawati dan Siti Nur Rohmah di Jombang menemukan batu bertuah, pada tahun 1990, di Banyuwangi, penemuan batu serupa pernah terjadi.
Ahmad Ihsanuji alias Cak Mad (saat ini berusia 32 tahun), warga Desa Kebundalem, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi, menemukan batu petir saat hujan deras yang disertai petir menyambar sejumlah pohon di kebun yang berada di belakang rumahnya. Ketika itu, Cak Mad sedang duduk di depan mushalla. Sekelebat terlihat petir berwarna hijau kebiruan menghantam pohon kelapa tak jauh dari mushalla. Setelah hujan reda, Cak Mad mendapati batu seperti kapak kecil menancap di batang pohon kelapa yang tumbang tersambar petir.
Karena batu petir itu berbentuk unik, maka Cak Mad pun mengambil batu itu, apalagi selama ini ia memang suka mengoleksi barang antik. Batu petir yang panjangnya sekitar 15 cm dan lebar 7 cm itu, kemudian disimpan di dalam kotak kacamata. Ketika seorang tetangganya sedang sakit, Cak Mad (alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember), mencoba mengobatinya dengan cara mencelupkan batu petir ke dalam segelas air, kemudian air tersebut diusapkan ke pusar si sakit. Menurut pengakuan Cak Mad, pasien itu sembuh.
Fenomena Ponari nampaknya sulit dihilangkan. Karena, bukan hanya wong cilik yang terkena sindrom batu petir, tetapi juga ulama dan umara. Kalau ulama dan umara sudah terjangkiti syirik, bagaimana rakyatnya? (haji/tede)
0 Komentar