”Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen”. Itulah
judul buku karya Muhammad Isa Anshary, alumnus Program Magister
Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta. Buku terbitan
Pustaka Lir-Ilir, Surakarta, tahun 2013, ini diangkat dari Tesis penulis
di Universitas yang sama. Karena kajiannya yang mendalam dan
komprehensif, buku ini bisa dijadikan sebagai salah satu rujukan penting
dalam studi Misi Kristen di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.
Studi yang dilakukan Muhammad Isa Anshory melengkapi studi sejenis yang pernah dilakukan oleh
Aqib Suminto, Deliar Noer, Alwi Shihab, dan sebagainya. Studi ini juga
menguatkan kesimpulan para peneliti sebelumnya, bahwa pemerintah
penjajah Belanda secara sistematis membantu kegiatan misi Kristen di
Indonesia. Disimpulkan: ”Melihat praktiknya, politik etis sebenarnya
adalah upaya pemerintah Hindia Belanda untukmengkristenkan atau membaratkan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.”
Hasil kajian Isa Anshory ini menunjukkan, bahwa laju penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda (Indonesia) sangat terkait erat dengan perkembangan politik kolonial. Awal abad ke-20 ditandai dengan peningkatan kegiatan misi Kristen. Pidato Ratu Wihelmina (1901) lebih menegaskan sikap terhadap kebijakan mendukung kegiatan misi Kristen yang telah berjalan.
Politik etis dilaksanakan pada masa kejayaan kolonialisme Belanda di Indonesia dan saat
umat Islam mengalami kebangkitan. Arus Kristenisasi mencapai puncaknya
saat Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen Anti-Revolusioner,
menduduki kursi Perdana Menteri Belanda pada 1901. Banyak anggota
Parlemen Belanda menuntut agar pemerintah membatasi pengaruh Islam di
Indonesia. Van Baylant, misalnya, memperingatkan pemerintah akan
seriusnya bahaya penyebaran Islam dan menuntut ditingkatkannya misi
Kristen. Sementara itu, W.H. Bogat meluncurkan kampanye anti-Islam yang
keras dan menuduh agama ini sebagai penyebab ”kurang bermoralnya”
masyarakat.”
Diangkatnya Alexander
Willem Frederik Idenburg sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909)
dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916) lebih menguatkian arus Kristenisasi. Setelah tahun 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Indonesia. Gerakan misi Kristen beroperasi
dalam ruang lingkup yang luas untuk pembangunan kesejahteraan dan
ekonomi. Pembatasan jumlah dan tempat misi dihapuskan,
sehingga daerah baru di kepulauan ini pun terbuka bagi kegiatan misi
Kristen. Idenburg menjadikan Kristenisasi sebagai tugas politik utama
pemerintahannya. Di hadapan Tweede Kamer, dia mengucapkan: De uitbreiding van het Christendom in Indiƫ, als wortel van onze hoogere beschaving, is een zaak van groot politiek belang. (Penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai dasar peradaban yang tinggi adalah tugas politik utama).
Pemerintah
Penjajah juga mencoba untuk melanjutkan pokok-pokok ajaran Kristen di
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dan tata pemerintahan Hindia
Belanda. Sebagai contoh adalah keluarnya ”Edaran Minggu” atau ”Edaran Pasar”
yang diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, 1910. ”Edaran Minggu”
memberi sugesti bahwa tidak pantas untuk mengadakan pesta kenegaraan
pada hari Minggu. Edaran ini juga meminta agar seluruh administratur dan
pegawai sipil agar menghindari kegiatan-kegiatan resmi atau setengah
resmi pada hari Minggu. ”Edaran Pasar” melarang diadakannya hari pasar
orang Indonesia apabila ini jatuh pada hari Minggu.
Fakta tentang ”Edaran Minggu”
ini menarik untuk kita cermati. Jangan-jangan tradisi libur pada hari
Minggu kita saat ini masih melanjutkan kebijakan yang dibuat oleh
Gubernur Jenderal Idenburg yang sangat fanatik Kristen dan anti-Islam.
Idenburg, misalnya, menyatakan, bahwa satu-satunya jalan untuk
melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan.
Seperti dikutip Robert E. Speer, Idenburg menegaskan: ”The
issue for Mohammedan world is not Mohammed and Christ. Ia not Mohammed
or Christ. It is Christ. It is Christ or decay and death.” (Pilihan
untuk dunia Islam bukan Muhammad dan Kristus; bukan Muhammad atau
Kristus; tetapi pilihannya hanya Kristus. Pilih Kristus atau akan
mengalami pembusukan dan kematian).
Misi dengan lembaga
Selain
mendapat bantuan dari negara, peningkatan Kristenisasi pada masa
politik etis juga diakibatkan adanya perubahan strategi. Abad ke-19,
strategi zending Protestan maupun misi Katolik pada umumnya masih
diarahkan pada misi secara langsung. Tapi, pada abad ke-20, strategi
misi sudah berganti dengan pendirian kelembagaan misi, seperti sekolah,
rumah sakit, rumah yatim piatu, dan
beberapa kegiatan sosial lainnya. Melalui kegiatan di bidang pendidikan
dan kesehatan itu, zending sanggup memikat hati orang yang masih
bersikap menolak terhadap Kristenisasi secara langsung.
Strategi ini disebut pre-evangelisation,
yaitu suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya
siap menerima Kristen. Di sekolah-sekolah zending, kesetiaan kepada
pemerintah dan ratu Belanda ditanamkan ke dalam hati para murid. Meski membutuhkan biaya besar dan waktu lama, Kristenisasi lewat pendidikan ini berhasil mengkonversi banyak pribumi Muslim.
Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan, Jawa Tengah.
Di desa kecil Semampir dia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah
bangunan gereja. Saat itulah dia memulai kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906.
Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi,
mereka semua tamat sebagai orang Katolik. Beberapa dari kelompok siswa
pertama bahkan melanjutkan studi mereka untuk menjadi pastor.
Sebuah ungkapan penting dari Frans van Lith:
“Tujuan
kita adalah memberi pendidikan yang tinggi kepada pemuda-pemuda Jawa
sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik dalam masyarakat. Kepada
mereka kita memberikan pendidikan Kristiani, dan bila mereka nanti
tersebar di seluruh Pulau Jawa, kita akan menanti tumbuh dan mekarnya
benih-benih yang kita sebar.”
Strategi budaya
Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Strateginya: memisahkan agama Islam dari budaya
Jawa, setidak-tidaknya dalam teori dan juga dalam praktek sejauh hal
itu dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama Islam mesti
dihindari.Untuk itulah di sekolah Muntilan, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu dianggap identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam. J.D. Wolterbeek mengatakan, “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.” Senada dengan ini, Pastor Yesuit Frans van Lith berpendapat,
Dua
bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah
batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain
dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar
untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai
parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan
dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.
Dengan bantuan pemerintah kolonial dan strategi pre-evangelisation,
kegiatan misi Kristen di Jawa meningkat tajam pada masa politik etis.
Walaupun orang Kristen tetap terbilang sebagai minoritas kecil, namun
jumlah pribumi Muslim Jawa, terutama di Jawa Tengah, yang murtad ke
agama Kristen cukup besar. Mengutip kesimpulan seorang anggota muda
Yesuit, Karel Steenbrink mengatakan: ”Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana pastor pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”
Total populasi penduduk Pulau Jawa pada 1906 adalah 28.746.688 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 24.270.600 adalah Muslim. Lapangan yang sangat luas dan sulit ini digarap oleh enam lembaga misionaris. C.
Albers, Jr. dan J. Verhoeven, Sr. melaporkan pada tahun tersebut bahwa
pengaruh Islam menjadi rintangan berat bagi para misionaris. Akan
tetapi, berkat bantuan medis dan penyelenggaraan sekolah, mereka
berhasil mengkonversi pribumi Muslim ke agama Kristen.
Respon Muslim
Menghadapi
serbuan misi Kristen yang dahsyat seperti itu, kaum Muslim tentu saja
tidak berdiam diri. Sebuah respon penting dalam menghadapi misi Kristen
dilakukan oleh Muhammadiyah, yang berdiri tahun 1912 –di masa Gubernur
Jenderal Idenburg. Tahun 1933, Muhammadiyah bersama 30 organisasi Islam,
mengadakan rapat akbar di Solo, menentang pemberian izin masuknya dua orang misionaris Kristen Advent dari pemerintah Jajahan di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).Tahun 1939, Sidang Tanwir Muhammadiyah di Kudus, juga menolak dicabutnya artikel 177 Indische Staatsregeling yang isinya adalah kewajiban misionaris untuk mendapat izin dari pemerintah Jajahan. Secara individual, mubaligh Muhammadiyah asal Surakarta, R. Moehammad Sardjana, pernah menerbitkan buku “Agama Kristen” sebagai jawaban terhadap dua jilid buku tokoh Gereja, Henderick Kraemer, yang berjudul “Agama Islam”. Secara kelembagaan, Muhammadiyah masih terus menjadi salah satu garda penting umat Islam dalam membendung arus Kristenisasi, sampai hengkangnya penjajah Kristen dari bumi Indonesia.
Pendiri organisasi ini, KH Ahmad Dahlan, dikenal sangat serius dalam mengajak umat Islam untuk membandung arus Kristenisasi. Sebuah ucapannya yang terkenal: “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”Walhasil, dalam rangka memahami sejarah, strategi, dan taktik Kristenisasi di Indonesia, buku Muhammad Isa Anshory ini sangat baik untuk dibaca. Wallahu a’lam.*/Depok, 28 Maret 2013
0 Komentar