Di masa penjajahan, kata “Indonesia” belum dikenal. Wilayah yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke ini dikenal dengan nama
Hindia-Belanda. Hampir-hampir dilupakan, yang pertama kali menggunakan
“Indonesia” sebagai nama organisasi ialah organisasi para mahasiswa
Hindia-Belanda yang sedang menuntut ilmu di Negeri Belanda.
Pada 1920-an terjadi peristiwa revolusioner, yaitu perubahan nama organisasi mahasiswa pribumi itu dari Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda, PHB) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia, PI).
Tidak berhenti sampai di situ, para mahasiswa bumiputera di Belanda itu
pun mengubah nama majalah organisasinya dari Hindia Poetera menjadi
Indonesia Merdeka, memperkenalkan semboyan “Indonesia Merdeka, sekarang!”, serta mengumumkan Manifesto Politik yang berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis.
Menurut Taufik Abdullah, peristiwa di atas sekaligus menyatakan tiga
hal fundamental. Pertama, adanya bangsa bernama Indonesia. Kedua, adanya
sebuah negeri bernama Indonesia. Ketiga, bangsa itu menuntut
kemerdekaan bagi negerinya.
Para mahasiswa aktivis Perhimpunan Indonesia itulah yang sesungguhnya
merupakan pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.
Ketika peristiwa revolusioner itu terjadi, Ketua PHB pada 1923 ialah
mahasiswa kedokteran bernama Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974). Di masa
kepemimpinan Soekiman, PHB memperingati hari ulang tahun ke-15. Pada
kesempatan itulah diterbitkan Buku Peringatan yang isinya mencerminkan
semangat yang menjiwai perubahan nama PHB menjadi PI. Pada ulang tahun
ke-15 itu dideklarasikan dasar-dasar perjuangan PI yang pada pokoknya
menekankan ideologi kesatuan dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sesudah pada 1925 para mahasiswa pribumi di Belanda resmi melekatkan
kata Indonesia untuk nama organisasinya, pada kongres tahun 1926 kata
Indonesia dipergunakan oleh organisasi Indonesia Muda. Sekitar tahun itu
juga, Jong Islamieten Bond melekatkan kata Indonesia pada nama organisasi kepanduan yang dibentuknya, Nationale Indonesische Padvendrij (Natipij). Tiga
tahun kemudian, Kongres Pemuda Indonesia 1928 mengikrarkan diri
berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia,
dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Sekembali ke tanah air, Soekiman menjadi aktivis Partai Sarekat
Islam, salah seorang penggagas pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI,
kini Universitas Islam Indonesia), aktivis Persyarikatan Muhammadiyah,
mendirikan dan memimpin Partai Islam Indonesia (PII), serta menjadi
anggota Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Untuk Menyelidiki Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan) yang merumuskan konstitusi dan falsafah negara.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Soekiman turut
mendirikan dan terpilih menjadi Ketua Umum Partai Masjumi (1945-1949),
dan menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia (1951-1952).
Sebagi Ketum Masjumi, Soekiman menolak politik perundingan yang
dijalankan oleh PM Sutan Sjahrir. Soekiman nyaring menolak segala bentuk
perundingan dengan Belanda, meskipun tokoh-tokoh Masjumi seperti H.
Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, dan K.H.A. Wahid Hasjim
berada dalam Kabinet Sjahrir dan menjadi tim perunding.
Masjumi di bawah Soekiman menganggap Kabinet Sjahrir tidak melihat “perubahan
radikal dan mentale revolutie (revolusi mental) dari jiwa bangsa kita
yang dahulu bersifat lemah dan tak berdaya menjadi kuat penuh meluap
dengan semangat perjuangan (militan).”
Masjumi hanya mau berunding dengan Belanda atas dasar diakuinya
kedaulatan negara RI. Dengan sikap dasar Masjumi seperti itu, mudah
dimengerti mengapa Soekiman akrab dengan Tan Malaka. Atas dasar kesamaan
pandangan itulah bersama Tan Malaka, partai-partai politik, dan
sejumlah organisasi massa; Soekiman membentuk Persatuan Perjuangan yang
merupakan barisan oposisi terhadap Sjahrir. Masjumi aktif dalam
Sekretariat Persatuan Perjuangan.
Tentang keikutsertaan Masjumi dalam Persatuan Perjuangan, Natsir menjelaskan: “Waktu
itu perjuangan menghendaki kebersamaan. Jadi, Masjumi pun ikut. Yang
penting ikut tanda tangan. Ndak pikir kita partai besar atau golongan
kecil. Tapi Saudara juga harus mencatat, orang-orang Masjumi di kabinet,
tetap mendukung Sjahrir. Itulah romantika dan dinamikanya perjuangan
pada saat itu.”
Rupanya dari perbedaan sikap terhadap politik perundingan, perbedaan
antara Soekiman dengan Natsir, bermula. Posisi Soekiman sebagai Ketum
Masjumi berakhir sesudah pada Muktamar 1949 dia dikalahkan oleh Natsir.
Yang menarik, dan ini sangat luar biasa, Natsir sebagai pemenang tidak
menyingkirkan Soekiman. Dan Soekiman yang senior tidak merajuk karena
dikalahkan oleh yuniornya. Sampai Masjumi membubarkan diri pada
September 1960, Soekiman tetap aktif di Masjumi. Di era Natsir sebagai
Ketua Umum, Soekiman Presiden Partai. Soekiman adalah Wakil Ketua Umum
di bawah Ketua Umum Prawoto Mangkusasmito. Padahal, seperti diakui
Prawoto, Soekiman-lah yang mengenalkannya dengan dunia politik.Dengan
sejumlah perbedaan antara Soekiman dengan Natsir dan Prawoto, pada
saatnya harus memilih antara setia atau meninggalkan kawan satu partai,
Soekiman memilih sikap perwira: setia kepada teman seperjuangan.
Pada 1960, Presiden Sukarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil
pemilihan umum 1955. Sebagai gantinya, Bung Karno membentuk DPR Gotong
Royong yang semua anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. Dalam
rangka itu, Bung Karno meminta kesediaan Soekiman untuk menjadi anggota
DPR-GR sebagai wakil dari kalangan cendekiawan. Konon Bung Karno berniat
menjadikan Soekiman sebagai Ketua DPR-GR.
Soekiman menolak tawaran itu. Dia merasa tidak mengerti mengapa dirinya “dikecualikan
dari tindakan Presiden mengeksitkan Masjumi dalam usahanya meretool DPR
pilihan rakyat, dan (ditunjuk) menjadi anggota DPR-GR!”
Bagi Soekiman, “sukarlah kiranya diharapkan daripada saya suatu
sikap yang mengandung unsur ketidakperwiraan bahkan yang bersifat
kerendahan budi jika umpamanya sampai terjadi: Masjumi dieksitkan dari,
dan saya sedia dimasukkan dalam DPR-GR!”
Meminjam istilah seorang teman, Soekiman telah menempatkan jabatan
publik sebagai wasilah. Bukan sebagai tujuan. Bangsa ini perlu belajar
dari keperwiraan Soekiman.
Sayang, sampai hari ini belum banyak buku yang mengekplorasi pikiran
dan perjuangan dr. Soekiman Wirjosandjojo. Setahu saya, biografi
Soekiman pun belum ada yang menulis. Tulisan singkat ini mudah-mudahan
merangsang kaum cendekiawan untuk menulis Soekiman Wirjosandjojo.
Oleh: Lukman Hakiem – Mantan Anggota DPR RI, Penulis dan editor berbagai buku.
Bahan bacaan:
1. Drs. Amir Hamzah Wiryosukarto (Penyunting), Wawasan Politik Seorang
Muslim Patriot Dr. Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974), Surabaya, Usaha
Nasional dan YP2LPM, 1984.
2. Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H., Jakarta, Media Dakwah, 1993
3. Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische Sampai Indonesia, Jakarta, Kompas, 2005
Sumber: http://jejakislam.net/?p=1183
0 Komentar