Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Dua Tokoh: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menginspirasi

Oleh: Ady Amar *)

Kesederhanaan memang tidak identik dengan hidup susah. Begitu pula hidup yang tampak susah itu belum tentu miskin di hadapan orang yang memilih kehidupan sederhana.

Adalah Mohammad Natsir (17 Juli 1908-6 Februari 1993) tokoh dan pendiri Partai Masyumi, yang memilih hidup sederhana itu. Siapa yang mengenalnya pasti akan memberikan kesaksian akan pilihan hidupnya itu. Jabatan sebagai Menteri Penerangan RI dan Perdana Menteri tidak menjadikan hidupnya menjadi berubah, biasa-biasa saja.

Ada kesaksian George McTurman Kahin, Indonesianis asal Amerika Serikat, yang termuat dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangannya. Begini kesaksiannya ... “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun.”

Itulah pertemuan pertama kali Kahin dengan Natsir di Yogyakarta, yang waktu itu sebagai Menteri Penerangan. Sungguh pertemuan yang mengejutkannya tentang begitu sederhana seorang Menteri di sebuah negara yang meski baru merdeka.
Kesederhanaan Natsir itu juga berimplikasi pada sifat-sifatnya yang teduh, dan tutur katanya yang halus, meski berbeda pendapat atau bahkan berpolemik dengan lawan-lawan politiknya.

Kesederhanaan Natsir adalah kesederhanaan khas tokoh-tokoh politik masa lalu. Kesederhanaan yang tidak dibuat-buat. Ada kesaksian putri sulung Pak Natsir, Siti Muchliesah—akrab dipanggil Lies—dalam wawancara dengan Majalah Tempo pada 2008, dimana kala itu menurut penuturannya, ada seorang tamu dari Medan, yang bermaksud menghadiahkan mobil Chevrolet Impala, dan mobil itu sudah terparkir di depan rumahnya, di Jl. Jawa 28 (kini Jl. H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat, itu akan menjadi milik ayahnya. Saat itu Natsir duduk sebagai anggota Parlemen, dan memimpin Fraksi Partai Masyumi, ia hanya memiliki mobil pribadi, dan satu-satunya, DeSoto tua yang sudah kusam.

Harapan anak-anak Natsir, yang mencuri pendengaran dari balik pintu, untuk menaiki Impala besar itu buyar, setelah sang ayah menolak pemberian itu dengan bahasa halus. “Mobil itu bukan hak kita, dan lagian mobil yang ada masih cukup,” Lies menirukan perkataan sang Abah, panggilan anak-anaknya pada Natsir. Ajaran dan sikap hidup Pak Natsir itu membekas pada putra-putranya untuk juga memilih hidup sederhana.

Di awal Orde Baru, Natsir berikhtiar menghidupkan Partai Masyumi, tapi gagal. Karenanya, ia dengan kawan-kawannya membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), tepatnya pada tanggal 26 Februari 1967. Dalam sebuah wawancara, Natsir mengibaratkan Dewan Da’wah sebagai mesin kecil pembangkit listrik, ditempatkan di belakang rumah dan di bawah tanah, sehingga mesin da’wah itu bisa menerangi umat tanpa terdengar berisik dan polusi yang bersifat politis ...
Natsir memimpin Dewan Da’wah, sejak organisasi itu dibentuk, sampai dia menghembuskan napas terakhir (Pendiri dan Pemimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Lukman Hakiem, Ed.).

Kehidupan sederhana yang dipilihnya itu, hingga ia memimpin Dewan Da’wah, sebagaimana kesaksian menarik dari Yusril Ihza Mahendra, yang kala itu menjadi salah satu staf pribadi Pak Natsir, begini ... “Pak Natsir acap ke kantor [DDII] mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru.”

Pak Natsir cuma mewariskan rumah satu-satunya itu (Jl. H.O.S. Cokroaminoto) pada anak-anaknya. Dan sepeninggalnya, setahun kemudian, kelima anak-anaknya bersepakat menjual rumah itu, karena tidak kuat membayar pajaknya.

***

Tokoh yang kita bincangkan selanjutnya salah satu pemimpin Partai Masyumi yang lain. Pribadi yang tidak punya kehausan pada kekuasaan. Karenanya, ia menjadi tidak serasi dengan cara-cara pemimpin politik yang bersaing dalam merebut kekuasaan.

Inilah paradoks eksistensial yang menyelimuti dirinya. Dimana ia tidak berambisi akan kekuasaan, dan karenanya ia memiliki kebebasan batin yang menakjubkan untuk tidak tergoda pada godaan jabatan.

Ia memang bukan jenis politisi yang mencari uang, disebabkan jabatan politiknya. Ia hanya berjuang untuk agama, bangsa, dan negaranya.

Semua itu tampak dari cara hidupnya yang amat sederhana, meski ia pernah menjabat sebagai mantan Wakil Perdana Menteri dan mantan Wakil Ketua Konstituante. Jabatan prestisius, yang jika ia minat pada harta maka hidupnya akan berlebihan.

Ada kesaksian menarik tentang tokoh yang sedang kita bicarakan ini. Kesaksian Sri Sjamsiar, putri sulungnya ... “Menjelang pembubaran Partai Masyumi, suatu hari saya diminta Bapak untuk menisik (menambal) kerah baju koko putih beliau. Saya bertanya, untuk apa? Beliau menjawab, untuk ke Istana."

Keesokan harinya Presiden Soekarno memanggil para pimpinan Partai Islam Masyumi, dan Partai Sosialis Indonesia. Semua yang hadir di Istana saat itu menggunakan setelan resmi berjas lengkap, berdasi dan bersepatu, kecuali Bapak ... yang hadir dengan sarung, baju koko tua dan sandal kulit ...”

Siapakah pribadi yang luar biasa itu, yang hidup dan kehidupannya sarat dengan kesederhanaan?
Dialah Prawoto Mangkusasmito, Ketua Partai Islam Masyumi terakhir, sebelum Partai itu dibubarkan rezim otoriter Soekarno.
Semua yang mengenal pribadi Pak Prawoto, akan memberikan kesaksian memukau tentang kesederhanaannya... Adalah Mochtar Lubis, Pemimpin Suratkabar “Indonesia Raya”, yang diberangus rezim Soekarno, dan lalu oleh rezim Soeharto, mengatakan demikian, “Jenggot dan kumisnya, peci, kacamata, dan kain sarung yang paling suka dipakainya setiap hari ... memberi kesan khas pribadi Prawoto Mangkusasmito yang amat sederhana.”
Rekan separtainya pun, Mohammad Roem, mengatakan demikan tentang Prawoto, “... Kita telah mengenal Pak Prawoto dengan jenggotnya yang setengah memutih, dan dengan peci hitamnya, juga sarung yang acap dikenakannya. Bagi saya, gambaran tentang beliau sudah cukup, yang akan saya simpan selama hidup. Pribadi yang sempurna, nyaris tidak kurang suatu apa pun.”
Keteguhan sikapnya dalam memegang prinsip, dan sikap terpujinya yang suka mendengarkan lawan bicara, sembari membuka ruang diskusi yang sehat guna mencari titik temu suatu perbedaan ... Itulah kelebihan pribadi Prawoto Mangkusasmito.

Persahabatannya yang tulus, baik kepada kawan maupun lawan politiknya amatlah terjaga. Inilah pribadi yang tidak cuma bisa menjadi contoh politisi yang lahir belakangan, tetapi juga mengantarkannya pada sikap empati berbagai pihak padanya.
Ada ungkapan lainnya tentang kepribadian Prawoto, dan itu disampaikan Tahi Bonar (TB) Simatupang, yang menulis demikian, “Saudara Prawoto adalah orang yang sangat tenang. Saya tidak pernah melihat beliau marah, gusar atau tergesa-gesa,” yang termuat dalam bukunya, Laporan dari Bunaran.
Ada kisah yang diceritakan berbagai pihak dalam berbagai versi ... Bahwa Prawoto tidak memiliki rumah sendiri. Rumah yang ditempatinya adalah rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya berketurunan Tionghoa, berkewarganegaraan Belanda, yang kembali ke Belanda di tahun ‘50an.
Setelah ditemukan pemiliknya, maka Prawoto ingin membelinya. Hanya saja ia tidak punya uang yang cukup untuk membelinya, meski ia telah menjual beberapa harta yang tidak seberapa, yang dimilikinya, termasuk mobil kesayangannya, dan satu-satunya, Chevrolet warna hijau.
Lalu bagaimana dengan kekurangannya? Mendengar itu, para sahabatnya pun melakukan patungan (saweran) agar Prawoto dapat memiliki rumah itu. Salah seorang sahabatnya yang ikut saweran adalah I.J. Kasimo, Ketua Partai Katolik Indonesia ...
Itulah empati yang ditunjukkan kawan-kawannya. Mereka mencoba membayar kebaikan dan nilai luhur yang ditorehkan Prawoto selama ini. Dan, itu manusiawi...
Kesederhanaan, sikap hormatnya pada semua yang dikenalnya, dan konsistensinya pada prinsip yang dianutnya menimbulkan respek dari kawan maupun lawan politiknya.
Itulah sosok manusia langka, Prawoto Mangkusasmito... Pribadi sederhana dengan peci hitam, baju koko, yang akrab bersarung.
 ***
Sengaja kami ketengahkan dua tokoh, yang secara kebetulan, dari Partai Masyumi (berdiri 7 November 1945), ketua pertamanya Mohammad Natsir, dan ketua terakhirnya Prawoto Mangkusasmito (dibubarkan oleh rezim Soekarno pada 17 Agustus 1960).
Dua pribadi yang membesarkan Partai Masyumi sebagai Partai Islam terbesar dan Partai yang menolak kompromi ajakan Presiden Soekarno pada gagasan Nasakom, meski Partai Masyumi menerima sanksi dibubarkan.
Mohammad Natsir dan Prawoto Mangkusasmito adalah dua pribadi, yang disamping memilih hidup sederhana, juga memiliki kepribadian lembut. Santun dalam bertutur kata, meski lawan bicaranya meledak-ledak dalam perdebatan di Parlemen. Keduanya memiliki sikap yang hampir serupa, yakni tidak membalas perkataan yang cenderung caci maki dengan perlakuan yang sama. Keduanya memilih bahasanya sendiri tanpa terpengaruh dengan keadaan yang ada ...
Dua tokoh yang nyaris serupa meski tidak seratus persen sama, namun sikap-sikap dasarnya dalam mengelola emosi sungguh patut diteladani. Inilah pribadi yang dimatangkan tempaan zaman perjuangan, agama (Islam), menjadikan semua aktivitasnya bagian dari ibadah.
Natsir dan Prawoto adalah dua pribadi yang bisa bergaul akrab dengan tokoh-tokoh di luar Islam, tokoh-tokoh Katolik, Kristen, dan Komunis sekalipun. Dua tokoh yang kita bincangkan ini mengajarkan pada kita, mengelola perbedaan pendapat tidak mesti harus menjaga jarak dalam pergaulan personal.
Inilah Dua Tokoh yang bisa menjadi teladan di tengah kehidupan perpolitikan dan personal yang sarat dengan kepentingan pribadi/kelompok, cenderung menghalalkan segala cara ... Karenanya, melahirkan politisi-politisi yang mengumbar kehidupan super mewah tanpa merasa risih... Kesederhanaan dan keteladanan dari Dua Tokoh--yang tampaknya Tuhan cuma sekali melahirkan keduanya--itu, mestinya bisa menjadi inspirasi di tengah kehidupan budaya yang cenderung hedonis dan materialistik.
*Pemerhati Masalah Sosial

Posting Komentar

0 Komentar