Sekali-kali, perhatikan spanduk-spanduk yang bertebaran di sepanjang jalan. Warna beragam dan baliho berukuran besar banyak sekali terpampang. Wajah-wajah yang sebelumnya kurang dikenal seolah menjadi akrab karena setiap hari dilewati. Perang spanduk, kata-kata, lambang, hinggamemajang tokoh nasional, artis luar negeri, hingga wanita cantik menjadi pemandangan yang kadang menjengkelkan atau kadang membuat tersenyum. Itulah wajah pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia, yang dalam beberapa bulan ini akan digelar.
Pemilihan umum calon anggota legislatif (caleg) di semua tingkatan tinggal tiga bulan lagi. Meski belum masa kampanye, cukup banyak caleg yang telah memulai aksi sosialisasi dan promosi diri ke berbagai lapisan masyarakat, dari memasang spanduk, baliho, menempel stiker, hingga datang langsung ke berbagai kantong pemilih. Sebuah aktivitas rutin yang terjadi jelang pemilihan.
Namun, pada pemilihan wakil rakyat kali ini, ada yang berbeda dibandingkan pemilihan sebelumnya. Pada 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan uji materiil (judicial review) Pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. MK menilai, pasal itu bertentangan dengan konstitusi karena suara terbanyak dikalahkan nomor urut. Putusan ini menandai wajah baru perpolitikan tanah air.
Bagi sebagian caleg bernomor urut tengah dan bontot, putusan tersebut seolah menjadi anugerah yang tak terhingga. Hal itu karena mereka sebelumnya hanya diposisikan sebagai penyumbang suara (vote getter) bagi caleg lain bernomor atas. Sedangkan, bagi caleg bernomor urut atas, putusan MK tersebut bisa jadi merugikan. Terlebih, sebagian dari mereka mungkin saja sudah menyetor 'upeti' kepada partai untuk memperoleh nomor jadi. Namun, putusan MK sudah final dan tentu saja menguntungkan bagi rakyat. Alasannya, rakyat tidak lagi menjadi objek dalam pemilu, tapi subjek.
Sebagian pihak meyakini, putusan MK itu berpotensi menjadikan partai hanya sebagai tempat lalu lalang berbagai caleg populer. Sedangkan, bagi sebagian caleg tidak populer, putusan itu jelas cukup menohok. Padahal, terdapat sebagian caleg yang meniti karier bertahun-tahun, dari menjadi pengurus ranting atau level terendah dalam partai hingga melenggang masuk ke jajaran pengurus daerah atau pusat. Sementara itu, sebagian pihak lain menilai, putusan MK memang sudah seharusnya karena merupakan perwujudan penerapan demokrasi di Indonesia.
Menurut Ketua DPP PPP, Endin AJ Soefihara, penerapan sistem suara terbanyak akan menyebabkan persaingan internal partai semakin mengemuka. Hal itu akan mengakibatkan soliditas antara sesama anggota partai mengecil sehingga partai kehilangan peran untuk mengelola kader.
Selain itu, sistem suara terbanyak juga menyebabkan terjadinya distorsi kepemimpinan di tubuh partai semakin menguat. ''Peran pemimpin politik menjadi berkurang. Ini artinya mengurangi soliditas anggota legislatif terhadap partai,'' kata Caleg Dapil Banten nomor urut satu ini. Endin menyebutkan, sistem suara terbanyak cenderung bertentangan dengan mekanisme kontrol partai.
Sistem itu membuat partai politik tidak lagi berharga dan menjadi pembuat kebijakan politik. Hal itu karena kebijakan politik partai diserahkan kepada masing-masing individu caleg terpilih. ''Partai tidak bisa lagi melakukan persiapan untuk menempatkan kadernya di legislatif karena partai sudah menjadi pasar bebas. Hal ini membuka peluang makin tidak loyalnya anggota terhadap partai dan partai tidak punya kader lagi,'' katanya.
Menurut Endin, persiapan caleg oleh partai memiliki kelebihan berupa penyiapan calon anggota DPR untuk berkompetensi baik. Hal itu karena partai bisa mendorong pencalonan kader masuk dalam lembaga legislatif berdasarkan kemampuan melakukan legislasi. ''Seseorang dengan kemampuan legislator belum tentu populer dan orang populer belum tentu punya kemampuan legislasi,'' katanya.
Meski demiikian, Endin juga mengakui, dari sisi akuntabilitas, penetapan sistem suara terbanyak memperkuat legitimasi caleg terpilih. Selain itu, rantai kontrol menjadi pendek karena kinerja anggota DPR langsung diawasi masyarakat pemilih. Namun, Endin tetap berpendapat, penerapan sistem terbuka pada pemilihan legislatif kali ini tidak tepat. MK seharusnya tidak menerapkan sistem itu saat seluruh partai telah menerapkan caleg berdasarkan Pasal 214 UU Pemilihan Legislatif. ''Harusnya, keputusan MK itu berlaku sebelum persoalan (pencalonan) selesai sehingga partai bisa melakukan konsolidasi,'' keluhnya.
Menurut Endin, penerapan sistem suara terbanyak akan membuat biaya sosialisasi dan kampanye politik menjadi sangat mahal. Hal itu disebabkan setiap caleg akan mengelola kampanye sendiri. Untuk pengelolaan itu, caleg jelas bakal menguras dana lebih besar dibandingkan saat berkampanye bersama partai pada pemilu lalu.
Hingga kini, Endin telah tiga kali menjadi anggota DPR pada periode 1997-1999, 1999-2004, dan 2004-2009. Dalam pencalonan keempat kali ini, ia menempati nomor urut satu. Namun, ia tidak bersedia menyebutkan angka pasti dana yang telah dihabiskan dalam berbagai kegiatan pencitraan dirinya saat ini.
Cerita yang sama juga dilontarkan caleg PKS Dapil Aceh, M Nasir Jamil. Menurutnya, yang menjadi persoalan dalam putusan MK adalah karena ditetapkan saat proses pencalonan anggota legislatif seluruh partai rampung dilaksanakan. Padahal, semua partai melakukan pencalonan berdasarkan UU No 10 Tahun 2008 yang telah disepakati bersama. ''Ada kesan kalau ikut UU mengalami rugi. Ini juga mengkhawatirkan. Karena, ke depan, bila membuat UU, bisa saja tiba-tiba dibatalkan MK,'' kata Staf DPP PKS Wilayah Sumatra Bagian Utara ini.
Nasir menyebutkan, pihaknya sebetulnya sepakat dengan penerapan suara terbanyak. Tapi, hendaknya sistem itu diterapkan pada pemilihan legislatif mendatang. Hal itu akan memberikan waktu bagi partai untuk menyesuaikan diri. ''Ini seharunya seperti saat MK memutuskan membatalkan regulasi peradilan tipikor dan diberi waktu hingga Desember 2009,'' ujarnya.
Penetapan suara terbanyak dalam pemilihan memang memiliki kelebihan, berupa peluang sama bagi semua caleg. Namun, sistem ini juga berpotensi kuat untuk mengikis loyalitas kader partai. Bisa jadi, seorang kader mudah pindah ke partai lain untuk menjadi caleg karena partainya dinilai tidak memiliki prospek ke depan. ''Hal ini membuat partai tidak signifikan,'' katanya.
Wakil Sekjen DPP Partai Golkar, Rully Chairul Azwar, menilai, putusan sistem suara terbanyak oleh MK sejalan dengan penetapan caleg partai berlambang pohon beringin itu. Hal itu karena Golkar menetapkan berbagai calegnya sesuai dengan basis dukungan masing-masing. ''Jadi, sejak awal memang kebijakan partai suara terbanyak. Karena itu, strategi penempatan tidak ada masalah,'' kata caleg DPR Dapil Bengkulu ini.
Selain itu, partai lama ini juga sebetulnya telah siap dengan apa pun putusan MK. Hal itu disiasati dengan mengedarkan surat kesediaan pengunduran diri ke berbagai caleg dari tingkat pusat hingga daerah. Hal itu agar partai lebih mudah menyesuaikan strategi untuk menghadapi perubahan sistem. Pengedaran surat pengunduran diri didasarkan pada Pasal 218 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang memperbolehkan penggantian calon legislatif bila mengundurkan diri. ''Karena pemilihan dengan sistem terbanyak, surat yang telah diedarkan kita cabut lagi,'' ujarnya.
Rully menyebutkan, penetapan sistem suara terbanyak jelas akan meningkatkan persaingan antarcaleg. Hal itu karena persaingan tidak hanya terjadi antarcaleg berbeda partai, tapi juga partai yang sama. Selain itu, saat ini terdapat 38 partai peserta pemilu di luar enam partai lokal Aceh. Bila masing-masing partai memiliki 10 caleg tingkat DPRD, tingkat dua, di setiap Dapil; terdapat 380 caleg yang bakal bersaing. ''Belum lagi di pemilihan caleg DPRD tingkat satu dan nasional. Yang jelas, jumlah caleg yang bersaing akan sangat banyak dan ini berarti meningkatnya persaingan,'' ujarnya.
Penerapan sistem suara terbanyak memiliki efek positif dan negatif. Salah satu efek positifnya adalah caleg mau tidak mau harus turun ke masyarakat untuk bersosialisasi agar bisa terpilih. Kondisi berbeda terjadi pada pemilihan sebelumnya di mana caleg nomor jadi cenderung tidak total turun ke masyarakat. Hal itu merupakan konsekuensi penerapan demokrasi melaui penerapan suara terbanyak. ''Jadi, buruknya adalah bagi para caleg yang tidak punya akar rumput,'' ujar Rully.
Sedangkan, menurut Rully, efek negatif yang mungkin muncul dari penerapan sistem suara terbanyak adalah rawannya praktik jual beli suara di tingkat paling bawah, tempat pemungutan suara (TPS). Bisa jadi, praktik jual beli suara antarcaleg dan atau dengan pengelola TPS terjadi. ''Jual beli bisa terjadi antara caleg yang punya dan tidak punya basis dengan perantara TPS atau TPS menawarkan jasa jual beli suara.
Ini cukup rawan dan membutuhkan pengawasan ketat,'' katanya. Hingga kini, Rully telah mengikuti tiga kali pemilihan legislatif dan terpilih sebagai anggota DPR. Ketiga periode itu adalah pada 1992-1997, 1997- 1999, dan 1999-2004. Karena itu, pemilihan tahun ini merupakan pencalonannya yang keempat sebagai anggota DPR dari Bengkulu. ''Pada periode 2004- 2009, saya istirahat. Sekarang, maju lagi dan mesti total, risiko malu kalau kalah,'' kata caleg Dapil Bengkulu nomor urut satu ini.
Namun, caleg DPR Dapil Jabar dari PAN, Dedy Jamaluddin Malik, justru mendukung langkah MK memutus uji materiil ini. Menurutnya, penetapan sistem suara terbanyak cukup bagus. Hal itu karena mendorong berbagai caleg, baik baru maupun pernah menjabat anggota DPR, untuk giat datang mendekati masyarakat agar bisa terpilih. ''Mereka juga akan diuji masyarakat, apakah janjinya betul atau tidak. Ini tantangan bagi saya,'' kata caleg nomor urut satu ini.
Untuk memenangkan pemilihan, Dedy menyebutkan bakal bekerja menyosialisakan dan mempromosikan diri secara optimal. Terlebih, ia menempati nomor urut satu. ''Jangan sampai nomor urut satu, tapi kerja politik nomor 10. Pemilihan saat ini, nomor satu tidak boleh diam kalau mau terpilih,'' ujarnya.
Menurut Dedy, popularitas memang salah satu senjata untuk meraih dukungan rakyat. Namun, untuk memenangkan pemilihan legislatif, popularitas saja tidak cukup tanpa dibarengi kerja politik. Hal itu ditunjukkan fakta beberapa artis populer gagal dalam pemilihan kepala daerah. ''Dalam pemilu itu, tidak cukup popularitas, banyak faktor yang harus diperhatikan. Banyak orang tidak terkenal, tapi terpilih sebagai anggota DPR,'' katanya.
Secara terperinci, menurut Dedy, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan caleg. Pertama, caleg harus mengetahui secara mendalam target pemilih. Kedua, caleg perlu menerapkan pelayanan berbeda bagi pemilihnya. Tidak bisa disamakan. ''Jangan dikira masyarakat semua mau dibujuk dengan uang. Ada warga yang datang ke saya. Dia bilang yang dibutuhkan bukan uang Rp 50 ribu, tapi anaknya bisa kuliah, makan, hidup tenang, dan lapangan kerja,'' katanya.
Direktur Eksekutif Indo-Barometer, Muhammad Qodari, mengatakan, penetapan suara terbanyak dalam pemilihan legislatif tahun ini cenderung menguntungkan caleg populer. Hal itu bisa berdampak pada penurunan disiplin atau loyalitas partai berbagai caleg. ''Memang, saya beberapa kali sempat mendengar kekhawatiran semacam ini. Ini kan trade off (pertukaran) antara popularitas dan disiplin partai,'' katanya.
Qodari juga menyebutkan, sistem suara terbanyak berpotensi mengurangi keterikatan emosional antara caleg dan partai. Hal itu karena berbagai caleg harus berjuang lebih keras dan bersaing dengan caleg lain dari partai sama untuk memperebutkan suara. Kondisi berbeda terjadi pada pemilihan sebelumnya di mana caleg jadi atau bernomor urut atas berutang budi kepada partai. ''Kalau sekarang, kemungkinan besar banyak caleg yang merasa kemenangan mereka karena diri mereka sendiri dan bukan partai.
Bahkan, buat caleg bernomor urut tengah dan bawah bisa jadi balas dendam karena tidak ditempatkan di nomor jadi,'' katanya yang mengakui penetapan suara terbanyak cukup mendadak dan mengagetkan berbagai parpol. Meski demikian, popularitas dan loyalitas seharusnya tidak dipertentangkan. Hal itu karena terdapat tiga elemen penting yang harus dimiliki oleh politisi ideal. Ketiganya adalah kompetensi, popularitas, dan integritas. Integritas yang dimaksud bisa berupa loyalitas kepada parpol dan rakyat.
''Tapi, memang aturan yang selama ini berlaku, popularitas belum menjadi popularitas,'' kata Qodari mengarah pada sistem nomor urut. Karena itu, bisa jadi berbagai caleg instan dengan popularitas besar bisa merebut suara rakyat, meski awalnya mereka hanya ditempatkan pada nomor urut tiga dan empat sekadar menjadi vote getter bagi caleg nomor satu dan dua. Kondisi ini juga memaksa berbagai anggota DPR yang jarang turun ke masyarakat untuk turun 'gunung' memperebutkan suara rakyat.
0 Komentar