DEBUT dan debat Roem mulai dirasakan banyak teman seperjuangannya. Baik lawan maupun kawan tak mampu mengelak dengan fakta dan data yang disajikan. Retorikanya khas logat Jawa, dan ketajaman berpikir untuk bangsa dan Negara Indonesia sangat futuristik saat itu.
Pemerintahan Belanda selalu merasa kuwalahan dalam mengawal berbagai diplomasi dengan tim Indonesia, apalagi jika didalamnya ada Mohamad Roem. Mengawali kariernya sebagai diplomat, Roem bukan tidak gamang.
Ia tidak yakin terhadap kemampuan dirinya di bidang itu, karena belum pernah punya pengalaman di suatu forum internasional, dan umur pun masih di bawah 40 tahun. Haji Agus Salim, sebagai guru mentornya selalu menyemangati kader-kader mudanya dan Agus Salim tahu bahwa bakat Roem adalah dibidang diplomasi.
Benturan kepentingan Roem dan Masyumi
Di satu kesempatan Roem merasa ada keraguan dalam berdiplomasi. Hal ini boleh jadi juga disebabkan oleh sikap Partai Masyumi yang menolak segala bentuk perundingan dengan Belanda. Sejak memegang tampuk kepemimpinan pemerintahan sebagai Perdana Menteri, Sutan Sjahrir (1909-1966) telah memperlihatkan kecenderungan untuk berunding dengan Belanda.
Kecenderungan itu agaknya didasari oleh kenyataan bahwa pemerintah Indonesia mempunyai kekuasaan yang secara de facto ditaati oleh seluruh rakyat, sedangkan Belanda datang ke Indonesia untuk menegakkan kembali kekuasaan de jure-nya.
Guna memecahkan masalah yang rumit ini, mau tidak mau Belanda pun datang menemui pemimpinan pemerintahan Indonesia. Sjahrir kala itu ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pemerintahan yang dia pimpinnya mampu bertindak sebagaimana layaknya sebuah negara-bangsa yang merdeka.
Dalam tulisan Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 menyatakan bahwa Masyumi menolak kecenderungan Sjahrir untuk berunding. Masyumi menganggap Kabinet Sjahrir tidak melihat “perubahan radikal” dan mentale revolutie (revolusi mental) dari jiwa bangsa kita “yang dahulu bersifat lemah dan tak berdaya, menjadi kuat penuh meluap dengan semangat perjuangan (militant).”
Masyumi yang bersikap oposisi bersama Tan Malaka, dan golongan lain, membentuk Persatuan Perjuangan dengan program utamanya, “berunding atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%.” Itulah situasi saat Roem diminta Hatta memperkuat Kabinet Sjahrir.
Roem bercerita, “Saya lalu berkonsultasi dengan Pak Dokter Sukiman, waktu itu sebagai Ketua Umum Partai Masyumi. Pak Kiman begitu pangilan khas Sukiman, tidak setuju kalau saya mewakili Masyumi dalam Kabinet RI, tetapi tidak keberatan ikut serta sebagai perseorangan.”
Mengenai situasi saat itu, simak cerita Natsir dalam buku “Peringatan Mohammad Natsir/Mohamad Roem 70 Tahun” berikut:
“Waktu persetujuan Linggajati, partai Masyumi tidak setuju dengan persetujuan tersebut, tetapi juga tidak menghalangi unsur Masyumi duduk dalam delegasi perundingan. Partai Masyumi jalan terus, meneruskan oposisi. Partai Masyumi tidak percaya bahwa Belanda akan mentaati persetujuan itu. Analisis Partai Masyumi ternyata betul. Tetapi persetujuan Linggajati itu adalah suatu persetujuan internasional. Pelanggaran Linggajati oleh Belanda, itu meningkatkan issue Indonesia di dunia internasional. Dan itu menjadi pembuka pintu bagi Indonesia untuk masuk PBB. Itulah fungsi persetujuan Linggajati. Jadi bukan untuk memecahkan persoalan secara langsung, tetapi sebagai pembuka jalan untuk mencapai penyelesaian yang lebih terjamin.
“Waktu persetujuan Renville, juga terulang kembali partai Masyumi tidak menyetujui, dan banyak lagi partai-partai lain bersikap sama. Tetapi Roem tetap duduk dalam delegasi….”
Kerasnya sikap oposisi Masyumi kepada Persetujuan Linggajati, digambarkan Roem:
“Waktu itu Masyumi menolak Persetujuan Linggajati, tetapi menteri-menteri Masyumi menyetujuinya, bukan atas nama partai. Kejadiannya yang tepat ialah, sewaktu saya masih di Linggajati, Radio Yogyakarta menyiarkan pengumuman bahwa partai Masyumi menolak Persetujuan Linggajati. Sikap itu diumumkan, sebelum saya memberikan laporan kepada partai.”
Integritas Roem
Demikianlah, di saat negara-bangsa memerlukan kehadirannya, Roem tampil sepenuh hati. Dari sejak Masyumi berdiri, sampai partai itu membubarkan diri, Roem selalu hadir di pentas politik nasional, baik atas nama partai maupun atas nama pribadi.
Roem dikenal amanah dan memiliki komitmen yang luar biasa. Belum ada orang mendengar ia menggerutu perjuangan. Bahkan jika pun terkesan Roem “menyebal” dari garis partai, tidak pernah terdengar riwayat tentangnya yang dijatuhi sanksi oleh partai tempatnya berkiprah.
Kata kunci dari kesemuanya itu adalah integritas. Baik kawan maupun lawan, sangat mempercayai integritas Roem.
Salah seorang kawan satu partai Roem adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989). Pada saat presiden, wakil presiden, dan sejumlah menteri ditawan, serta ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda, Sjafruddin melanjutkan nafas Republik dengan membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Di tengah eksistensi PDRI yang makin menguat, tanpa sepengetahuan PDRI, pada awal Mei 1949 berlangsunglah pembicaraan antara Roem dengan Roijen. Inilah komentar Sjafruddin terhadap peranan Roem dalam peristiwa tersebut:
“Hanya sekali dia (Roem –pen) ‘menyeleweng’. Yakni tatkala dia menjalankan perintah atas permintaan Soekarno –yang waktu itu bukan menjabat Presiden, karena sedang dalam pembuangan—untuk berbicara dengan van Roijen, yang menghasilkan apa yang lazim disebut ‘Persetujuan Roem-van Roijen’ (Mei 1949).
“Dia berani berbicara seolah-olah tidak ada PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Padahal PDRI pada waktu itu adalah satu-satunya Pemerintah yang sah.
“Tetapi saya yakin, bahwa Roem hanya menjalankan apa yang dia pandang sebagai kewajibannya, demi untuk kepentingan nusa dan bangsa, dan sedikit pun tidak ada niat padanya untuk menyeleweng dan meninggalkan PDRI. PDRI waktu itu memang sukar dihubungi, sebab masih ada di tempat persembunyiannya di Sumatera Tengah (Bidar Alam). Walaupun kalau memang sungguh-sungguh diusahakan, pimpinannya pasti bisa dihubungi. Sebab PDRI mempunyai hubungan radio dengan instansi-instansi PDRI yang penting di Sumatera dan Jawa, serta di luar negeri, “ kata Mr. Sjafruddin Prawiranegara.*/(Bersambung)
Bahan dikutip dari buku Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, Jakarta, Bulan Bintang, 1978
0 Komentar