Bak mendapat angin segar, Wanita TNI (Wan-TNI) diperbolehkan
mengenakan jilbab pada saat bertugas oleh mantan Panglima TNI Jenderal
Moeldoko. Hal ini ia sampaikan langsung saat memberikan pengarahan untuk
seluruh prajurit TNI bersama istri se-Sumatera Utara di hangar Lapangan
Udara Soewondo, Medan, setelah menjawab pertanyaan seorang Wan TNI
berpangkat Kapten, Kes Dastria soal penggunaan jilbab, pada 22 Mei 2015
lalu.
Sebagaimana dilansir situs berita detik.com, dengan tegas, ia
nyatakan bahwa TNI tidak melarang penggunaan jilbab dan meminta agar
tidak meributkan hal tersebut. “Pakai saja, kita nggak melarang kok.
Wanita TNI mau pakai jilbab, pakai saja. Kalau pakaian dinas memakai
jilbab, memang kita pernah melarang? Nggak usah ribut. Itu urusan
masing-masing,” begitu katanya.[1]
Namun, ternyata pernyataan tersebut hanyalah harapan kosong, seminggu
kemudian, Moeldoko mengklarifikasi pernyataannya yang telah ia
sampaikan langsung di hadapan ribuan orang. Ia mengatakan penggunaan
jilbab dalam bertugas hanya untuk anggota Wan TNI yang sedang bertugas
di Aceh dan bagi Wan TNI yang ingin berjilbab tinggal mengajukan ke
atasannya untuk bertugas ke Aceh, sebagaimana dilansir dalam kompas.com
(29/05/2015).[2]
Sementara menurut ketua Komisi I DPR RI, Drs. Mahfudz Siddiq,
pembahasan jilbab TNI sendiri di DPR sudah lama dibahas sejak tahun
2004. Perkembangan terakhir soal jilbab TNI, staf PNS TNI sudah
diperbolehkan untuk mengenakan jilbab, walau untuk prajuritnya belum
diperbolehkan.[3]
Padahal, jauh sebelumnya, pada tahun 1945, Rahmah El Yunusiyyah sudah
memakai jilbab secara sempurna saat ia membidani lahirnya Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) Padang Panjang yang merupakan cikal bakal TNI.
Jilbabnya yang lebar dengan baju kurungnya tidak menjadi penghalang
baginya untuk menjadi pengayom barisan-barisan pejuang yang dibentuk
oleh organisasi-organisasi Islam pada waktu itu, antara lain Laskar
Sabilillah dan Laskar Hizbullah.[4]
Delapan tahun sebelum TNI lahir, Rahmah juga telah memperjuangkan
pemakaian jilbab saat mengikuti Kongres Perempuan Indonesia kedua di
Jakarta pada tahun 1935. Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang
menuliskan dalam Biografi Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy,
Rahmah bersama salah seorang pengurus Permi (Persatuan Muslim
Indonesia) Ratna Sari yang menjadi Wakil dari Kaum Ibu Sumatera Tengah,
memperjuangkan soal kerudung dalam kongres tersebut.[5]
Prof. Drs. H. Amura dalam tulisannya Rahmah El Yunusiyyah di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945 – 1950)
juga mencatat, Rahmah yang saat itu usianya sudah mencapai 45 tahun,
ketegarannya tidak kalah dengan kaum pria. Bungsu dari lima bersaudara
ini tampil sebagai salah seorang pelopor untuk mendirikan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Padang Panjang dengan pembiayaannya
sendiri.
Ia juga mengambil harta kekayaannya untuk memberi makan pemuda-pemuda
yang dilatih menjadi TKR. Kemudian di daerah Padang Panjang
terbentuklah suatu kesatuan TKR yang kemudian dikenal dengan sebagai
inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim yang pada akhir
hayatnya berpangkat Brigadir Jenderal TNI.
Mantan Kepala Bagian Penerangan Resimen VI Padang Panjang ini juga
menuturkan, ketika pembentukan TKR untuk Sumatera Tengah (minus Jambi
yang masuk Sumatera Selatan), pada tanggal 1 Januari 1946, para pemimpin
TKR mengadakan rapat di Padang Panjang. Dari hasil rapat tersebut,
mereka menetapkan Sumatera Tengah mempunyai kesatuan yang diberi nama
Divisi III Banteng dan berada di bawah pimpinan Komandan Divisi Kolonel
Dahlan Jambek. Divisi III ini mempunyai empat resimen.
Resimen I mempunyai tiga Batalyon, sedangkan Batalyon I “Merapi”
berada di bawah pimpinan Mayor Anas yang berkedudukan di Padang Panjang.
Walau kemudian kesatuan tentara di Sumatera Tengah berubah namanya
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan akhirnya menjadi TNI, namun
Padang Panjang tetap memegang posisi dan kiprah Rahmah El Yunusiyyah
dalam membidani TKR Padang Panjang tetap diakui dalam sejarah.[6]
Tidak hanya Rahmah, sebelum kemerdekaan sampai paska kemerdekaan,
para perempuan di Sumatera Tengah juga turun dalam medan peperangan dan
bergabung dalam kelaskaran yaitu Laskar Muslimat dan Laskar Sabil
Muslimat. Laskar Muslimat merupakan bagian dari LASMI (Laskar Muslimin
Indonesia) bentukan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan Laskar
Sabil Muslimat merupakan bagian dari Muhammadiyah, dua laskar ini adalah
dua organisasi kelaskaran Muslimah yang pernah dimiliki Indonesia.
Kowani dalam Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia
mencatat, pelantikan-pelantikan Laskar Muslimat ini antara lain
diadakan di Bukittinggi, Padang, Solok, Sawahlunto, Bangkinang, Kampar,
Kerinci. Dalam pelantikan-pelantikan ini mereka memakai pakaian seragam
sarung batik, baju dan kerudung putih. Tugas-tugas mereka antara lain
ikut serta berjuang di garis depan, masuk hutan keluar hutan, masuk
kampung keluar kampung dan mengikuti Longmarch dari bukit ke bukit dan dari gunung ke gunung.[7]
Ada pula Laskar Sabil Muslimat, aktivitas Laskar Sabil Muslimat
terbagi dua, garis depan dan garis belakang. Tugas mereka yang berada di
garis depan ialah mempertahankan diri, menjadi bagian dari palang
merah, menyelenggarakan dapur umum, sebagai intel (memasuki daerah
musuh), memberikan penerangan dan membina mental anggota. Sedangkan
tugas mereka yang berada di garis belakang antara lain melatih
kader-kader, mencari dan mengumpulkan bahan makanan dan menjaga keamanan
selama orang shalat Jum’at di wilayah Sumatera Tengah.[8]
Sama halnya dengan Laskar Muslimat, Laskar Sabil Muslimat juga
berjuang membela dan mempertahankan negara dengan memakai kerudung.
Hamka dalam bukunya Tjemburu (Ghirah) menuliskan kesaksiannya, bagaimana di tanah kelahirannya, Minangkabau, perempuan-perempuan Aisyiyah memakai kerudung.
“Di Minangkabau saja melihat “Sabil Muslimat” : Gadis2 pakai kudung dari sekolah ‘Aisjijah menjadi Sabil Muslimat”.[9]
Mengenai Sabil Muslimat, salah satu anak tokoh Muhammadiyah, A.R.
Sutan Mansur dari istri keduanya, Aisyah Rasyid pada waktu revolusi
meletus ikut bergabung dalam Sabil Muslimat. Ia bergabung di bawah
pimpinan Kolonel Syamsiah Syam. Peristiwa ini berlangsung sebelum
Indonesia merdeka, yaitu sekitar tahun 1942 sampai 1945.[10]
Sementara di Sulawesi Selatan, terdapat salah seorang mujahidah
berjilbab bernama Opu Daeng Risaju dengan nama kecil Famajjah yang lahir
di Palopo pada tahun 1880. Penulis Biografi Opu Daeng Risaju : Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia,
Drs. Muhammad Arfah dan Drs. Muhammad Amir, menyebutkan Opu Daeng
Risaju dinamakan Opu karena ia keturunan bangsawan dari keturunan
raja-raja Tellumpoccoe’ Maraja yaitu Gowa, Bone dan Luwu dan gelar
tersebut diberikan setelah ia menikah.[11]
Pada 14 Januari 1930, ia menjadi ketua Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII) untuk cabang Palopo, Sulawesi Selatan. Walau tidak banyak cerita
mengenai dirinya saat menjadi TNI namun pada tahun 1950, ia pernah
menjadi anggota TNI dengan pangkat terakhir sebagai Pembantu Letnan
berdasarkan surat keputusan pemberhentiannya tanggal 25 Maret 1950
dengan Nomor 0066/Kmd/SKP/XVI/50 yang dilampirkan dalam buku
Biografinya.[12]
Kemudian dalam situs Kementerian Sosial, Opu Daeng Risaju masuk dalam
daftar pahlawan nasional pada 03 November 2006 lalu dengan Keppres No.
085/TK/2006.[13]
Perjuangan tanpa henti untuk negara yang diperlihatkan oleh
pejuang-pejuang berjilbab ini seharusnya tidak membuat TNI lupa akan
sejarah bahwa pernah ada tentara-tentara wanita yang berjilbab dan salah
satunya merupakan pelopor TKR Padang Panjang. Tidak seharusnya pula Wan
TNI dihalangi untuk berjilbab, terlebih dalam Pasal 28 I ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945 sudah dinyatakan bahwa warga negara berhak dan
bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut.
Oleh : Sarah Mantovani – Penulis merupakan peneliti junior the Center for Gender Studies dan Kontributor Jejak Islam Bangsa.
[1] Panglima TNI Perbolehkan Prajurit Perempuan Berjilbab, http://us.news.detik.com/berita/2922729/panglima-tni-perbolehkan-prajurit-perempuan-berjilbab, diakses 03 September 2015.
[2] Panglima TNI: Jilbab Hanya untuk Anggota TNI Perempuan di Aceh, http://regional.kompas.com/read/2015/05/29/10474871/Panglima.TNI.Jilbab.Hanya.untuk.Anggota.TNI.Perempuan.di.Aceh, diakses 03 September 2015.
[3] Wawancara
dengan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq setelah selesai acara
Seminar Relevansi Bela Negara dalam Konteks Kekinian di Lobi Auditorium
Joko Sutono, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 03 Oktober
2015.
[4] Aminuddin Rasyad, et. al., Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia: Riwayat Hidup, Cita-cita dan Perjuangannya, (Jakarta: Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, 1991), hlm. 61.
[5] Ibid, hlm. 77.
[6] Amura, Rahmah El Yunusiyyah di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945 – 1950) dalam Aminuddin Rasyad, et. al., Hajjah Rahmah…, hlm. 113.
[7] Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hlm. 80.
[8] Ibid, hlm. 81.
[9] Hamka, Tjemburu (Ghirah), (Jakarta: Firma Tekad, 1961), hlm. 17.
[10] Aisyah Rasyid, Dari Sungai Batang Maninjau dalam buku Biografi Ahmad Rasyid Sutan Mansyur (Buya Tuo): Dari Pergulatan Ideologis ke Penguatan Aqidah, Pahlawan Kayo, RB Khatib., Bakhtiar, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), hlm. 62.
[11] Muhammad Arfah dan Muhammad Amir, Opu Daeng Risaju: Perintis Pergerakan Kebangsaan Kemerdekaan Republik Indonesia, (Ujung Pandang: Pemerintah Daerah Propinsi Tingkat I, 1991), hlm. 39 dan 40.
[12] Kementerian Sosial, Daftar Nama Pahlawan Nasional, http://k2ks.kemsos.go.id/wp-content/uploads/2015/01/Daftar-Nama-Pahlawan-Nasional.pdf, (diakses 04 Oktober 2015).
[13] Muhammad Arfah dan Muhammad Amir, Opu Daeng…, hlm. 103.
Foto latar Belakang pada sampul adalah Muslimat NU.
0 Komentar