Darmawijaya
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate Alamat
In 1966 was the beginning of New Order rezim. There was
anyone who cannot argue that Moslem people had played an important role in
bearing a new order. It was, therefore, natural that Moslem people have very
extremely expected to manage this state with many more. This expectation was
just imagination, because Suharto, as a leader of new order, did not give space
adequately for them. Suharto exactly runs political of deislmatization
systematically, in essential for marginalizing for Moslem people. The process
reached the climax in 1985, in where the new order issued regulation setting
that Pancasila (the five basic principles of Republic of Indonesia) as a single
principle, so this signed the death of Islam as political ideology in
Indonesian history.
Keyword:
Moeslem, New Order rezim, a single principle.
Pada tahun 1966 adalah awal dari
rezim Orde Baru. Tak seorangpun membantah bahwa umat muslim telah memainkan
peran penting dalam membawa tatanan baru. Oleh karena itu, hal yang biasa bagi
muslim sangat diharapkan untuk mengelola negara ini dengan cara mayoritas.
Harapan tersebut menjadi hanya imajinasi, karena Suharto, sebagai pemimpin orde
baru, tidak memberikan ruang cukup bagi mereka. Suharto dalam menjalankan sitem
deislmisasi dalam percaturan politik, hal tersebut berfungsi dalam untuk
menyingkirkan secara perlahan muslim-muslim yang punya posisi secara politik.
Proses ini mencapai puncaknya di tahun 1985, dibuktikan dengan mengeluarkan
peraturan dengan menetapkan bahwa Pancasila (lima prinsip dasar Republik
Indonesia) sebagai asas tunggal .
olehnya paper
ini membahas tentang konsep orde baru dalam
konsep
kematian ajaran Islam sebagai ideologi politik dalam
sejarah
Indonesia.
Kata Kunci: Umat Islam, Orde Baru, Azas Tunggal. Pendahuluan
Setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965, pada sore
harinya, tanggal 1 Oktober 1965, tokoh-tokoh muda Islam Indonesia dari berbagai
organisasi, seperti Gerakan Pemuda Anshar, HMI, PII dan Pemuda Muhammadiyah,
mengadakan pertemuan di rumah Subchan Z.E. (tokoh NU) di jalan Bayuwangi
Jakarta. Pertemuan ini membahas tentang bagaimana langkah-langkah yang akan
diambil untuk mendukung TNI Angkatan Darat dalam menumpas PKI. Pertemuan ini
sepakat membuat sebuah wadah yang bernama Komando Aksi Pengganyangan(KAP)
Gestapu. Pada tanggal 3 Oktober 1965, PII dengan dukungan dari ribuan
anggotanya mengadakan "Apel Akbar" di halaman gedung Front Nasional.
Apel Akbar itu mendesak agar rakyat Indonesia untuk segera mengganyang
tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Subandrio.[1]
Pada tanggal 4 Oktober 1965, KAP Gestapu melakukan "Rapat
Umum" di Taman Sunda Kelapa Jakarta. Rapat Umum ini dihadiri oleh ribuan
massa umat Islam yang berasal dari Gerakan Pemuda Anshar, Pemuda Muhammadiyah,
Pemuda Muslimin, HMI, dan PII. Di samping itu, hadir pula massa dari Pemuda
Pancasila, Gasbiindo, dan PMKRI. Dalam rapat umum telah dikeluarkan suatu
resolusi yang berisi tuntutan pembubaran PKI dengan segala antek-anteknya.[2]
Pada tanggal 8 Oktober 1965, gerakan anti PKI yang didominasi
oleh kekuatan Islam yang didukung oleh TNI Angkatan Darat menguasai jalan-jalan
yang ada di Jakarta. Pada tanggal ini pula, massa anti PKI berhasil membakar
Markas Besar PKI yang ada di Jakarta.[3]
Pada tanggal 9-11 Oktober 1965, organisasi Muhammadiyah mengadakan pertemuan di
Jakarta. Pertemuan ini sepakat untuk membantu TNI-Angkatan Darat dalam
merobohkan kekuatan PKI selaku motor penggerak peristiwa Geraka 30 September
1965. Putusan Muhammadiyah ini juga didukung oleh kelompok-kelompok Islam
lainnya. Umat Islam Indonesia sudah begitu antipatinya terhadap PKI, karena PKI
selalu mengganyang umat Islam.[4]
Bahkan, sikap antipati tersebut berubah menjadi ledakan emosional yang cukup
besar, yang ditandai dengan terlibatnya umat Islam Indonesia dalam aksi
pembunuhan terhadap kader-kader PKI di berbagai wilayah Indonesia. Di Jawa
Timur, pembunuhan terhadap kaum komunis dilakukan oleh massa NU. Jawa dan Bali
merupakan daerah yang paling parah dalam tragedi ini.[5]
Aksi pembersihan terhadap kaum komunis Indonesia mulai berakhir
pada bulan-bulan pertama 1966. Berapa korban yang meninggal dalam peristiwa ini
belum ada data yang menyebutkan secara pasti. Sebagian besar ahli memperkirakan
setidaknya sekitar lima ratus ribu orang, tetapi tak ada seorang pun yang
benar-benar tahu, karena tak seorang pun menghitungnya.[6]
Walaupun PKI sudah lemah diberbagai wilayah Indonesia, akan
tetapi Presiden Sukarno belum mampu menyelesaikan masalah Gerakan 30 September
1965 secara politik. Keadaan ini diperparah lagi dengan situasi ekonomi yang
semakin carut marut. Rakyat Indonesia meminta kepada Presiden Sukarno untuk
membubarkan PKI dan memperbaiki perekonomian. Sikap Presiden Sukarno yang
seakan- akan melindungi PKI telah menyulut kemarahan dari rakyat Indonesia.
Atas dasar itu, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang telah berdiri sejak
tanggal 25 Oktober 1965 semakin gencar melakukan aksi.[7]
Presiden Sukarno bukannya mengadili tokoh-tokoh intelektual yang terlibat dalam
Gerakan 30 September 1965 dan memperbaiki keadaan ekomoni, akan tetapi Presiden
Sukarno membangun kekuatan tandingan yang bernama "Barisan Sukarno".
Pada tanggal 16 Januari 1966 Perdana Menteri I Subandrio mengumumkan berdirinya
Barisan Sukarno, yang kekuatannya terdiri dari para buruh, petani, pemuda dan
wanita baik di kota-kota maupun di desa-desa untuk melawan "terror kontra
terror". Barisan Sukarno diumumkan melalui RRI,
sehingga
bias didengar di seluruh tanah air.[8]
Diumumkannya Barisan Sukarno oleh Subandrio bukan membuat KAMI
menjadi gentar, KAMI aktif terus melakukan aksi. KAMI konsisten meminta kepada
Presiden Sukarno untuk membubarkan PKI dan memperbaiki perekonomian yang
semakin terpuruk. Dalam aksinya, tanggal 24 Januari 1966, KAMI kehilangan satu
anggotanya, yaitu Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI. Gugurnya Arief Rahman Hakim membuat gerakan KAMI semakin
militan. Tanggal 26 Januari 1966, Presiden Sukarno membubarkan KAMI, menutup
Kampus UI, dan menggelar kekuatan militer di jalan-jalan Jakarta, dengan
kendaraan lapis baja beserta rintangan kawat-kawat berduri. KAMI tidak tinggal
diam atas tindakan Presiden Sukarno tersebut. Pada tanggal 4 Maret 1966,
eksponen KAMI membentuk Laskar Arief Rahman Hakim dengan kekuatan 7 batalyon dari 42 Universitas. Tindakan
eksponen KAMI ini diikuti pula oleh PII (Pelajar Islam Indonesia). Pada tanggal
5 Maret 1966, PII berhasil mempelopori berdirinya KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia) di Markas Besar PII Jakarta. Di dalam KAPPI bergabung
organisasi-organisasi pelajar, seperti PII, Ikatan Pelajar Al Washliyah, Ikatan
Pelajar Ekonomi dan Gerakan Siswa Nasional Indonesia. Pada tanggal 8 Maret
1966, Laskar Arif Rahman Hakim dan KAPPI berhasil menduduki Departemen Luar
Negeri. Aksi- aksi pendudukan semacan ini berjalan terus hingga beberapa hari.[9]
Soeharto yakin bahwa ia mendapat dukungan yang luas dari rakyat
Indonesia, terutama umat Islam Indonesia, maka Soeharto berani mengambil sikap
yang lebih maju. Soeharto berhasil menekan Presiden Soekarno untuk mengeluarkan
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan istilah Supersemar.[10]
Dengan memegang Supersemar, Suharto secara bertahap melakukan langkah-langkah
pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pada tanggal 12 Maret 1966,
Suharto atas nama pemegang amanat Supersemar membubarkan PKI
dan menangkap sejumlah menteri yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September
1965.[11]
Pada tanggal 20 Juni- 5 Juli 1966, MPRS melakukan sidang dan siding MPRS ini
berhasil mengambil beberapa keputusan penting, diantaranya adalah menetapkan
Supersemar sebagai Keputusan MPRS, membubarkan PKI dan mengharamkan marxisme
sebagai dokrin politik di Indonesia, mencabut kembali pangangkatan Sukarno
sebagai Presiden seumur hidup dan menunjuk Suharto sebagai kepala pemerintahan
sementara.[12]
Pada bulan Maret 1967, MPRS melakukan Sidang Istimewa dan mengambil beberapa
keputusan penting, diantaranya adalah mencabut kekuasaan pemerintahan negara
dari Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden hingga
dipilihnya Presiden yang depenitif oleh MPR hasil pemilihan umum. Pada bulan
Maret 1968, MPRS bersidang kembali dan menetapkan Soeharto sebagai presiden
yang depenitif untuk masa jabatan lima tahun.[13]
Dengan ditetapkannya Suharto sebagai Presiden Indonesia, maka dimulailah babak
baru sejarah Indonesia dibawah kendali rezim yang bernama Orde Baru, dimana
Soeharto sebagai pemain utamanya.
Pada
awal Orde Baru, sebenarnya sempat muncul romantisme politik Islam, yang telah
mati suri di era Demokrasi Terpimpin. Harapan baru ini terutama dilandaskan
pada fakta tentang jasa-jasa umat Islam ketika bersama-sama dengan TNI-Angkatan
Darat dalam menumbangkan Orde Lama dan kekuatan PKI.[14]
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kemenangan Orde Baru dianggap sebagai
kemenangan Islam. Atas dasar itu, kalangan Islam mulai membahas kembali masalah
Piagam Jakarta. Pada tanggal 22 Juni 1968 dilakukan peringatan Hari Piagam
Jakarta, di gedung Pola Jakarta.[15]
Dalam acara peringatan ini hadir pula Jendral A.H. Nasution. Pada acara
peringatan itu, Menteri Agama K.H.M. Dahlan, yang juga salah satu tokoh NU,
dalam pidatonya, ia berkata:
"...Di atas segala-galanya, memang syariat Islam di
Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat
Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hokum, melainkan ia telah menjadi
kenyataan di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari, telah menjadi adat
yang mendarah daging.Di samping Piagam Jakarta itu menjiwai Undang-Undang Dasar
1945, maka ia pun juga merupakan sumber hokum. Ini adalah otomatis."[16]
Pada sidang istimewa MPRS tahun 1968, kalangan Islam sepakat
mengusulkan kembali agar Piagam Jakarta diterapkan, tetapi akhirnya gagal,
karena usulan mereka ditolak oleh kalangan Kristen, Partai Sosialis Indonesia
dan ABRI.[17]
Partai Masyumi yang pernah dilarang pada era Presiden Sukarno akan dibangun
kembali oleh kalangan modernis Islam. Harapan untuk bangun kembali bagi Partai
Masyumi tidaklah mengada-ada, karena rezim Orde Baru telah membebaskan
tokoh-tokoh Masyumi yang telah dipenjarakan oleh Sukarno, seperti Muhammad
Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo, Prawoto
Mangkusasmito dan Buya Hamka.[18]
Sayangnya, suasana romantisme yang terbangun antara umat Islam
dan pemerintah Orde Baru tidak berjalan lama, karena Soeharto sebagai pemimpin
baru Indonesia memiliki pandangan tersendiri terhadap Islam dan telah
menyiapkan berbagai kebijakan politik yang tidak berpihak pada umat Islam
Indonesia. Diberlakukannya asas tunggal Pancasila pada tahun 1985 adalah
merupakan puncak de- Islamisasi rezim Orde Baru terhadap Islam sebagai
ideology.
Pengebirian Peran Politik Umat
Islam Indonesia Tahun 1966-1985
Tidak ada seorangpun yang dapat menafikan bahwa umat Islam
telah memainkan peranan yang sangat besar dalam menghancurkan kekuatan Komunis
di Indonesia dan sebagai salah satu komponen utama bagi lahirnya Orde Baru.
Namun demikian, setelah berkuasa, rezim Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto
tidak memberikan tempat yang layak bagi Islam , akan tetapi membuat
langkah-langkah secara sistematis untuk menghancurkan kekuatan Islam. Soeharto
sebagai "The Big Bos" Orde Baru berusaha melakukan marjinalisasi
Islam secara politik dan membuat berbagai kebijakan yang melukai hati umat
Islam.
Setelah Soehato diangkat secara resmi oleh MPRS menjadi
presiden Indonesia pada tahun 1968, maka Soeharto mulai secara bertahap
melakukan proses marjinalisasi terhadap kekuatan politik Islam. Hal ini
berlangsung hingga akhir tahun 1980-an. Mengapa Soeharto tidak memberikan
kebebasan kepada umat Islam untuk membangun kekuatannya? Hal ini bias dijawab
secara antropologis dan politik. Secara antropologis, sebagaimana yang dikaji
oleh Clifort Gert, Soeharto termasuk dari kelompok Islam abangan. Soeharto
adalah orang yang sangat mempercayai klenik kebatinan Jawa. Sebagai seorang
abangan sudah tentu Soeharto tidak memiliki referensi yang memadai tentang
Islam. Ketidaktahuan Soeharto akan ajaran Islam dan kedekatan Soeharto dengan
tokoh-tokoh anti-Islam, maka membuat Soeharto menjadi curiga dan takut bahwa
kekuatan Islam akan muncul kembali. Secara politik, Soeharto ingin menjadi
penguasa tunggal yang bertahan lama. Jika Soeharto memberikan kebebasan kepada
tokoh-tokoh Islam, terutama mantan tokoh-tokoh Masyumi untuk melakukan
konsulidasi, maka posisinya sebagai orang kuat tidak akan bertahan lama.
Kebijakan-kebijakan bersifat otoriter yang bertujuan untuk menjaga hegemoninya
adalah merupakan langkah tepat, walaupun itu semua menuai berbagai resiko.
Sejak digalangnya usaha penumpasan terhadap gerakan 30
September yang dimotori PKI hingga awal berdirinya rezim Orde Baru, hubungan
antara umat Islam dengan TNI Angkatan Darat terjalin dengan suasana yang cukup
romantis. Mereka saling dukung mendukung untuk menghancurkan kaum komunis di
Indonesia. Romantisme itu ditandai dengan dibebaskannya tokoh-tokoh Masyumi
yang dipenjarakan oleh Soekarno.
Setelah bebas dari penjara, tokoh-tokoh Masyumi berharap dapat
kembali menghidupkan partainya yang telah dibubarkan pada era Soekarno.
Misalnya, Prawoto Mangkusasmito sebagai mantan Ketua Masyumi sangat aktif untuk
menghidupkan kembali Partai Masyumi. Namun usaha tersebut mendapat tantangan
yang sangat keras dari berbagai pihak, terutama dari TNI-Angkatan Darat,
kalangan Kristen/ Khatolik dan para tokoh Partai Nasional Indonesia. Alasan
yang banyak digunakan adalah bahwa Masyumi merupakan partai politik yang telah
dibubarkan karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan banyak
tokoh-tokohnya yang terlibat dalam peristiwa PRRI. Sekalipun secara formal
alasan penolakan terhadap rehabilitasi Partai Masyumi adalah karena persoalan
hukum, namun sebenarnya lebih bersifat psikologis, yaitu akibat dari kekhawatiran
akan kembalinya kebesaran Partai Masyumi. Jika kekuatan politik Islam diberi
kesempatan untuk melakukan konsulidasi, setelah diganyang oleh Soekarno dan
PKI, maka Islam dengan mudah memobilisasi dirinya untuk menjadi satu kekuatan
politik yang sangat besar dan terbuka peluang untuk mendirikan negara Islam di
Indonesia. Akibat dari ketakutan akan bahaya kekuatan Islam, maka penguasa Orde
Baru melarang tokoh-tokoh Islam untuk menghidupkan kembali Partai Masyumi. 19
Pada
tanggal 7 Januari 1967, Presiden Suharto memberikan tanggapan resmi atas adanya
keinginan dari kalangan Islam modernis untuk menghidupkan kembali Partai
Masyumi. Presiden Suharto mengatakan:
"Pada kesempatan ini saya juga ingin secara berterus
terang tentang menjelaskan kepada saudara, bahwa baik ABRI sebagai keseluruhan
angkatan maupun keluarga prajurit-prajurit sungguh-sungguh telah memberikan
banyak pengorbanan lahir dan batin untuk menumpas pemberontakan itu.Saya
berharap saudara dapat memahami pendirian pemerintah pada umumnya dan ABRI pada
khususnya, terhadap bekas partai politik Masyumi. Alasan-alasan yuridis,
ketatanegaraan dan psikologis telah membawa ABRI pada suatu pendirian, bahwa
ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi."20
Sikap tegas Presiden Suharto ini dinilai oleh kalangan Islam
modernis sebagai sikap yang sangat tidak aspiratif. Dalam sejarah Indonesia,
bukan tentara yang saja yang telah berkorban lahir batin untuk mempertahankan
negara Indonesia, akan tetapi Partai Masyumi dan para pengikutnya juga telah
berjuang mati-matian demi selamatnya Indonesia. Pada tahun 1950, Muh. Natsir
telah mengeluarkan "mosi integral" demi tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Di era Demokrasi Parlementer, tokoh-tokoh Masyumi adalah
tokoh-tokoh yang taat pada asas demokrasi, bahkan demi membela demokrasi itu
sendiri, tokoh-tokoh Masyumi rela membubarkan partainya dan membiarkan diri mereka ditangkap
dan dipenjarakan oleh rezim
19
Asep Gunawan,
Ed., Artikulasi
Islam Kultural Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, (Jakarta: Srigunting, 2004),
hlm. 267-268. Ahmad Ibrahim dkk, ed., Op. Cit., hlm. 71. Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan
Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 4.
20
Jan.S.
Aritonang, hlm. 369.
Sukarno. Para pengikut Masyumi juga memiliki andil yang sangat
besar atas menangnya kekuatan tentara terhadap rezim Sukarno. Jadi tidak ada
satu alasan pun yang cukup orisinil untuk melarang Partai Masyumi melakukan
rehabilitasi. Hanya satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa Presiden Suharto
melarang rehabilitasi Masyumi, yaitu adanya keinginan Presiden Suharto untuk
menjadi penguasa tunggal di Indonesia dan hal itu akan terlihat setelah masa-
masa berikutnya.
Setelah Masyumi dilarang untuk direhabilitasi oleh Suharto,
sebenarnya ada tawaran menarik dari intelektual muda Islam yang bernama
Nurcholis Majid.[19]
Menurut Nurcholis Majid, umat Islam harus mumbuat format baru atas strategi
perjuangan, karena semakin kuatnya tekanan yang datang dari rezim yang
berkuasa. Nurcholis Majid menyarankan agar umat Islam perlu melakukan
sekulerisasi sebagai bentuk penyesuaian atas sikap pemerintah yang semakin
otoriter. Semboyan "Islam Yes, Partai Islam No" adalah semboyan yang
diusung oleh Nurchlis Majid. Ide sekulerisasi yang diusung oleh Nurcholis Majid
ini mendapat tantangan yang hebat dari kalangan intelektual Islam, seperti
Prof.Dr.H. Rasyidi, Prof.Dr. Deliar Noer, Abdul Qadir Djaelani dan Dr. Daud
Rasyid. Prof. Dr.H. Rasyidi, secara khusus menulis sebuah buku yang berjudul : "Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Majid Tentang
SekulerisasiDalam buku tersebut, Prof. Dr. H.
Rasyidi secara tegas menolak terhadap isu sekulerisasi Islam yang diusung oleh
Nurcholis Majid. Prof. Dr.H. Rasyidi secara tegas mengatakan bahwa antara Islam
dan politik adalah dua hal yang tidak bias dipisah-pisahkan dan ini telah
diperjuangkan sejak jaman kolonial hingga lahirnya rezim Orde Baru. [20]
Abdul Qadir Djaelani mengatakan, bahwa ide sekulerisasi yang diusung oleh
Nurcholis Majid adalah gerakan de-Islamisasi dan anti Islam, sedangkan Dr. Daud
Rasyid berpendapat, bahwa ide sekulerisasi tersebut tidak sesuai dengan syariat
Islam dan bertolak belakang dengan prinsip kenegaraan yang diformulasi oleh
ulama Islam zaman dulu, bahkan ada sebagian umat
Islam Indonesia yang menuduh bahwa Nurcholis Majid adalah lobi
Yahudi di Indonesia.23
Setelah Partai Masyumi dilarang untuk dihidupkan kembali,
sekarang Bung Hatta, seorang tokoh yang tidak diragukan lagi jiwa
nasionalismenya, mencoba mendirikan partai baru yang bernama Partai Demokrasi
Islam Indonesia (PDII). Pada tanggal 11 Januari 1967, Mohammad Hatta
mengirimkan surat kepada Suharto tentang niatnya mendirikan PDII. Pada tanggal
17 Mei 1967, Presiden Suharto memberikan jawaban yang tidak baik, yaitu
Presiden Suharto secara tegas tidak memberikan izin bagi Mohammad Hatta untuk
mendirikan partai yang dia maksud.24 Kebijakan Presiden Suharto yang
tidak memberikan izin bagi Mohammad Hatta untuk mendirikan PDII tidak memiliki
alasan yang kuat. Apa salahnya Mohammad Hatta, dia adalah orang nasionalis yang
tidak perlu diragukan lagi jiwa nasionalismenya. Mohammad Hattalah orangnya
yang berhasil melobi kalangan Islam, sehingga kalangan Islam rela melakukan
perubahan terhadap Piagam Jakarta. Mohammat Hatta juga tidak pernah tercemar
namanya, karena terlibat dalam satu pemberontakan. Ketidaksiapan Presiden
Suharto untuk bersaing secara jantan dalam suksesi nasional adalah merupakan
satu-satunya alasan yang bisa dipakai mengapa Suharto melarang tokoh-tokoh
Masyumi maupun Mohammad Hatta untuk mendirikan partai politik. Ketakutan
Suharto semakin terlihat dengan diulur-ulurnya waktu pelaksanaan Pemilu. Pemilu
pertama dalam era Suharto baru terlaksana pada tahun 1971, padahal MPRS telah
menetapkan bahwa Pemilu akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli
1968.25
Untuk menampung aspirasi Islam, terutama kalangan modernis,
Pemerintah Orde Baru hanya mengisinkan berdirinya Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia), akan tetapi pemerintah Orde Baru tidak menyetujui, jika mantan
tokoh-tokoh Masyumi duduk sebagai pengurusnya. Pada kongres I Parmusi pada
bulan November 1968 di Malang terpilihlah Muhammad Roem sebagai ketuanya, akan
tetapi karena Muhammad Roem adalah mantan tokoh Masyumi yang masih berpengaruh,
maka pemerintah Orde Baru tidak merestuinya. Pemerintah Orde Baru melalui
menteri sekretaris negara, Jendral
23
Ibid., hlm. 173.
24
Firdaus Syam., Op. Cit., hlm. 146. Jan.S. Aritonang., Op. Cit., hlm. 368. Jika Suharto
membolehkan Bung Hatta memimpin PDII, maka Bung Hatta dengan popularitasnya
sebagai Bapak Proklamator yang bersih dan berwibawa akan menjadi ancaman besar
bagi Suharto yang ingin menancapkan hegemoninya. Lihat Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 4. Lihat juga M. Abdul
Karim dkk, Wacana Politik Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 25.
25
Jan S.
Aritonang., Op. Cit., hlm. 372.
Alamsyah Ratuprawiranegara, mengirimkan telegram ke Malang
untuk menginformasikan, bahwa pemerintah tidak dapat menerima Mr. Muhammad
Roem. Sebagai jalan keluar yang terbaik pada waktu itu, maka kongres sepakat
memilih Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai Ketua dan Sekretaris
Jendral partai Parmusi. Keduanya berasal dari Muhammadiyah, yang merupakan
pendukung terbesar partai Parmusi.[21]
Namun dalam waktu yang tidak begitu lama, kepemimpinan Djarnawi
Hadikusumo dan Lukman Harun dalam Parmusi tidak dapat dapat bertahan lama.
Pemerintah Orde Baru beranggapan, bahwa kepemimpinan mereka ini bisa
membahayakan pemerintah. Pemerintah Orde Baru merasa, mereka masih kental
ideologi Islamnya. Atas dasar itu, maka pemerintah Orde Baru segera turun
tangan untuk melakukan rekayasa politik untuk melakukan penggantian
kepemimpinan di tubuh Parmusi. Pemerintah Orde Baru membentuk Opsus yang
dipimpin oleh Ali Murtopo. Ali Murtopo dengan opsusnya berhasil menggerogoti
kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun di Parmusi. Atas bantuan
Opsusnya Ali Murtopo, Jaelani Naro dan Imran Kadir berhasil naik menjadi
pemimpin Parmusi yang baru. Naiknya Jaelani Naro dan Imran Kadir telah membawa
konflik internal di tubuh Parmusi. Konflik internal di tubuh Parmusi, yang
bermula dari campur tangan pemerintah Orde Baru yang terlalu besar tidak
kunjung selesai. Puncak dari konflik ini dimenangkan oleh pemerintah. Pada
tanggal 20 November 1970, pemerintah mengeluarkan SK No. 77 Tahun 1970 untuk
menunjuk MHS. Mintareja sebagai Ketua Partai Parmusi yang baru.[22]
MHS. Mintareja adalah tokoh Muhammadiyah yang dipandang cukup akomodatif oleh
pemerintah.[23]
Penunjukkan MHS. Mintareja sebagai pemimpin Parmusi oleh
pemerintah tidaklah berlebihan, karena secara pemikiran MHS. Mintareja sangat
sesuai dengan pikiran pemerintah. Berikut ini sedikit gambaran tentang pikiran
yang dimiliki oleh MHS. Mintareja.
"Pendekatan yang menekankan perjuangan ideologis sudah
ketinggalan zaman. Politik adalah masalah duniawi dan dapat dibedakan dari
agama. Keuntungan material harus diusahakan. Mana bukti perjuangan umat Islam
selama dua puluh lima tahun kita merdeka. Tampaknya rakyat sudah bosan menunggu
hasil-hasil perjuangan yang telah dijanjikan oleh para pemimpin yang hanya
mementingkan perjuangan ideology formal. (Pendekatan politik formal) ini
kosong; apa yang ditunggu oleh rakyat dan umat Islam terutama adalah
hasil-hasil (material) dari perjuangan politik itu. Untuk mencapai hasil
ini.kita harus melaksanakan pembangunan dalam segala bidang, terutama dalam
bidang ekonomi. Partai Muslimin Indonesia tidak berhasrat melakukan pendekatan
politik formal sebagaimana sebelumnya. Partai Muslimin Indonesia sudah
memutuskan.. .untuk bekerjasama dengan angkatan bersenjata sejalan dengan
kelompok pembangunan (orde yang berwawasan kepada pembangunan). Dengan kata
lain, Partai Muslimin Indonesia akan melakukan pendekatan politik kebendaan
tanpa melupakan dasarnya, yaitu Islam".[24]
Walaupun MHS. Mintareja telah duduk sebagai Pemimpin Parmusi,
bukan berarti masalah telah selesai. Konflik antara pemerintah Orde Baru dengan
partai Parmusi berlanjut terus hingga Pemilihan Umum tahun 1971. Hal ini
disebabkan karena rezim Orde Baru melalui Menteri Dalam Negerinya mengeluarkan
kebijakan yang amat merugikan partai-partai Islam. Diantaranya adalah memangkas
sebagian besar caleg-caleg yang diajukan oleh partai Parmusi. Jika partai
Parmusi diberi kebebasan menyusun daftar calegnya tanpa adanya campurtangan
dari rezim Orde Baru, maka partai Parmusi bias melemahkan dan membahayakan
partai Golkar sebagai partai resmi pemerintah.[25]
Nampaknya pemerintah Orde Baru belum juga percaya diri, bahwa
mereka mampu mengontrol partai-partai Islam. Untuk mempermudah langkah
pemerintah dalam mengawasi partai-partai Islam, maka pada tahun 1973,
pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu meminta partai-partai untuk
melakukan fusi. Pada tanggal 5 Januari 1973, Partai-partai Islam seperti
Parmusi, NU, PSII dan Perti berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).31
Proses deklarasi PPP sebagai Partai Islam ditandatangani oleh Idhan Chalid dari
NU, M.S. Mintareja dari Parmusi, Anwar Tjokroaminoto dari PSII dan Rusli Halil
dari Perti pada tanggal 5 Januari 1973. 32Setelah adanya kebijakan
ini, maka di Indonesia hanya ada tiga partai, yaitu Golkar sebagai partai
pemerintah, PPP sebagai partai Islam dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia)
sebagai gabungan dari partai-partai nasionalis dan Kristen. 33
Setelah rezim Orde Baru berhasil memaksa partai-partai Islam
melakukan pusi, akan tetapi pemerintah juga belum merasa tenang, karena PPP
masih berasazkan Islam. Hal ini bias membawa keuntungan bagi kepentingan
politik umat Islam Indonesia dan dapat melemahkan eksistensi Golkar sebagai
partai pemerintah. Atas pertimbangan itu, maka rezim Orde Baru kembali
mengeluarkan kebijakan baru lagi. Pada tahun 1980, Presiden Soeharto mulai
meminta agar rakyat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Permintaan Presiden Soeharto
ini tentu bersentuhan langsung dengan hal yang paling mendasar bagi umat Islam
Indonesia, yaitu Islam sebagai ideology. Bagi umat Islam Indonesia, kebijakan
ini sangat pundamental dan bahkan sangat baru dalam sejarah Nusantara. Di jaman
colonial saja, umat Islam tidak dilarang untuk menjadikan Islam sebagai asas
organisasinya, baik organisasinya itu bersifat politik, maupun social.
Kekhawatiran Presiden Soeharto akan bahaya Islam tidak hanya menimpa PPP
sebagai satu-satunya partai yang berbasis Islam, akan tetapi juga menimpa
organiasai-organisasi Islam lainnya yang bergerak dalam bidang social
kemasyarakatan. Pada tahun 1984, PPP terpaksa menerima asas tunggal Pancasila,
karena berdasarkan TAP MPR tahun 1983, semua partai politik harus berasaskan Pancasila.
Jika PPP tidak mau menerima asas tunggal Pancasila, maka PPP tidak bias lagi
hidup sebagai partai politik di Indonesia. Langkah menerima asas tunggal
Pancasila oleh PPP adalah merupakan langkah penyelamatan diri dari rezim Orde
Baru yang otoriter. Setelah PPP menerima asas tunggal Pancasila, maka yang
semula lambing partainya ka'bah, maka diganti
31
Semula
pemerintah berencana membentuk Partai Spritual yang menghimpun semua agama,
baik Islam maupun Kristen, akan tetapi ditolak oleh partai-partai Kristen,
bahkan Partai Khatolik dengan tegas mengatakan, bahwa lebih baik bubar
ketimbang bergabung dengan partai-prati Islam dalam Kelompok Spritual. Jan S.
Aritonang, Op. Cit., hlm. 377.
32
Ibid., hlm. 378.
33
Lili Romli, Op. Cit., hlm. 62. Mundzirin Yusuf dkk, Op. Cit., hlm. 274. Ahmad Ibrahim dkk, Op. Cit., hlm. 80. Firdaus Syam, Op. Cit., hlm. 150.
dengan
bintang, yang diambil dari lambing sila pertama Pancasila.[26]
Berubahnya asas PPP dari asas Islam ke asas Pancasila, bagi
sebagian kalangan Islam memandang, bahwa PPP telah melakukan "politik hara
kiri", bahkan ada yang mengatakan, bahwa PPP telah "bertukar
kelamin".[27]
Bagaimanapun sinisnya pandangan yang dating dari sebagian kalangan Islam, akan
tetapi menerima asas tunggal Pancasila adalah langkah yang paling tepat demi
menjaga kelangsungan PPP sebagai partai yang berbasis Islam. Jika PPP tidak mau
menerima asas tunggal Pancasila, maka PPP harus membubarkan diri sebelum
dibubarkan oleh pemerintah.
Dengan dipakainya Pansila sebagai asas partai bagi PPP, maka
PPP tidak lagi bisa membedakan diri dengan partai-partai lainnya, yaitu Golkar
dan PDI. Secara ideologis, kebijakan asas tunggal Pancasila yang dipaksakan
oleh Soeharto adalah merupakan puncak dari de- Islamisasi di era Orde Baru.
Sejarawan Indonesia, Taufik Abdullah, mengatakan bahwa dengan diambilnya
Pancasila sebagai asas bagi PPP, maka hal ini merupakan halaman akhir dari
sejarah Islam politik di Indonesia.[28]
Sejarah panjang Indonesia, semenjak zaman penjajahan sampai sekarang, di mana
partai-partai Islam selalu tampil ke depan namun pada masa rezim Orde Baru,
semuanya di larang. Tidak ada lagi yang namanya partai Islam. Semua partai yang
ada sama, karena semuanya telah berasaskan Pancasila.[29]
Reaksi Umat Islam Terhadap Azas
Tunggal
Rezim Orde Baru mulai melontarkan isu asas tunggal Pancasila
padatahun1980.Isu ini sengaja dilontarkan olehrezimOrdeBarusebagai tindak
lanjut dari upaya penguburan ideology Islam di Indonesia. Pada tanggal 27 Maret
1980, dalam Rapim ABRI di Riau, Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru
secara resmi melontarkan isu asas tunggal Pancasila. Pada tanggal 16 April
1980, Presiden Suharto kembali membahas asas tunggal Pancasila dalam pidatonya
pada Hari Ulang Tahun Kopassus di Jakarta. Dalam pidatonya itu, baik waktu di
Riau maupun di Jakarta, Presiden Suharto menginginkan agar Pancasila menjadi
landasan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Alasanya adalah
supaya Pancasila tidak lagi disalahgunakan dan dirongrong oleh berbagai
kekuatan, baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan[30].
Dalam sidang Paripurna DPR tanggal 16 Agustus 1980, Presiden Suharto menegaskan
kembali perlunya asas tunggal Pancasila bagi kekuatan social dan politik di
Indonesia.[31]
Adanya keinginan Presiden Suharto untuk menjadikan asas tunggal
Pancasila tentu membawa kegusaran yang mendalam di kalangan Islam. Keinginan
Presiden Suharto ini dianggap oleh kalangan Islam sebagai upaya menggantikan
agama dengan Pancasila. Dalam keadaan yang berat seperti ini, umat Islam Indonesia
harus bepikir keras untuk bias mengambil kebijakan yang betul-betul arif dan
professional. Umat Islam Indonesia dihadapkan pada posisi harus menerima, jika
tidak mau menerima, maka umat Islam Indonesia akan dicap sebagai perongrong
pemerintah dan hal ini amat membahayakan eksistensi umat Islam Indonesia.
NU adalah merupakan ormas Islam yang pertama yang menyatakan
kesediaanya dalam menerima asas tunggal Pancasila. Pada tanggal 20 Oktober
1983, NU melalui Munas Alim Ulama di Situbondo menyatakan bersedia menerima
asas tunggal Pancasila.[32]
Keputusan Munas Alim Ulama ini dikuatkan lagi dalam Muktamar NU tahun 1984.[33]
Bersedianya NU menerima asas tunggal Pancasila bukan tanpa resiko. Di kalangan
Islam, NU dijuluki sebagai organisasi Islam yang akomodasionis, bahkan
"oportunistik".[34]
Sikap sinis ini muncul, karena NU terlalu cepat menerima asas tunggal
Pancasila, padahal asas tunggal Pancasila baru sekedar isu yang dilontarkan
oleh pemerintah, belum berwujud Undang-Undang, akan tetapi mengapa NU terlalu
cepat mengibarkan "Bendera Putih" dan tidak berjuang terlebih dahulu.
[35]
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak bias mengambil keputusan
cepat dalam menerima asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah mengulur-ulur waktu
untuk melihat perkembangan keadaan. Muktamar Muhammadiyah yang seharusnya
dilaksanakan pada tahun 1982, terpaksa ditunda hingga pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Keormasan. Pada tanggal 22 Oktober 1983, Muhammadiyah mengadakan
pertemuan antar ketua wilayah sebagai persiapan untuk mengadakan muktamar Muhammadiyah
ke-41 yang akan diadakan di Solo tahun 1984. Muktamar ini kembali ditunda,
karena Muhammadiyah masih menunggu RUU Keormasan yang masih belum selesai
digodok oleh pemerintah. Pada tanggal 31 Mei 1985, RUU Asas Tunggal Pancasila
disahkan oleh DPR dan pada tanggal 17 Juni 1985 Presiden Suharto resmi
mengeluarkan Undang- Undang Keormasan, yaitu UU No. 8 Tahun 1985. [36]
Undang-Undang ini menetapkan Pancasila sebagai satu-satu asas resmi bagi semua
ormas yang ada di Indonesia. Keluarnya Undang-Undang Keormasan ini membuat
Muhammadiyah harus menentukan sikap. Muhammadiyah akan menentukan sikap melalui
muktamarnya yang sudah lama tertunda-tunda. Pada tanggal 7-11 Desember 1985,
Muhammadiyah mengadakan Muktamar ke-41 di Surakarta. Melalui Muktamar ke- 41 ini,
Muhammadiyah menyatakan diri bersedia menerima asas tunggal Pancasila. Bagi
Muhammadiyah, tidak pilihan lain selain menerima asas tunggal Pancasila, jika
Muhammadiyah masih ingin hidup di bumi Indonesia. Di samping itu, kalangan
Muhammadiyah juga sudah ada sedikit kelegaan, karena Presiden Suharto yang
hadir dalam Muktamar Muhammadiyah tersebut telah menegaskan, bahwa Pancasila
bukan agama dan agama tidak akan di-Pancasilakan. Dengan demikian, walaupun
dengan berat hati, Muhammadiyah tetap menerima asas tunggal Pancasila.[37]
Berkaitan dengan ini, Amin Rais sebagai salah seorang tokoh
Muhammadiyah mengibaratkan secara sederhana bahwa asas tunggal Pancasila sama
dengan "tiket" bus, sedangkan busnya adalah Indonesia. Jika
Muhammadiyah mau naik bus Indonesia, maka Muhammadiyah harus membeli tiket
Pancasila.[38]
Tanpa tiket Pancasila, tidak mungkin Muhammadiyah bisa naik bus Indonesia. Ini
adalah pilihan terbaik, jika Muhammadiyah ingin menyelamatkan diri sebagai
gerakan Islam di Indonesia. Dengan bahasa yang senada, AR. Fakhruddin sebagai
Ketua PP Muhammadiyah menagatakan bahwa asas tunggal Pancasila dibaratkan
seperti "helm". Jika mau mengendarai motor, maka pakailah "helm
demi keselamatan". AR. Fakhruddin sebagai Ketua PP Muhammadiyah menegaskan
bahwa Muhammadiyah menjadikan Pancasila sebagai organisasi tidak menjadi
masalah. Hanya saja Muhammadiyah tidak bergerak dengan motivasi Pancasila,
tetapi karena Islam. Dicantumkannya Pancasila dimaksudkan agar gerak
Muhammadiyah tidak keluar dari Pancasila.[39]
Di kalangan pemuda Islam, asas tunggal Pancasila menjadi bahan
perdebatan yang sangat tajam. HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam yang
berdiri pada tahun 1947 tidak mampu menemukan kata sepakat di antara
kader-kadernya. Di kalangan internal HMI, isu asas tunggal Pancasila telah
dibahas sejak tahun 1983. Sebagai panduan bagi HMI sebagai intelektual muda
Islam, Deliar Noer, seorang intelektual Islam modernis, secara khusus menulis
sebuah buku yang membahas tentang "Islam, Pancasila dan Asas
Tunggal". Deliar Noer dalam bukunya ini menegaskan, bahwa asas tunggal
Pancasila sangat bertentangan dengan realitas Indonesia sebagai bangsa yang
majemuk.[40]
Hingga tahun 1984, HMI masih satu pendapat dalam menyikapi
rencana pemerintah yang ingin menerapkan asas tunggal Pancasila. HMI sepakat
untuk menolak keberadaan azas tunggal Pancasila. Di hadapan anggota DPR, PB HMI
menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang azas tunggal Pancasila.
"Pancasila sebagai satu-satunya azas hanya dibenarkan
dalam konteks kehidupan bernegara. Hal ini sesuai dengan pengertian Pancasila
yang sebenarnya sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam kehidupan
bermasyarakat, sesuai dengan fitra kebhinekaan masyarakat Indonesia yang
menganut berbagai agama, maka dasar-dasar kehidupan masyarakat yang beragam tersebut
tidak dapat dihilangkan dengan cara apapun. Ini berarti masyarakat baik secara
individu maupun berkelompok, hak-hak warga negara untuk menetapkan dan
melaksanakan kehidupan berdasarkan agamanya
masing-masing
harus mendapat perlindungan hokum."[41]
Pada tahun1985,pergesekan ditubuh HMI mulai memuncak. HMI
mendapat tekanan semakin keras dari para alumni yang mendukung "pemikiran
baru", terutama dari kelompok Nurcholis Madjid cs. Kelompok ini meminta
kepada HMI untuk tidak berbenturan dengan pemerintah, karena hal itu
bertentangan fitrah HMI yang dikenal sebagai organisasi yang demokratis
akomodasionis. Selain itu, tekanan keras juga dating dari pemerintah, dimana
pemerintahan Suharto tidak akan memberikan izin kongres bila HMI tetap menolak
pemberlakukan azas tunggal Pancasila. Besarnya tekanan dari kelompok Nurcholis
Majid Cs dan pemerintah, akhirnya berhasil melunakan sebagian tokoh kunci PB
HMI. Dengan mempertimbangkan menetralisir citra HMI sebagai organisasi radikal
yang anti Pancasila dan menghindari resiko pembubaran, karena tidak izin
kongres, maka pada awal April 1985, HMI menyatakan penerimaan azas tunggal
Pancasila. Keputusan itu diambil setelah melewati perdebatan panjang di Ciloto,
Jawa Barat.[42]
Pada Kongres ke-16 di Padang tahun 1986, HMI menegaskan kembali
pernyataannya bahwa HMI secara kelembagaan dapat menerima asas tunggal
Pancasila. Hasil kongres ke-16 ini tidak diterima oleh semua cabang HMI.
Beberapa cabang HMI melakukan protes dan penolakan atas hasil Kongres HMI ke-16
tersebut. Suara- suara penolakan dari beberapa cabang ini tidak tertampung di
PB HMI. Akhirnya, cabang-cabang HMI yang tidak sepakat dengan keputusan Kongres
HMI ke-16 membentuk HMI Baru yang bernama HMI MPO (HMI Majelis Penyelamat
Organisasi). HMI MPO ini dipimpin oleh Eggie Sudjana. Dengan lahirnya HMI MPO,
maka HMI yang menerima asas tunggal Pancasila lebih dikenal dengan nama HMI
Dipo (HMI yang berkantor di Jalan Diponegoro). Di mata rezim Orde Baru, maka
HMI yang diterima dan direstui adalah HMI Dipo, karena HMI Dipo telah bersedia
menjadikan Pancasila sebagai asas organisasinya, sedangkan HMI MPO dianggap
sebagai organisasi terlarang, karena HMI MPO tidak mau menerima asas tunggal
Pancasila. Sebagai organisasi terlarang, HMI MPO terpaksa bergerak dibawah
tanah. HMI MPO memiliki basis yang kuat di daerah Yogyakarta dan Makassar.[43]
PII sebagai organisasi pelajar Islam tertua yang lahir pada
tahun 1947 merupakan satu-satunya lembaga yang mampu membuat keputusan yang
solid di kalangan kader-kadernya. Kader-kader PII sepakat menolak keberadaan
asas tunggal Pancasila. Ketua Umum PII, Mutamimul Ula, mengatakan bahwa PII
berkewajiban menggunakan Islam sebagai asas tunggalnya, untuk membedakan dengan
yang lain. Menurutnya, bahwa keputusan PII untuk tidak menganut Pancasila sebagai
asas tunggalnya diambil setelah meneliti Pancasila secara mendalam dan
menyeluruh dari aspek hokum, sosiologis dan filsafat berdasarkan pemahaman
Islam. Sikap PII yang menolak asas tunggal Pancasila harus dibayar mahal,
dimana rezim Orde Baru melalui Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan
keputusan tentang pembubaran PII sebagai organisasi. PII dibubarkan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 120 dan 12 tanggal 10 Desember 1987.
PII dibubarkan, karena PII tidak mengikuti prinsip-prinsip fundamental
Undang-Undang Keormasan. Setelah PII dibubarkan oleh rezim Orde Baru, maka PII
menjadi organisasi kader yang bergerak di bawah tanah.[44]
Walaupun sebagian besar kalangan Islam menerima asas tunggal
Pancasila, akan tetapi ada beberapa tokoh Islam yang konsisten dengan Islam.
Mereka tidak mau menerima asas tunggal Pancasila, karena hal itu bertentangan
dengan ajaran Islam. Diantaranya adalah Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba'asyir,
Syafruddin Prawiranegara, Yusuf Abdullah Puar, Deliar Noer dan Abdullah
Heamahua dan lain- lain. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, dua tokoh
Islam kelahiran Jawa berdarah Arab yang tidak mau menerima keberadaan asas
tunggal Pancasila. Pada tahun 1972, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba'asyir dan
kawan-kawan mendirikan Pesantren Al Mukmin di desa Ngruki dekat Surakarta. Pada
tahun 1985. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asir melarikan diri ke Johor
Malaysia.[45]
Deliar Noer juga termasuk tokoh intelektual Muslim Modernis yang tidak bersedia
menerima asas tunggal Pancasila. Sebagai resikonya, Deliar Noer pergi merantau
dan bekerja sebagai dosen di Australia.
Bagi mereka yang tidak hijrah ke luar negeri, kelompok Islam
yang anti dengan azas tunggal Pancasila tetap melakukan gerakan- gerakan
perlawanan, bahkan ada sebagian dari gerakan itu telah menyebabkan lahirnya
peristiwa-peristiwa berdarah di era Orde Baru, diantaranya adalah peristiwa Tanjung
Priok, peristiwa Peledakam Bom, peristiwa Wolya, peristiwa Usrah di Jawa
Tengah, dan peristiwa Lampung Berdarah.
Umat Islam memiliki andil yang besar dalam melahirkan Orde
Baru. Atas dasar itu umat Islam banyak berharap untuk dapat terlibat dalam
pengelolaan negara di Era Orde Baru. Hal itu dimulai dengan adanya usaha untuk
menghidupkan kembali Partai Masyumi sebagai wadah politik umat Islam Indonesia.
Soeharto sebagai peguasa Orde Baru tidak memberikan kesempatan kepada umat
Islam untuk berbenah diri, karena Soeharto takut bahwa hal itu bisa membuat
ancaman bagi Soeharto dalam memelihara kekuasaan.
Soeharto tidak hanya melarang rehabilitasi Masyumi, tetapi
Seharto sebagai penguasa Orde Baru secara sistematis melakukan politik
de-Islamisasi. Puncak politik de-Islamisasi Soeharto adalah diberlakukannya
azas tunggal Pancasila pada tahun 1985. Azas tunggal Pancasila telah melahirkan
controversial di kalangan umat Islam. Sebagian besar umat Islam Indonesia bisa
menerima azas tunggal, walaupun dalam keadaan terpaksa. Bagi umat Islam yang
tidak mau menerima azas tunggal Pancasila, maka mereka dianggap sebagai gerakan
bawah tanah yang anti pada pada pemerintah. Sebagai kata penutup dari
kesimpulan ini, penulis ingin mengemukakan bahwa posisi umat Islam di era Orde
Baru bisa diibaratkan dengan "mendorong mobil mogok", setelah
mobilnya hidup, maka mobilnya segera melaju dan umat Islam tertinggal di
belakang dan hanya dapat menikmati asapnya saja.
Abdul
Qadir Djaelani, Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di
Indonesia, (Surabaya: Tri Bakti, 1996)
Aminudin,
Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Ahmad
Ibrahim dkk, ed., Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1990)
Andree
Feillard, NU Vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKIS,
1999)
A.Pambudi, Supersemar Palsu Kesaksian Tiga Jendral, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006)
Asep
Gunawan, Ed., Artikulasi Islam Kultural Dari Tahapan Moral ke Periode
Sejarah, (Jakarta:
Srigunting, 2004)
Asvi Warman Adam, Suharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2004)
Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983)
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008)
Eros Djarot dkk, Misteri Supersemar, (Jakarta:
Mediakita, 2006)
Firdaus
A.N., Dosa-Dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru Yang Tidak Boleh
Berulang Lagi Di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999)
Firdaus
Syam, Amien Rais Politisi Yang Merakyat dan Intelektual Yang
Shaleh,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2003)
Jan S.
Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia,
2006)
Marwati Djoned
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., Sejarah
Nasional Indonesia VI, Jakarta:
Balai Pustaka, 1993 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana
Baru, Yogyakarta: LKIS, 1994 M. Abdul Karim dkk, Wacana Politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: Suka Press, 2007
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008
Musyrifah
Susanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005 Mundzirin Yusuf dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pinus, 2006
Lili
Romli, Islam Yes Partai Islam Yes, Sejarah Perkembangan
Partai-Partai Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Sudirman Tebba, Islam Orde
Baru Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993 Syarifuddin Jurdi, Sejarah Wahdah Islamiyah: Sebuah
Geliat Ormas Islam di Era Transisi, Yogyakarta:
Kreasi
Wacana, 2007
84 I Sosiologi Reflektif, Volume 10, N0. 1 Oktober 2015
[1] Abdul Qadir Djaelani, Peta Sejarah Perjuangan
Politik Umat Islam di Indonesia, (Surabaya: Tri Bakti, 1996), hlm. 229.
[2] Ibid.
[3] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
1200-2008,
(Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 594.
[4] Pengganyangan kaum komunis
terhadap Islam di Indonesia dimulai dari pengganyangan terhadap organisasi
Sarekat Islam pada tahun 1920-an. Akibat pengganyangan itu, Sarekat Islam
terpecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Sarekat
Islam Putih adalah sarekat Islam yang berpegang teguh pada ideology Islam dan
Sarekat Islam Merah adalah Sarekat Islam yang telah berhasil dipengaruhi oleh
kaum komunis.
[5] M.C, Ricklefs., Op. Cit., hlm. 595.
[6] Ibid.
[7] Ibid. KAMI berdiri atas prakarsa Marie
Muhammad, Sekretaris Jendral PB HMI yang dideklarasikan di rumah Menteri Syarif
Thayeb. Kekuatan KAMI didominasi oleh mahasiswa Islam dan ditambah
mahasiswa-mahasiswa dari kalangan Kristen, Khatolik dan mantan PSI. Abdul Qadir
Djaelani, Op.
Cit., hlm.
236.
[8] Abdul Qadir Djaelani., Op. Cit., hlm. 239.
[9] Ibid., hlm. 241.
[10] Suharto sebagai pimpinan
Angkatan Darat mengutus tiga orang bawahannya untuk menemui dan meminta
Presiden Sukarno menandatangani Supersemar. Tiga orang tersebut adalah Amir
Mahmud, Basuki Rahmat dan M. Yusuf. Lihat Musyrifah Susanto, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 76. Bagi Suharto, Supersemar memiliki
makna yang sangat strategis, karena Supersemar merupakan "tangga
emas" Suharto untuk naik menjadi pemimpin Indonesia yang baru setelah
Sukarno, bahkan sebagian pengamat menilai bahwa Supersemar itu merupakan kudeta
merangkak yang dilakukan oleh Suharto terhadap Presiden Sukarno. Lihat Eros
Djarot dkk, Misteri Supersemar, (Jakarta: Mediakita, 2006) dan A. Pambudi, Supersemar Palsu Kesaksian
Tiga Jendral,
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2006). Lihat juga Asvi Warman Adam, Suharto Sisi Gelap Sejarah
Indonesia,
(Yogyakarta: Ombak, 2004). Lihat juga Firdaus Syam, Amien Rais Politisi Yang
Merakyat dan Intelektual Yang Shaleh, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2003), hlm. 144.
[11] Menteri-menteri yang dianggap
terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, diantaranya adalah Subandrio, Chaerul
Saleh, Yusuf Muda Dalam danPanglima AU, Umar Dani). Musyrifah Susanto., Op. Cit., hlm. 76.
[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen
dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 366.
[13] Ibid., hlm. 367. M.C. Ricklefs., Op. Cit., hlm. 595. Lihat juga Marwati
Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., Sejarah Nasional Indonesia
VI, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), hlm. 416. Kebijakan MPRS mengangkat Suharto sebagai
Presiden Indonesia yang baru mendapat kritikan yang tajam dari sejumlah
kalangan, terutama mahasiswa. Mereka meminta agar Presiden Indonesia yang baru
dipilih melalui Pemilihan Umum, bukan melalui pengangkatan.
[14] Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam
di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008), hlm. 81.
[15] Ibid., hlm. 82. Acara peringatan ini
dilakukan kembali pada tanggal yang sama tahun 1969. Ahmad Ibrahim dkk, ed., Islam di Asia Tenggara
Perkembangan Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 74.
[16] Jan S. Aritonang., Op. Cit., hlm. 372. Acara peringatan hari
lahirnya "Piagam Jakarta" ini mendapat kritik dari tiga organisasi
pemuda Khatolik, yaitu Pemuda Khatolik, GPPSK dan PMKRI.
[17] Ibid., Dhurorudin Mashad., Op. Cit., hlm. 82. Ahmad Ibrahim dkk, ed.,
hlm. 73. Andree Feillard, NU Vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm.
127.
[18] Mundzirin Yusuf dkk., Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia,
(Yogyakarta: Pinus, 2006), hlm. 269.
[19] Nurcholis Majid adalah mantan
Ketua Umum PB HMI tahun 1967 dan
1969.
[20] Isu sekulerisasi itu dilontarkan
oleh Nurcholis Majid pada tanggal 2 Januari 1970 ketika ia memberikan sebuah
ceramah halal bi halal yang berjudul “Keharusan Meperbaharui Pemahaman Islam dan Masalah
Integrasi Islam". Pada tanggal 30 Oktober 1972 diadakan sebuah pertemuan
bergengsi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan tema: “Menyegarkan Paham Keagamaan
di Kalangan Umat Islam Indonesia". Dalam pertemuan ini, Nurcholis Majid kembali
menegaskan bahwa perlu sekulerisasi Islam dan meninggalkan langkah-langkah
politik yang sifatnya konservatif dan formalistic. Lihat, Ahmad Ibrahim, Op. Cit., hlm. 549. Lihat juga Firdaus
Syam., Op.
Cit., hlm.
148, 169.
[21] Asep Gunawan, ed., Op. Cit., hlm. 269. Djarnawi Hadikusumo
dan Lukman Harun ditetapkan sebagai pemimpin partai Parmusi berdasarkan SK
Presiden No.70 Tahun 1968. Lihat juga Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes,
Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), hlm. 60. Lihat juga Mundzirin Yusuf dkk., Op. Cit., hlm. 270. Ahmad Ibrahim dkk,
ed., Op.
Cit., hlm.
72. Musyrifah Susanto, Op. Cit., hlm. 78.
[22] Asep Gunawan, ed., Op. Cit., hlm. 269. Lihat juga Lili Romli,
Op.
Cit., hlm.
61.
[23] Ahmad Ibrahim dkk., Op. Cit., hlm. 75. Firdaus Syam, Op. Cit., hlm.
149.
[24] Ahmad Ibrahim dkk., Op. Cit., hlm. 79. Pandangan MHS.
Mintareja ini sejalan dengan ide sekulerisasi Islam yang dilontarkan oleh
Nurcholis Majid.
[25] Asep Gunawan, Ed., Op. Cit., 270. Lihat Martin van
Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm.
95. Akibat dari besarnya campur tangan pemerintah, sehingga Parmusi sebagai
wadah Islam modernis telah krehilangan wibawanya. Muhammad Natsir, mantan tokoh
Masyumi yang berpengaruh tidak memberikan restunya, bahkan Muhammadiyah juga
tidak memberikan dukungan resminya. Hal ini menyebabkan suara Parmusi anjlok
pada tahun 1971. Dalam Pemilu 1971, Parmusi hanya mendapat 5,4% suara,
sedangkan pada tahun 1955, Masyumi sebagai induk dari Parmusi memperoleh 20%
suara.
[26] Lili Romli, Op. Cit., hlm. 72.
[27]
Firdaus A.N., Dosa-Dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru Yang Tidak Boleh
Berulang Lagi Di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999),
hlm. 122.
[28] Lili Romli, Op. Cit., hlm. 72. Mundzirin Yusuf dkk., Op. Cit., hlm. 275.
[29] Lili Romli, Op. Cit., hlm. 72
[30] Orde Baru menyebutkan ideology
komunis sebagai ekstrim kiri dan ideology Islam sebagai ekstrim kanan.
[31] Lili Romli, Op. Cit., hlm. 68.
[32] Munas Alim Ulama NU ini juga
memutuskan, bahwa NU menyatakan keluar dari PPP dan tidak lagi mengurus masalah
politik. M.C. Ricklef, Op. Cit., hlm. 645. Kiai Achmad Siddiq, adalah tokoh NU yang
berperan besar dalam meyakinkan ulama-ulama NU dalam menerima asas tunggal
Pancasila. Menurut Kiai Achmad Siddiq, bahwa Pancasila dan Islam adalah dua
kesatuan yang terpisah namun tidak saling bertentangan. Pancasila adalah
ideology sedangkan Islam adalah agama. Selain itu, Kiai Achmad Siddiq telah
mendapat jaminan dari pemerintah, bahwa Pancasila tidak akan menjadi
"agama baru", pemerintah hanya menginginkan sebuah negara yang kuat dan
bersatu. Lihat juga Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 113.
[33] Lili Romli, Op. Cit., hlm. 69.
[34] Ibid., hlm. 70.
[35] Firdaus A.N., Op. Cit., hlm. 56.
[36] Jan S. Aritonang, Op. Cit., hlm. 437. M.C. Ricklefs, Op. Cit., hlm. 644. M.C. Ricklefs menulis
agak sedikit berbeda dengan Jan S. Aritonag. M.C. Ricklefs menulis, bahwa
Presiden Suharto resmi mengeluarkan Undang-Undang Keormasan pada bulan Februari
1985. Lihat juga Musyrifah Susanto, Op. Cit., hlm. 79 dan Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 4.
[37] Firdaus Syam, Op. Cit., hlm. 151. Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 9.
[38] Asep Gunawan, ed., Op. Cit., hlm. 300.
[39] Syarifuddin Jurdi, Sejarah Wahdah Islamiyah:
Sebuah Geliat Ormas Islam di Era Transisi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 88. Walaupun
Muhammadiyah telah menerima asas tunggal Pancasila, tetapi tidak semua tokoh
Muhammadiyah sepakat. K.H. Malik Ahmad adalah salah satu elit Muhammadiyah yang
menolak keberadaan asas tunggal Pancasila, karena Pancasila bias mengancam eksistensi
Islam. K.H. Malik Ahmad berpendapat, bahwa ia lebih siap menerima pembekuan
Muhammadiyah daripada menerima asas tunggal Pancasila. Suara K.H. Malik Ahmad
tidak dominan didalam tubuh Muhammadiyah. Suara yang dominan adalah suara yang
mau menerima asas tunggal Pancasila, karena tidak ada pilihan lain bagi
kelangsungan gerakan Muhammadiyah di Indonesia.
[40] Dalam menyikapi isu asas tunggal
Pancasila, Deliar Noer, seorang tokoh intelektual muslim modernis, secara
khusus membuat sebuah buku yang berjudul, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Di
dalam buku ini, Deliar Noer menegaskan, bahwa asas tunggal bertentangan
realitas bangsa yang berwajah kemajemukan. Lihat Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas
Tunggal,
(Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983).
[41]
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum
dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, (
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 160.
[42] Aminudin, Op. Cit., hlm. 161.
[43] Syarifuddin Jurdi, Op. Cit., hlm. 89. Sudirman Tebba, Op. Cit., hlm. 12. Jan S. Aritonang, Op. Cit., hlm. 437.
[44] Syarifuddin Jurdi, Op. Cit., hlm. 89.
[45] M.C. Ricklefs, Op. Cit., hlm. 649.
0 Komentar