Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Membela Orientalis, Memojokkan Intelektual Islam

Oleh: Nuim Hidayat
SETELAH berselancar internet, mencari berita dan berdiskusi dengan beberapa teman di dunia maya, saya menemukan artikel yang menarik di academia edu. Artikel itu memuat tulisan (artikel ilmiah) dari Burhanuddin Muhtadi di Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, 2007, yang berjudul “The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah”. Artikel berbahasa Inggris sepanjang 24 halaman itu intinya (dengan bahasa  halus) Burhanuddin membela Yahudi dan memojokkan Majalah Media Dakwah yang pernah diterbitkan Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII). Amien Rais, Daud Rasyid dan kru redaksi Media Dakwah berada pada fihak yang salah dan William Liddle, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan Harun Nasution pada fihak yang benar. Burhanudin, seolah-olah meniadakan adanya konspirasi Yahudi di dunia selama ini. Burhanuddin, saat ini aktiv pada Indonesian Survey Institute (LSI).

Artikel itu dimulai dengan sinisme kepada Harian Republika yang memberitakan tentang kejadian WTC 2001 silam.
“THE EVENTS of September 11th were reported with different nuances by various Islamic publications in Indonesia. The daily newspaper Republika published the headline: ‘4,000 Jewish employees did not attend work at the World Trade Centre (WTC) on 9/11.’1 This newspaper, which has a primarily Muslim-readership, sought to draw people’s attention to a grand conspiracy theory behind the tragedy. In addition to reporting the alleged absence of Jews from their work on the day of the explosions, Republika also made related claims that Ariel Sharon, the Israeli Prime Minister, was prevented from visiting New York and his planned speech to the United Jewish Communities of New York in September 2001 had been cancelled.”2

Not only did Republika promote the idea of the so-called Jewish conspiracy concerning September 11th, but Islamic-based magazines such as Media Dakwah, Suara Hidayatullah and Sabili also repeatedly published claims relating to the Jews. As the official magazine of the modernist-Islamist group DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia or Indonesian Council for Islamic Preaching), Media Dakwah has contributed to the creation and dissemination of Jewish conspiracy theories in the aftermath of September 11th.”

Peneliti politik andalan UIN Jakarta ini juga mengritik Mohammad Natsir karena selama ini beliau dinilai sinis terhadap Yahudi: “In addition, the founder of the DDII, Mohammed Natsir, was well known as a long standing anti- Semite. He characterized the Jews as, ‘worms on the leaves of banana trees.’ (halaman 4).

Dukungannya terhadap William Liddle, Nurcholish, Abdurrahman Wahid dan JIL tercermin dalam kutipannya:
“Since Nurcholish Madjid and AbdurrahmanWahid’s Islamic reform movement, in which scholars coined the term, the DDII has propagated the view that the Cultural Islam movement is a secular approach to understand Islam.  In recent years the ideas underpinning Cultural Islam have undoubtedly become institutionalised through the Liberal Islam Network (Jaringan Islam Liberal), which is regarded as a continuation of renewal projects by Islamic neomodernists… In the following section, I will focus on the magazine’s views of Jews, especially in its emphasis on the issue of a Jewish conspiracy. To begin with, it emphasizes the controversial issue triggered by an American Indonesianist, R. William Liddle, who wrote an article entitled, ‘Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru (Media Dakwah’s Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia).’60 In the article, Liddle had to confront the dilemma of being a non-Muslim scholar who engaged with deep doctrinal issues. As will be outlined below, at the time of the publication of Liddle’s article, Media Dakwah was fighting for the refutation of Islamic reform issues pioneered by Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid. Even though his article was descriptively accurate, its tone was sympathetic to the ideological rival of Media Dakwah. The magazine was labelled by Liddle as ‘scripturalist,’ while the other contending group as ‘substantialist.’61

In reaction to Liddle’s article, Media Dakwah produced a cover story outlining the responses of its own writers or the DDII supporters. A large picture of Liddle  was published on the cover of Media Dakwah No. 230 (August 1993) with the title printed in a large capitals, ‘Menjawab Liddle’ (To Answer Liddle). This conveyed a strong message to rival publications, notably the Ulumul Qur’an Journal, in which Liddle’s article had previously been published.62

This particular cover caught my attention when I was looking through the Media Dakwah’ serials provided by the Menzies Library at the Australian National University (ANU), Canberra. Its caricature of Liddle behind a Star of David made a direct connection between the Liddle and Judaism, and by implication that Jews may have been responsible for the controversial article. In addition, Media Dakwah began the report with a short quotation from Amien Rais, “Saya tidak habis berpikir, bagaimana William Liddle, yang Yahudi “tengik” itu, dapat diberi halaman yang begitu panjang di Ulumul Qur’an’ (I could not understand why a rotten Jew William Liddle was given such a large space by the journal of Ulumul Qur’an).63 

In fact, at the same time as the publication of Liddle’s article, the journal also published an article by noted Indonesian communication expert, Ade Armando, on the same topic, entitled ‘Citra Kaum Pembaru Islam dalam Propaganda Media Dakwah’ (The Image of Islamic Reformers in the Propaganda of Media Dakwah).64 Nonetheless, most of the reports in the edition were focused on Liddle with only a minor reference to Armando’s article. This appeared to be because Media Dakwah aimed to highlight a Jewish conspiracy embodied by Liddle, who was known as a Jewish follower, rather than Armando who is a Muslim. Aside from that, the magazine intended to launch counter attacks on Cultural Islam, which —according to Media Dakwah—largely benefited from the article written by Liddle.65

Burhanuddin juga membuat sub judul: Media Dakwah, Paranoia, and Conspiracy Theory. Dianggapnya Media Dakwah seringkali tulisan-tulisannya ‘reduksionis’ dan ‘menyederhanakan masalah.’
“As explained above, Nurcholish had launched his progressive thought before he began studying at Chicago University. He did not only study with Leonard Binder, but also with a number of professors at the university, including a Pakistan-born professor, Fazlurrahman. There are many issues covered by the magazine showing the extensive use of reductionism and oversimplification. Particular details of political, social, religious, and economic dimensions have been neglected in order to show that the root cause of human disasters is the Jews and, in effect, that the rest of the world suffers because of them. 

Ex-post factum analysis has been employed to fix the magazine’s prejudice towards contemporary events.”
 
Burhanudin juga mendukung pendapat Liddle bahwa Yahudi juga mendapat keselamatan dalam Al Quran. Sebagaimana dinyatakan pembela pluralisme, seperti Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmat dll. Mereka menafikan puluhan ayat al Qur’an yang menyatakan bahwa kaum Yahudi adalah sering menolak perintah Allah, pembunuh Nabi dan terutama menolak kenabian Rasulullah Muhammad Shalallahu a’alaihi Wassalam.

Liddle, mendasarkan pada Surah al Baqarah ayat 62 yang menyatakan : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Mayoritas ulama Islam menafsirkan ayat ini bahwa keselamatan itu didapatkan sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Dalam Tafsir al Manar jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi. (Lihat buku Dr Hamid Ilyas “Dan Ahli Kitap pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non Muslim”).  Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3 : 199), Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu:

Pertama, beriman kepada Allah dengan iman yang benar, tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan

Kedua, beriman kepada Al Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena Al Qur’an merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan

Ketiga, beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka

Keempat, rendah hati (khusyu’) yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman

Kelima, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia.
Hal yang hampir sama dikatakan Sayid Qutb dalam tafsir fi Zhilalil Qur’an: “Ayat ini menegaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih di kalangan mereka semua, akan mendapat pahala dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Jadi penilaian itu berdasarkan hakikat aqidah bukan berdasarkan rasa tau kebangsaan. Ini tentu berlaku sebelum pengutusan Nabi Muhammad saw. Sedangkan sesudah pengutusan Nabi saw, telah ditetapkan bentuk keimanan yang terakhir.”
Dalam kesimpulannya akhirnya Burhanudin menyalahkan Media Dakwah, sebagai pendorong kaum Muslim Indonesia bersikap anti Semit dan paranoid terhadap Yahudi.

Kata Burhanuddin:
“Finally, Media Dakwah has contributed significantly to a boost in anti-Semitic attitudes among Indonesian Muslims in the way that the DDII-sponsored magazine triggers a paranoid mindset against Jews. Everything that happens that has negative effects towards Islam is attributed to the Jews. Concerning its ideological rivalries in the Cultural Islam movement, Media Dakwah has sought to delegitimise its opponents, most notably Nurcholish, with the strong claim that he was part of a Jewish international conspiracy. Using Bale’s conceptual framework of theories of conspiracy, it is clear that Media Dakwah is caught up in a conspiracy theory. This is not only a fantastic product of its paranoid style, but also a tool for mobilizing support against its “enemies.”

(Akhirnya, Media Dakwah telah memberikan kontribusi signifikan terhadap dorongan anti-Semit pada sikap kaum Muslim Indonesia, denan cara majalah yang disponsori DDII ini memicu pola pikir paranoid terhadap Yahudi. Segala sesuatu yang terjadi yang negative efek terhadap Islam dikaitkan dengan orang-orang Yahudi. Mengenai persaingan ideologis dalam gerakan Islam Budaya, Media Dakwah telah berupaya untuk mendelegitimasi lawan, terutama Nurcholish, dengan klaim yang kuat bahwa dia adalah bagian dari Konspirasi internasional Yahudi. Menggunakan kerangka konseptual Bale dari teori konspirasi, jelas bahwa Media Dakwah terperangkap dalam sebuah teori konspirasi. Ini tidak hanya produk yang fantastis gaya paranoid, tetapi juga alat untuk memobilisasi dukungan terhadap "musuh.")

Siapa Liddle?
R. William Liddle adalah ahli politik dari Amerika. Ia lahir pada 18 Januari 1938. Indonesianis (orientalis) ini dikenal sebagai pengamat politik Indonesia dan aktif menulis tentang permasalahan politik di Indonesia. Profesor dari Ohio State University ini mempunyai murid-murid yang ‘hebat’ yang berperan besar dalam perpolitikan di Indonesia. Di antaranya: Rizal Mallarangeng yang sekarang salah satu Ketua DPP Golkar, Saeful Mujani dan Denny JA perintis ‘Quick Count’ pemilu di tanah air dan Dodi Ambardi pemilik sebuah lembaga riset.  Liddle telah melakukan pengamatan politik di Indonesia sejak tahun 1960-an hingga saat ini.

Ketika terjadi polemik sekulerisme Nurcholish di TIM 90-an, Liddle mendukung aktif Nurcholish. Ia secara terbuka menyatakan setuju konsep Nurcholish tentang ‘pluralisme agama’. Ia setuju adanya istilah Islam (I besar yang menunjuk pada institusi agama) dan islam (i kecil yang menunjuk pada makna kepasrahan diri. Ia bersepakat dengan tokoh paramadina itu, adanya istilah ‘yahudi islam’. Dukungannya yang kuat terhadap ide-ide Nurcholish tahun 90-an itu, yang menyebabkan pakar politik Amien Rais dengan spontan menyatakan Liddle sebagai ‘Yahudi Tengik’.

Dukungannya terhadap tokoh sekulerisme Indonesia ini juga nampak ketika Nurcholish sakit di Singapura. Jauh-jauh dari AS ia menjenguk dan menyalami Nurcholish yang dirawat di negeri Singa saat itu. Liddle juga bersikap sinis terhadap istri Eep Saefullah Fatah, Sandrina Malakiano, ketika mengubah penampilannya menjadi jilbab. Eep adalah bekas murid Liddle di Ohio State University.
Awal tahun 2013 ini ia meluncurkan buku terbarunya “Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan“ yang diluncurkan di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina, Jakarta, 7 Februari 2013 lalu.

Ia pun tidak lupa akhir-akhir ini memberi komentarnya  tentang ‘gonjang-ganjing’ PKS. Dalam wawancaranya dengan Radio Jerman, Deutsche Welle sebagaimana dikutip Suara Pembaruan Online ("Bill Liddle: Saya Khawatir Golkar Semakin Kanan, Suara Pembaruan, Sabtu, 9 Februari 2013 | 8:00).

Ia menyatakan terus terang tidak khawatir terhadap perkembangan PKS atau HTI, ia lebih khawatir adanya kecenderungan arah Golkar yang ke kanan (lebih Islami). 

Ketika radio itu bertanya: Apakah anda melihat partai tengah seperti Golkar kini cenderung semakin kanan untuk menarik dukungan kelompok yang dulu memilih partai Islam? Bill Liddle menjawab:  “Ya saya khawatir begitu. Ada kecenderungan partai tengah seperti Golkar sekarang semakin ke kanan. Saya khawatir Golkar menjadi ke-islam-islam-an (secara aspirasi politik-red). Itu lebih berbahaya, karena menyangkut perlindungan terhadap warga negara. Saya melihat di masa depan, kemungkinan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah akan semakin terancam. Itu mengkhawatirkan karena mereka tidak mendapat perlindungan dari polisi serta sistem politik. Saya lebih khawatir soal itu ketimbang kemungkinan radikaliasi kelompok Islamis seperti PKS atau HTI (Hizbut Thahrir Indonesia-red).” Ia juga mengingatkan:  “Anda harus ingat sejarah, dulu Golkar lebih populer di daerah daripada di Jawa, dan jangan lupa suara santri lebih banyak di luar Jawa. Lalu ketika terjadi perpecahan di partai Golkar tahun 1999, kelompok non santri seperti Edi Sudrajat hengkang, angkat kaki dari Golkar. Akibatnya, yang tinggal adalah orang seperti Akbar Tandjung yang punya jaringan santri (Akbar Tandjung dikenal sebagai tokoh HMI-red). Jadi Golkar sejak 1999 sudah menjadi lebih Islami ketimbang sebelumnya. Sudah lama saya menyaksikan partai besar seperti Golkar dan juga Demokrat, memposisikan diri untuk menampung aspirasi umat Islam. Bahkan ada pemimpin Golkar yang bilang kepada saya: kami ingin dianggap ramah terhadap Islam. Misalnya dalam Undang-Undang Anti Pornografi, Golkar mendukung undang-undang itu, dengan tujuan agar suara umat Islam masuk ke mereka.

Entah mengapa, Burhanudin Muhtadi cenderung mengikuti pendapat seorang orientalis, bahwa tidak ada konspirasi Yahudi. Ulah William Liddle mendukung penuh sekulerisme Nurcholish dan Leonard Binder (pakar politik Amerika) meluncurkan istilah ‘pertama kali’ Liberal Islam dengan  penerbitan bukunya “Islamic Liberalism”, mungkin belum cukup baginya bukti adanya ‘konspirasi itu’. Bila pendirian negara Yahudi Israel 1948 dan pemboikotan besar-besaran kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006 di Palestina,  pun ditolaknya  sebagai konspirasi Yahudi, jangan-jangan ia sendiri nun jauh di sana berkonspirasi dengan orientalis  untuk meniadakan teori ‘konspirasi Yahudi’.
Bisa saja Media Dakwah dalam satu dua kalimat salah mengungkapkan makna. Tapi secara umum Media Dakwah benar. Konspirasi Yahudi benar adanya, baik terlihat maupun tidak dan apalagi mayoritas kaum Yahudi adalah pendukung negara Yahudi Israel. Hanya ‘satu dua’  atau minoritas yang menentang pendirian negara ini.  Maka benar firman Allah SWT : “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS Al Maidah 78-79). Wallahu a’lam bishawab.*
Penulis pernah menjadi wartawan Media Da'wah

Posting Komentar

0 Komentar