Ia adalah tokoh tiga zaman: zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan pascakemerdekaan.
Hampir seabad lalu, seorang ulama besar lahir di Tanah Rencong. Selama lebih dari setengah abad setelahnya, Indonesia dipenuhi karya-karya sang ulama. Dan sepeninggal sang imam, karya-karya itu tetap hidup, menginspirasi puluhan tokoh Indonesia, dan menantang generasi muda untuk berkarya lebih baik.
Ulama itu bernama Ali Hasjmy, anak kedua dari delapan bersaudara yang terlahir dengan nama Muhammad Ali Hasyim pada 28 Maret 1914 di Lampaseh, Aceh. Ayahnya, Tengku Hasyim, adalah seorang pensiunan pegawai negeri. Dari hasil perkawinannya dengan perempuan bernama Zuriah Aziz, Hasjmy dikaruniai tujuh orang anak.
Hasjmy menempuh pendidikan pertama di Government Inlandsche School Montasie Banda Aceh, sekolah setingkat SD. Kemudian ia melanjutkan ke madrasah thawalib di Padang Panjang hingga jenjang aliyah. Setelah tamat, ia meneruskan studinya di Al-Jami'ah al-Islamiyah Qism Adab al-Lughah wa Tarikh ats-Tsaqafah al-Islamiyah (Perguruan Tinggi Islam, Jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) di Padang. Ia lalu menjadi guru dan pendidik di Aceh.
Saat masih berusia 20-an, Hasjmy aktif dalam organisasi pemuda Islam. Di antaranya, ia menjadi anggota dan sekretaris Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII), yang merupakan organisasi underbow partai politik Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Partai tersebut dikenal menganut sistem nonkoperasi terhadap Pemerintah Hindia-Belanda.
Pada 1935, bersama sejumlah pemuda yang baru pulang dari Padang, ia mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (Sepia) dan menjadi salah satu pengurus besarnya. Sepia kemudian berganti nama menjadi Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia (Paramiindo), dan menjadi organisasi radikal yang giat menentang penjajahan Belanda melalui gerakannya.
Hasjmy kemudian mulai aktif sebagai anggota pengurus pemuda Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), organisasi nonpolitik yang juga bergerak menentang Belanda. Ia juga aktif di bidang kepanduan (sekarang Pramuka) dan menjadi wakil kwartir kepanduan Kasysyafatul Islam Aceh Besar.
Ia baru berusia 27 tahun saat ia dan sejumlah kawannya di PUSA mendirikan Gerakan Fajar, sebuah gerakan rahasia bawah tanah yang bertujuan mengorganisasi pemberontakan terhadap Belanda. Sejak awal 1942, gerakan tersebut melakukan kegiatan sabotase di seluruh Aceh, bahkan dengan perlawanan fisik. Hasjmy ikut memimpin kegiatan pemberontakan itu, yang berakibat penangkapan ayahnya oleh Belanda.
Awal tahun 1945, Hasjmy kembali mendirikan organisasi. Bersama sejumlah pemuda, ia menggagas berdirinya Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Organisasi rahasia itu bertujuan melakukan persiapan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda yang kembali ke Aceh pascakekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan, IPI aktif melakukan gerakan secara terang-terangan untuk mempertahankan kemerdekaan.
IPI beberapa kali berganti nama, menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI), Pemuda Republik Indonesia (PRI), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pesindo Aceh lalu memisahkan diri dari pimpinan pusat Pesindo yang dinilai telah dipengaruhi oleh ideologi komunisme. Pesindo Aceh berdiri sendiri dengan landasan Islam dan kemudian membentuk laskar dengan nama Divisi Rencong. Sejak masih di IPI hingga Divisi Rencong, Hasjmy bertindak sebagai pemimpin.
Selain itu, Hasjmy juga pernah aktif dan menjadi bagian dari partai politik Persatuan Muslim Indonesia (Permi) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ketika masih di Aceh, ia pernah terlibat dalam organisasi politik dengan menjadi ketua dewan pimpinan wilayah PSII. Ia bahkan pernah dipenjara di Medan mulai September 1953 hingga Mei 1954 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh.
Dalam laman tamanismailmarzuki.com disebutkan, Hasjmy yang berstatus tahanan kemudian dikirim ke Jakarta atas permintaan Jaksa Agung. Di Jakarta, ia dibebaskan dan dipindahkan ke Departemen Sosial. Januari 1957, ia diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Ensiklopedi Islam menuliskan, Hasjmy adalah seorang pejuang yang melakukan aktivitas perjuangannya dalam tiga bidang, yaitu perjuangan fisik, diplomasi, dan birokrasi. Di masa perjuangan, ia aktif memimpin barisan perjuangan Divisi Rencong. Dalam bidang diplomasi, perannya terlihat saat dipercaya menjadi anggota Misi Haji II RI tahun 1949. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sedangkan sebagai birokrat, tugas penting yang diembannya adalah menjadi gubernur Daerah Istimewa Aceh selama tujuh tahun (1957-1964). Dalam masa pengabdiannya itu, ia bersama Panglima Kodam I Iskandar Muda berhasil mengamankan Pemberontakan DI/TII dengan baik. Ia juga menjadi gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri Jakarta periode 1964-1968.
Selain itu, saat menjabat gubernur Aceh, ia juga berhasil membangun Pusat Pendidikan Kota Mahasiswa Darussalam. Di dalamnya berdiri dua lembaga pendidikan tinggi, yakni Universitas Syahkuala dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry.
Puncak aktivitas dan keterlibatan Hasjmy di bidang pendidikan dicapainya saat dipercaya menjadi rektor IAIN Ar-Raniry mulai 1977 hingga 1982. Sebelumnya, pada 1975, ia dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) bidang ilmu dakwah di perguruan tinggi yang sama. Selain itu, ia pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi DI Aceh. Dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang didirikan pada 1991, Hasjmy pernah menjadi anggota dewan penasihat.
Atas keberhasilan dan perannya di bidang pendidikan, Hasjmy dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Aceh. Sedangkan sejarawan Universitas Syahkuala, Mawardi Umar, menyebutnya sebagai tokoh tiga zaman; zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan pascakemerdekaan. Ulama multitalenta ini wafat pada 18 Januari 1998 dalam usia 84 tahun. c15/berbagai sumber, ed: heri ruslan
Pujangga Bersajak Nasionalisme
"Lihat, alangkah indahnya alam sekarang, gunung dan bukit bermandi cahaya petang, pucuk kelapa melambai damai atas angkasa, sebagai semarak tanah air tercinta... Aku mencintai engkau, oh Tanah Airku. Wahai, alangkah indahnya engkau, wathanku, Alangkah makmurnya engkau, Tanah Airku, Aku berjanji.. Bersumpah sakti... Tetapi, wahai tanahku yang indah, akan abadikah kebahagiaan kami, Akh, aku bimbang... Tentang zaman yang akan datang."
Ali Hasjmy bukanlah ulama biasa. Selain menjadi pejuang penentang kolonialisme Belanda dan berkiprah di dunia pendidikan pascakemerdekaan, tokoh yang gemar membaca dan mendengarkan musik itu merupakan seorang sastrawan. Sajak bertema nasionalisme di atas adalah karya Hasjmy dalam novelnya Melalui Jalan Raya Dunia.
Ia memulai kepujanggaannya sejak berusia 17 tahun, saat mulai menulis dalam berbagai surat kabar dan majalah Indonesia. Sejalan dengan waktu, ia mulai menulis buku dalam berbagai bidang, seperti puisi, novel, sejarah, seni budaya, pendidikan, politik, tata negara, ilmu dakwah, dan riwayat perjalanan. Beberapa nama pena yang kerap digunakannya adalah al-Hariry, Aria Hadiningsun, dan Asmara Hakiki.
Puluhan karya telah dihasilkan oleh sosok yang namanya digunakan sebagai nama sebuah museum di Aceh itu. Tidak sedikit di antaranya adalah karya sastra, seperti dua karya yang berisi sajak-sajak Hasjmy berjudul Kisah Seorang Pengembara (1937) dan Dewan Sajak (1938). Sedangkan, beberapa novel karangannya adalah Bermandi Cahaya Bulan (1938, dicetak ulang pada 1979), Dewi Fajar (1943), Nona Press Room (1963), Meurah Johan (1977), Tanah Merah (1977), Melalui Jalan Raya Dunia (1978), dan Suara Azan dan Lonceng Gereja (1983).
Buku lain yang ditulisnya bersifat analisis sastra seperti Rubai Hamzah Fansury Karya Sastra Sufi Abad XVII (Kuala Lumpur, 1976), Hikayat Perang Sabil Jiwanya Perang Aceh (1970), Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa, serta puluhan buku dari genre lainnya.
Dalam karya-karya itulah Hasjmy menghadirkan pemikirannya, termasuk nasionalisme yang gegap gempita dalam dirinya. Dalam bukunya yang berjudul Di mana Letaknya Negara Islam (1984), Hasjmy menulis, "Dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ada unsur tertentu dari sistem demokrasi liberal Barat, sistem demokrasi sosial, sistem demokrasi Islam, dan lain-lain yang tidak bertentangan dengan hakikat Pancasila."
Sejarawan Mawardi Umar mengatakan, seperti dikutip theglobejournal.com, mengatakan (Agustus 2011) bahwa nasionalisme Hasjmy tak perlu diragukan. Hal itu, katanya, tergambar dalam karya-karya sastra Hasjmy, juga perjuangan fisik yang ditunjukkannya pada masa prakemerdekaan.
Tak cukup dikenal sebagai ulama, tokoh pendidikan, pejuang, dan sastrawan, sejumlah tokoh menambahkan sederet gelar lain bagi Ali Hasjmy. Di antaranya, dokumentaris, sejarawan, dan aktor atau pelaku dari sejarah itu sendiri.
0 Komentar