Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA hari
Jumat (01/3/2013), saya mendapatkan kesempatan menyampaikan pidato
pembukaan (Keynote Speech) pada acara Munas III Jaringan Sekolah Islam
Terpadu (JSIT), di Palembang. Sumatera Selatan. Sekitar 1200 hadir
dalam acara itu. Anggota JSIT sendiri sekarang mencapai lebih dari 1600
sekolah. Acara pembukaan di Arena Olah Raga Jakabaring Palembang itu
sangat semarak. Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin dan Wakil
Mendikbud bidang Kebudayaan hadir memberikan sambutan dan membuka acara
yang dihadiri para guru dan pengelola sekolah Islam dari Sabang sampai
Merauke.
Hadir pula, pada perhelatan ini, sejumlah cendekiawan dan praktisi
pendidikan dari Pakistan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Yang patut
diapresiasi, menurut pengurus JSIT, para hadirin hadir atas biaya
sendiri. Semangat dan antusiasme para hadirin antara lain ditandai
dengan terdengarnya pekik takbir berulang kali saat acara berlangsung.
Ini benar-benar sebuah momentum yang penting dalam dunia pendidikan
Islam.
Pada kesempatan itulah, saya berkesempatan berbagi pikiran dan
perasaan dengan para pakar dan praktisi pendidikan Islam itu. Kepada
mereka saya sampaikan, bahwa saat ini, -- tanpa menafikan setor-sektor
lainnya -- bisa dikatakan, pendidikan adalah satu-satunya sektor dakwah
yang bisa dengan mudah ditunjukkan berbagai keberhasilannya. Dalam kurun
sekitar 20 tahun terakhir, berbagai prestasi pendidikan Islam tampak
menonjol, khususnya di tingkat taman kanak-kanak, tingkat dasar, dan
menengah. Prestasi yang sangat menonjol adalah tertanamnya rasa
kepercayaan dan bahkan rasa bangga kaum Muslim terhadap sekolah-sekolah
Islam di berbagai daerah – apakah yang menggunakan label terpadu atau
tidak.
Kini, dengan mudah kita menjumpai elite-elite muslim yang tanpa
malu-malu dan bahkan merasa bangga mengirimkan anaknya ke sekolah Islam
atau pondok-pondok pesantren. Prestasi-prestasi akademik sekolah Islam
pun banyak yang membanggakan. Kini dengan begitu mudahnya kita
menunjukkan sekolah-sekolah Islam unggulan di kota-kota di Indonesia
yang nilai ujian nasionalnya melampaui prestasi sekolah-sekolah
non-muslim atau sekolah umum.
“Kebanggaan” (pride/izzah) dalam diri seorang Muslim merupakan aspek
penting dan mendasar untuk meraih prestasi-prestasi besar berikutnya.
Jika kaum Muslim tidak bangga, tidak percaya, dan tidak memiliki ‘izzah
terhadap lembaga-lembaga Islamnya sendiri, sulit diharapkan lembaga
Islam itu akan berkembang. Kita ingat sebuah ungkapan terkenal dari
cendekiawan Muslim Muhammad Asad yang beberapa kali kita kutip dalam
CAP: no civilization can prosper or even exist after having lost this pride and the connection with its own past. Tidak
ada satu peradaban yang akan berjaya atau bahkan akan eksis jika sudah
hilang kebanggaannya terhadap dirinya atau terputus dari sejarahnya.
Jadi, kebanggan dan kepercayaan kaum Muslim terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam adalah modal dasar yang sangat penting bagi kemajuan
pendidikan Islam di masa depan.
Jangan sampai kepercayaan (trust) itu disia-siakan. Perlu disadari
bahwa prestasi ini tidak dicapai dengan mudah. Sejumlah pengelola
lembaga pendidikan Islam bercerita suka-dukanya merintis pendidikan
Islam di era 1980 dan 1990-an. Banyak di antara mereka yang datang dari
rumah ke rumah untuk meyakinkan para orang tua muslim, bahwa sekolah
yang akan mereka dirikan adalah sekolah yang serius dan bermutu tinggi.
Tidak jarang mereka menjadikan anak-anak mereka sebagai “singa
percobaan”. Dengan cara itu orang lain mau percaya. Uniknya, banyak
perintis lembaga-lembaga pendidikan Islam “terpadu” ini adalah para
professional muslim; apakah dokter, insinyur, pengusaha, dan sebagainya.
Dalam kaitan inilah, di Jakabaring Palembang itu, saya mengajak para
guru untuk “bangga” sebagai guru. Pengelola pendidikan seyogyanya
benar-benar menempatkan guru sebagai posisi terhormat, tidak kalah
terhormatnya dengan pejabat. Guru – dalam pandangan saya – bukanlah
sebuah profesi yang dihargai karena bayaran. Guru dalam Islam adalah
mujahid. Menyampaikan ilmu adalah jihad fi-sabilillah. Kata Nabi:
“Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka dia sedang
berjihad di jalan Allah.”
Karena itu, sungguh rugi jika guru tidak serius dalam mengajar dan
hanya mau mengajar karena dibayar. Dibayar atau tidak dibayar, orang
yang punya ilmu wajib mengajarkan ilmunya. Tapi, sebagai mujahid, guru
berhak mendapatkan “honor” (kehormatan) yang layak. Mujahid harus
dimulyakan. Patut kita sampaikan: “Anda, para guru derajatnya sangat
mulia, tidak kalah mulia dengan anggota DPR!”
Memang, kadangkala masih ada kesalahpahaman. Masih ada guru –
termasuk dosen, rektor, dekan, dan sebagainya – merasa lebih rendah
martabatnya dibandingkan dengan para pejabat negara. Lembaga Pendidikan
Islam harus benar-benar sangat serius untuk meningkatkan kualitas guru,
sehingga mereka dapat menjadi “mujahid” di bidang keilmuan dan
pendidikan. Keliru, jika masih ada lembaga pendidikan Islam yang lebih
mengutamakan membangun gedung ketimbang meningkatkan kualitas guru.
Tantangan
Pada
kesempatan itu saya juga menyampaikan bahwa di tengah-tengah pencapaian
penting yang dicapai, ada dua tantangan besar yang sedang dihadapi oleh
dunia pendidikan Islam. Pertama, godaan materialisme; godaan penyakit
hubbud-dunya, cinta dunia. Kedua, jebakan kurikulum sekuler.
Tentang tantangan pertama, Rasulullah Muhammad sudah bersabda: “Hampir
tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang
mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni
hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat bertanya: “Apakah karena
jumlah kami yang sedikit pada hari itu?” Nabi menjawab: “Bahkan, pada
hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu
banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati
musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit
al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya
Rasulallah?” Rasulullah menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)
Hadits Rasulullah Muhammad ini menjelaskan kondisi umat yang sangat
lemah, tidak berdaya, tiada arti, meskipun jumlahnya sangat besar. Tanpa
perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa
kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan
Rasulullah Muhammad tersebut.
Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang
berat. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir, Moro, Patani, dan
di berbagai belahan dunia, umat Islam menghadapi penindasan dalam
berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar
1,4 milyar jiwa, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri,
diombang-ambingkan situasi dan kondisi.
Dalam sejarah kita bisa menyaksikan, bagaimana kehancuran kekuatan
Muslim di Andalusia, Baghdad, juga Palestina, akibat meruyaknya budaya
hubbud-dunya. Imam al-Ghazali, dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, sudah
menggariskan sebuah teori: “Rakyat rusak gara-gara rusaknya penguasa;
penguasa rusak gara-gara ulama rusak; dan ulama rusak karena terjangkit
penyakit gila jabatan dan gila harta (hubbul jaah wal maal).”
Peringatan Rasulullah ini dapat kita refleksikan dalam skala kecil
pada lembaga-lembaga Islam. Jika penyakit “gila dunia” sudah merejalela
di sekolah-sekolah Islam, maka sekolah Islam itu tinggal menunggu waktu
kehancurannya. Mungkin bangunan sekolah itu tampak megah, bayarannya
mahal, tetapi ruh pendidikan Islamnya sejatinya sudah hilang. Sekolah
Islam itu tidak lagi menjadi tempat ideal untuk menanamkan aqidah dan
akhlak yang mulia, sebab yang mereka saksikan, sekolahnya sendiri tidak
memberikan teladan. Apalagi, jika para orang tua dan siswa mendapati
praktik-praktik korup dan keserakahan di sekolahnya.
Di tengah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga pendidikan Islam, godaan materi ini bisa jadi begitu
menggiurkan. Sekolah Islam menjadi lahan bisnis yang menjanjikan
keuntungan besar, sejalan dengan meningkatnya kesadaran ber-Islam di
kalangan elite-elite muslim. Jika niat mendirikan sekolah Islam bukan
lagi karena semangat jihad dalam bidang keilmuan, tetapi dimotivasi
untuk mengeruk keuntungan duniawi semata, maka niat yang salah itu akan
merusak seluruh aspek pendidikan Islam.
Perlu dicatat dengan baik, JSIT sudah menetapkan bahwa Karakteristik
JSIT Indonesia diantaranya adalah: (1) Menjadikan Islam sebagai landasan
filosofis dan operasional sekolah, (2) Mengintegrasikan ilmu dan nilai
kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum, (3) Menerapkan dan
mengembangkan metode pembelajaran efektif untuk mencapai optimalisasi
proses belajar mengajar, (4) Mengedepankan qudwah hasanah dalam
membentuk karakter peserta didik, (5) Menumbuhkan bi’ah sholihah dalam
iklim dan lingkungan sekolah
Mudah-mudahan karakteristik ideal
sekolah Islam seperti itu bisa benar-benar terwujud. Karakteristik ideal
itu akan berantakan jika penyakit al-wahnu sudah membudaya dalam
kehidupan para guru dan pengalola sekolah.
Tantangan kedua yang sangat penting untuk kita pahami benar-benar
adalah “jebakan kurikulum sekuler”. Saat ini, masih banyak lembaga
pendidikan Islam yang belum benar-benar menata kurikulumnya berdasarkan
konsep keilmuan Islam. Mereka masih menggunakan kurikulum-kurikulum yang
bercampur aduk antara yang benar dan yang salah. Kurikulum sains,
misalnya, belum diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang beriman
dan bertaqwa, tetapi hanya diarahkan semata-mata untuk memberikan
kemampuan siswa menjawab soal-soal ujian. Tentu saja itu tidak keliru,
tetapi masih sangat belum memadai jika dilihat dalam perspektif keilmuan
dalam Islam.
Masih banyak siswa-siswa sekolah Islam yang belum mengenal
ilmuwan-ilmuwan Muslim sejati, yang bukan hanya pakar di bidang sains,
tetapi mereka juga ulama-ulama yang sangat hebat, seperti Abu rayhan
al-Biruni, Fakhruddin al-Razi, Ibn Khaldun, Imam al-Ghazali, dan
sebagainya. Mereka tidak mengenal sejarah sains. Bahwa, peradaban Barat
mewarisi sains bukan langsung dari khazanah peradaban Yunani. Tetapi,
mereka banyak mewarisi sains dari para ilmuwan muslim.
Karena itu, dalam bukunya yang berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), Tim Wallace-Murphy meletakkan satu sub-bab khusus berjudul “The West Debt to Islam” (Hutang Barat terhadap Islam). Menurut penulis buku ini, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya.
“Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates
that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world
of Islam,” tulisnya. Juga ia tegaskan: “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).
Fakta sejarah seperti ini sangat perlu dipahami oleh siswa-siswa
sekolah Islam, agar mereka tidak memandang kemajuan Barat secara
membabi-buta. Mereka perlu dibekali dengan sikap kritis dan apresiatif
terhadap peradaban lain. Tidak menolak dan menerima secara membabi-buta
apa pun yang datang dari peradaban lain. Apalagi, dalam kaitan pandangan
hidup dan nilai-nilai kebenaran. Juga, agar tidak tertanam rasa
”minder”, rendah diri, dalam berhadapan dengan dunia modern yang
menghegemoni seluruh aspek kehidupan manusia dewasa ini.
Contoh jebakan kurikulum sekuler lainnya. Misalnya, dalam kurikulum
sejarah masih banyak yang mengajarkan sejarah manusia secara sekuler dan
meterialis, semata-mata hanya merujuk kepada fosil-fosil manusia. Cara
belajar sejarah semacam ini jauh dari konsep ilmu dalam Islam yang
menggunakan pendekatan epistemologis Islami, yang memadukan tiga sumber
ilmu: panca indera, akal, dan khabar shadiq; bukan mengandalkan panca
indera dan akal semata.
Tahun 1988, pakar filsafat Islam, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib
al-Attas memberikan perhatian khusus terhadap kitab akidah Islam tertua
yang beredar di wilayah Melayu, yaitu kitab Aqa’id al-Nasafiah. Tahun 1988, Prof. al-Attas menerbitkan salah satu karya monumentalnya: The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqaid of al-Nasafi (Kuala Lumpur: University Malaya, 1988).
Kitab Aqidah al-Nasafi ini unik. Baris-baris awal diawali dengan
bimbingan cara berpikir dan cara meraih ilmu dalam Islam. Imam al-Nasafi
menulis kalimat awal pada kitabnya: “haqa’iq al-asyya’ tsaaibitatun,
wal- ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan li-sifastha’iyyah.” (Hakekat
segala sesuatu adalah tetap; dan memahaminya adalah kenyataan; berbeda
dengan pandangan kaum sofis). Kaum sofir adalah kaum yang tidak percaya
bahwa manusia bisa meraih ilmu. Mereka selalu ragu dengan pengatahuan
yang diraihnya.
Lalu, Imam al-Nasafi melanjutkan uraiannya dengan mengunkapkan tiga
sebab manusia meraih ilmu, yaitu melalui panca indera, akal, dan khabar
shadiq (true report). Konsep epistemology al-Nasafi ini sangatlah
penting untuk dipahami para pengkaji ilmu, khususnya para akademisi, dan
juga setiap muslim. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dapat
menjauhkan manusia dari kebahagiaan sebab tidak pernah mengenal Tuhan
Sang Pencipta.
Faktanya, di berbagai sekolah Islam, kini masih diajarkan buku-buku
pelajaran yang sekular yang hanya mengandalkan ilmu empiris dan
rasional. Bahkan, banyak yang terjebak oleh cara berpikir, bahwa agama
adalah bukan ilmu; al-Quran bukan sebagai sumber ilmu, sehingga
pelajaran sains, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya, dijauhkan
dari sumber-sumber al-Quran. Cara berpikir dikotomis dan sekuler
semacam ini adalah keliru dan seyogyanya tidak mendapatkan tempat di
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Apapun kondisinya, kita patut mensyukuri segala macam anugerah Allah
dalam bidang pendidikan Islam. Kita tidak boleh sombong. Apalagi merasa
bahwa keberhasilan saat ini adalah semata-mata hasil kerja keras
manusia, dan bukan anugerah Allah AL-QAIDAH. Pada saat yang sama, kita
wajib mengevaluasi segala macam kelebihan dan kelemahan yang ada,
sehingga lembaga-lembaga pendidikan Islam akan semakin baik kedepan dan
mampu menjalankan fungsinya sebagaimana sepatutnya.
Kita camkan bersama perintah Allah Subhanahu Wata'ala: “Wahai
orang-orang beriman, bersabarlah, perkuatlah kesabaranmu,
bersiapsiagalah selalu, dan bertakwalah kepada Allah, semoga kamu akan
menang.” (QS Ali Imran:200).*
0 Komentar