Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Zainab, ibu Orang-orang Miskin


Zainab binti Khuzaimah sangat menyayangi orang-orang miskin, selalu menyantuni dan bermurah hati kepada mereka. Sifat kedermawanannya melebihi kepentingan terhadap dirinya sendiri. Masyarakat pun menyebutnya sebagai “ibu orang-orang miskin” [Ummul Masâkin]. Ia termasuk golongan wanita-wanita pertama yang mengakui kebenaran Muhammad Saw.

Sebelum menjadi istri Rasulullah Saw, kehidupannya sungguh memprihatinkan. Bersama Thufail bin Harits bin Abdul-Muththalib, suami pertamanya, ia mengikuti Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Namun segera setelah itu, ia diceraikan karena tidak bisa mendatangkan keturunan.

Terdapat banyak riwayat yang berbeda-beda mengenai siapa yang menikahinya setelah perceraiannya itu. Ada yang mengatakan Ubaidah bin Harits yang menjadi suaminya. Riwayat yang lain mengatakan Abdullah bin Jahsy. Namun yang paling banyak dipercaya oleh para ulama adalah riwayat yang mengatakan, setelah bercerai dengan Thufail, Ubaidah bin Harits, yang juga saudara laki-laki Thufail, ingin menjaga kemuliaan Zainab dengan menikahinya.

Kesedihan kembali melingkupi Zainab setelah Ubaidah gugur dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah Saw. Ubaidah terkenal sebagai salah seorang prajurit penunggang kuda paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga menjadi prajurit andalan dalam setiap peperangan melawan orang-orang Quraisy.

Tak banyak riwayat yang menceritakan kisah hidup Zainab setelah Ubaidah gugur sampai Rasulullah Saw menikahinya. Rasulullah Saw menjadikannya istri karena, hati beliau trenyuh melihat Zainab hidup menjanda, tanpa ada yang memperhatikan dan menyayanginya. Sementara sejak kecil ia menjadi pelindung dan penyayang bagi orang-orang miskin. Wajahnya memang tidak cantik sehingga tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya.

Rasulullah Saw sangat menghormatinya. Gelar Ummul Masâkin yang sudah disandangnya sejak jaman jahiliyah tidak diingkari oleh Rasulullah Saw, padahal beliau banyak tidak menyukai nama atau julukan yang dikenal di masa jahiliyah.

Kehidupan bersama Rasulullah Saw dilaluinya dengan sangat singkat karena ia meninggal dunia di usia yang masih muda. Sebuah riwayat mengatakan, ia menjadi bagian keluarga Rasulullah Saw selama tiga bulan. Ada juga riwayat lain yang mengatakan delapan bulan. Tetapi tak ada riwayat yang menjelaskan sebab-sebab ia meninggal. Karena kemuliaan dan keagungannya, tangan Rasulullah Saw sendiri yang mengurus jenazahnya.

Masyarakat di kampung saya mempunyai pandangan bahwa sekolah itu gunanya untuk mencari pekerjaan. Semakin tinggi sekolah, maka semakin bonafit pekerjaan yang di dapat. Jadi kalau ada seorang sarjana berjualan di pasar, akan dicemooh, "Sarjana kok jualan. Kalau akhirnya jualan juga, mengapa sekolah tinggi-tinggi. Sayang kan biaya yang dikeluarkan orang tuanya."

Cukup lama juga saya memikirkan hal ini. Saya yakin, pada prinsipnya, sekolah itu bukan untuk mencari pekerjaan, meskipun saya juga membenarkan, konsekuensi dari kita bersekolah dan berijazah itu, lebih mudah melamar pekerjaan.

Kemarin, saya bertemu dengan seorang pengusaha roti yang sukses. Awalnya memang usahanya kecil-kecilan, tapi sekarang, berkat jualan roti itu, ia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Ia punya satu rumah produksi (pabrik) dan dua toko, satunya dipegang kakaknya. Saat ini ia sedang mencari tempat baru untuk membuka cabang.

Ada ceritanya yang membuat saya senang. Tentu masih tentang sekolah. Orang tuanya mempunyai pandangan yang lain dibanding dengan orang-orang di kampung saya. Bagi orang tuanya, sekolah itu tidak harus terkait dengan pekerjaan. Meski anaknya lulusan interior design, tidak menjadi masalah punya usaha jualan roti.

Sejak kecil orang tuanya selalu menanamkan padanya bahwa lebih baik mempekerjakan orang lain dibanding bekerja pada orang lain. Artinya, lebih baik membuka lapangan pekerjaan daripada mencari pekerjaan. "Membuka lapangan pekerjaan itu juga membantu kesusahan orang lain," kata bapaknya.

Bapaknya seorang wiraswasta di bidang telekomunikasi, sedangkan ibunya mengurus keperluan keluarga di rumah. Ibunya hobi sekali bikin kue dan sepertinya hobi itu menurun pada anaknya.

Dorongan untuk membuka usaha sendiri, membuatnya mencari-cari, usaha apa yang akan dia kerjakan? Ketemulah usaha membikin dan menjual roti. Tinggal menyiapkan modal untuk membeli bahan kue. Sedangkan peralatannya, menggunakan peralatan warisan ibunya. Sebelum lulus kuliah, ia sudah mulai merintis usahanya itu. Ia sangat serius dan tekun. Akhirnya usahanya sukses. Tapi ia tetap melanjutkan kuliah sampai lulus dan mendapat gelar sarjana.

Kemudian saya bertanya, untuk apa ijasahnya itu? Ia menjawab, tidak untuk apa-apa. Ijazah dari perguruan tinggi yang cukup terkenal itu, belum sekalipun dipakainya. Saya tanya lagi, "lantas, untuk apa ia sekolah?" Apa jawabnya. Ternyata, bagi dia sekolah itu bukan untuk mengejar gelar atau supaya mendapat selembar ijazah. Yang lebih penting dari sekolah itu adalah prosesnya. Sekolah, membuat orang menjadi lebih baik, dalam hal pikiran maupun sikapnya.

Lagi, saya bertanya tentang hubungan antara interior design dan roti. "Memang, kelihatannya tidak ada hubungannya Mas," katanya. Kemudian ia mengambil salah satu roti buatanya danmemperlihatkan pada saya. "Coba Mas lihat roti ini, apa yang bisa Mas katakan?"

Saya mengamati roti itu, karyanya memang berbeda dengan roti-roti kebanyakan. Unsur seni masuk disitu. Roti produknya lebih indah dan kelihatan lebih menarik. Ia bilang bahwa disitulah kekuatan rotinya. Banyak pelanggan yang senang dengan keunggulan itu.

Ya, saya mengerti sekarang. Bukan gelar sarjana atau selember ijazah yang membuatnya sukses, tapi bagaimana ia mempunyai kompetensi dalam bidang yang ia pelajari di sekolah. Saya sudah cukup lega membawa oleh-oleh ini dan tak perlu membawa oleh-oleh lain ke rumah. Saya pun menolak saat ia memberi satu kotak roti untuk saya bawa pulang yang saya sesali kemudian.

Di rumah, saya ceritakan pengalaman itu pada istri saya. Istri saya malah tertawa. Rupanya, ia juga mendapat pengalaman lain tentang sekolah. Tadi pagi ia berbelanja sayuran pada abang sayur yang lewat di depan rumah. Abang itu heran, kok tumben istriku yang belanja, bukan pembantu saya.

"Kuliah saya libur Bang," kata istri saya. Abang sayur heran, kok masih sekolah juga, padahal sudah berkeluarga. "Untuk apa neng sekolah lagi, sayang atuh duwitnya."

Posting Komentar

0 Komentar