Menteri Luar Amerika Serikat, Hillary Clinton, berkunjung ke Indonésia, diduga membicarakan masalah pangan dan energi. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), sebenarnya kunjungan ini bagai kunjungan pemodal meninjau salah satu propertinya, yang bernama Indonésia.
Dikatakannya, negara yang pemerintahannya setia melayani konglomerasi modal AS menghisap energi fosil dari sejumlah blok migas terkaya, yang dikuasai ExxonMobil di Aceh, Kepulauan Natuna dan Cepu, Unocal-Texaco di Kaltim, Chevron-Caltex di Riau, Conoco di Papua dan lainnya. Belum lagi pengerukan emas dari dua tambang terbesar di Indonésia, milik PT Freeport dan Newmont.
"Kedatangan Hillary memastikan pasokan energi negaranya aman. Amerika Serikat tak mungkin melepas Blok Natuna yang diputus kontraknya oleh Indonesia dari ExonMobil, karena kinerja yang buruk. Natuna memiliki cadangan gas terbesar di dunia, mencapai 222 triliun kaki kubik (tcf)," ujar Manager JATAM, Luluk Uliyah.
Dijelaskannya, nilai gás nya mencapai 335,32 miliar dolar AS atau Rp3.350 triliun
dengan asumsi harga minyak 40 dolar AS per. Kini, ExxonMobil bersama Shell dan perusahaan China sedang mengikuti tender ulang blok Natuna. Menlu AS ini akan memastikan blok Natuna kembali ke pangkuan mereka dan perusahaan-perusahaan AS dijamin beroperasi, tanpa gangguan.
Barrack Obama, atau siapapun kepala negaranya, papar dia, agenda utama AS adalah mengamankan pasokan energinya. Ini berkaitan dengan rakusnya rakyat AS, yang populasinya hanya 5% penduduk dunia, tapi mengkonsumsi sedikitnya 25% energi fosil dunia, dan tak berencana untuk menurunkannya.
"Anehnya, Indonésia menyambut kedatangan Menlu AS ini dengan bangga dan pasrah. Sekitar 2800 polisi dikerahkan untuk mengamankan kunjungan ini, " sambung Luluk.
Berbeda, dengan rakyat Kanada yang mengirimkan surat protes terhadap kedatangan Obama yang akan bertemu dengan Stephen Harper, Perdana Menteri Kanada, 19 Februari besok. Obama memilih berkunjung ke Kanada, dibanding Indonésia. Sebab, Kanada memasok 20 persen kebutuhan impor minyak AS, yang sebagian besar diambil dari oil sand. Mereka mengirimkan memperingatkan pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan perluasan eksploitasi dan impor minyak dari Kanada. “Tar sands oil isn't part of the new energy economy”, ungkap mereka dalam suratnya.
Ironisnya, jika AS berupaya segala cara mengamankan pasokan energi fosilnya, pemerintahan SBY-JK justu sebaliknya. Lewat berbagai cara, migas di hisap, batubara dikeruk, diekspor sebesar-besarnya. Tak peduli harganya murah, tak peduli ketahanan energi dalam jangka panjang terancam. Yang penting, rente dagang kekayaan energi fosil ini terus mengucur, membiayai pemerintahan SBY-JK dan parti-partai
berkuasa.
Itu yang terjadi dengan penjualan gás dongi Senoro – milik Pertamina dan Medco, yang ditandatangani 22 Januari lalu, negara disinyalir rugi lebih Rp 20 triliun sepanjang 15 tahun. Pasokan gás dari untuk bahan pupuk dalam negeri juga terancam tak dipenuhi, jika kontrak ini diteruskan. Kejadian ini hanya mengulang cerita yang terjadi pada kasus lapangan gás milik Britis Petroleum Tangguh di Papua.
Luluk mengngkapkan, cadangan gas Tangguh mencapai 14,4 TCF. Proyek ini dikerjakan oleh BP. 80% hasil penjualan akan dipakai untuk menutupi biaya investasi dan produksi, sisanya di bagi untuk indonesia dan BP.
Kontrak penjualan berlangsung dari 20-50 tahun. Ironis, produksi LNG ini diekspor ke Fujian, Korea, Jepang, Filipina dan AS. Kontrak pengiriman LNG, bahkan telah dilakukan manakala Tangguh belum berproduksi. Sehingga pemerintah harus menutup kebutuhan ekspor dari Bontang dan Arun.
Gas Tangguh juga dijual murah, US$ 2.4 per juta mmbtu. Harga ini jauhdibawah gas Bontang yaitu US$ 3.5 per mmbtu, bahkan lebih murah dibanding harga gas di Barat Daya Australia, yang mencapai US$ 3.6 per mmbtu yang dijual ke tempat dan durasi waktu yang sama, propinsi Guangdong selama 25 tahun. Kontrak ini akan merugikan negara hingga Rp 750 triliun atau US$ 75 miliar.
Kerugian negara juga dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan. Dari 29 kontrak migas yang diaudit lembaga itu pada 2004-2007, ada indikasi kerugian negara sekitar US$ 24,4 miliar.
"Semua terjadi antara lain karena ketidakpatuhan BP Migas terhadap peraturan. Dan juga karena ketidakberesan kontrak dengan swasta, dengan potensi kerugian sekitar US$ 2,3 miliar. Sebagian besar ladang migas ini dimiliki perusahaan AS, Chevron, Conoco dan ExxonMobil."
Saat ini, 85% produksi gas bumi dijual kepihak asing, termasuk AS.Sementara sisanya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Akibatnya kebutuhan gas bumi sebesar 22,24% untuk pasokan listrik tak terpenuhi, karena kendala di antaranya; (a) tidak tersedianya sumber pasokan gas yang mencukupi, (b) gas yang tersedia jumlahnya sangat terbatas yaitu sekitar 50 s/d 200 mmscfd dengan jangka waktu pasokan hanya 1-2 tahun, dan (c) belum tersedianya pipa dari landing point ke pembangkit (RUPTL PLN, 2006-2015)
Berlawanan dengan upaya pemerintah AS, yang berusaha mengamankan kebutuhan energinya. SBY-JK, jelas membiarkan krisis energi terjadi dan bertambah parah, karena jawabannya diserahkan kepada mekanisme pasar. Buktinya, diujung kepemimpinannya, SBY-JK gagal menggeser posisi Indonesia hanya sebagai sumber kerukan dan pasar produk asing.
"Jangan heran, jika SBY-JK memperlakukan kedatangan Hillary Clinton bagai pemodal mengunjungi propertinya. Bukan, pemimpin negara berdaulat, yang menggunakan momentum kunjungan ini mendesakkan upaya-upaya renegosiasi kontrak-kontrak migas dan tambang yang merugikan negara. Termasuk, ExxonMóbil, juga PT Freport Indonesia dan Newmont, dua tambang emas terbesar yang seharinya membuang 340 ribu ton tailing ke alam Indonésia," imbuhnya.
0 Komentar