“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya
terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan
kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka
inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau…
Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja
ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan
menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan
pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula
mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul
penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat
serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan
memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.” (Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, M. Natsir)
WALAU bagaimana pun sosok Mohammad Natsir adalah model
dari seorang ulama yang istiqomah berpegang teguh pada ajaran Islam
ketika ia terjun ke politik. Dan ia adalah seorang politikus ulung dan
santun yang disegani oleh kawan maupun yang mengganggapnya sebagai
lawan. Natsir adalah sejarah dari politik Islam Indonesia itu sendiri.
Nasir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih
mempertahankan negara kesatuan RI, yang sekarang menjadi pembicaraan
hangat karena melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat reformasi
yang kebablasan. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik dari ancaman
perpecahan.
Ia lah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin
Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan
perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan
pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah kemudian yang
berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung
dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud
Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh
sampai akhir hayatnya.
Natsir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan
negarawan terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Kemudian ketika
kegiatan politiknya dihambat oleh penguasa, dia berjuang melalui dakwah
dengan membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dimana dia berkiprah
sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman
terpencil.
Masa kecil
Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908.
Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado
adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol.
Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat
menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro
Panjang di Pasar Maninjau.
Natsir pada mulanya sekolah di Sekolah Dasar pemerintah di Maninjau,
kemudian HIS pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang, HIS Solok dan
kembali HIS pemerintah di Padang. Natsir kemudian meneruskan studinya di
Mulo Padang, seterusnya AMS A 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung.
Walaupun akan mendapatkan beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar
di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, dia
tidak melanjutkan studinya dan lebih tertarik pada perjuangan Islam.
Pendidikan agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia
masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al
Qur’an pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah
dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh
Persatuan Islam di Bandung. Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya
yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya
dan berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpengaruh pada
kepribadian Natsir kemudian.
Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu
fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat,
sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar
dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M.
Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di
antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad
Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk
berjuang dalam menegakkan agama Islam.
Terjun ke dunia politik
Pengalaman organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond
(JIB) di Padang. Di Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932,
menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun
empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI),
cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang
kemudian dipimpinnya.
Ia menjalin hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho yang
terkenal dengan mosinya “Indonesia Berparlemen†kepada
pemerintah Belanda, dengan Sukarno, dan tokoh politik Islam lainnya yang
kemudian menjadi tokoh Masyumi, seperti Kasman Singodimejo, Yusuf
Wibisono dan Mohammad Roem.
Berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya, sejak semula Natsir juga
bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Pada mulanya ia aktif
dalam pendidikan agama di Bandung, kemudian mendirikan lembaga
Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan
Kweekschool yang dipimpinnya 1932-1942.
Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti
Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Dalam
tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum
nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr.
Sutomo. Khusus dengan Sukarno, Natsir terlibat polemik hebat dan panjang
antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang
akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala
Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan
negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler
Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid
buku Capita Selecta.
Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan
mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh
Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam
Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan
anggota Badan Pekerja KNIP.
Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta
1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa
rasa rendah diri dia menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian
amat sederhana, ditambal, sebagaimana ditulis kemudian oleh Prof. George
Kahin, seorang ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu
itu mengunjunginya di Yogya.
Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada
akhir Desember 1949, Natsir memelopori kembali ke negara kesatuan RI
dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April
1950. Bersama dengan Hatta yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri
RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya negara kesatuan RI pada 17
Agustus 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natsir ditunjuk sebagai Perdana
Menteri oleh Sukarno, atau juga karena pengaruhnya yang besar,
sebagaimana kemudian terlihat dari hasil Pemilu 1955.
Tidaklah mudah menjadi Perdana Menteri dalam keadaan sulit ketika
itu. Hampir di semua daerah terdapat perasaan bergalau akibat perang
yang menimbulkan rasa ketidak-puasan di mana-mana. Beberapa tokoh yang
selama ini berjuang untuk Republik berontak, seperti Kartosuwiryo dan
kemudian Kahar Muzakkar. Pengikut RMS dan Andi Azis yang berontak kepada
Hatta masih belum tertangani. MMC (Merapi Merbabu Complex) yang
beraliran komunis berontak di Jawa Tengah. Daud Beureuh menolak
menggabungkan Aceh ke dalam propinsi Sumatera Utara.
Walaupun kemudian Natsir pada bulan Januari 1951 berhasil membujuk
Daud Beureuh yang sengaja berkunjung ke Aceh sesudah Assaat dan
Syafruddin gagal meyakinkannya, namun Daud Beureuh meninggalkan
pemerintahan dan pulang kekampungnya di Pidie. Dengan berat hati Natsir
terpaksa membekukan DPR Sumatera Tengah dan mengangkat gubernur Ruslan
Mulyoharjo sebagai gubernur. Dalam waktunya yang pendek (September
1950-April 51) Natsir membawa RI dari suasana revolusi ke suasana tertib
sipil dan meletakkan dasar politik demokrasi dengan menghadapi bermacam
kendala, termasuk perbedaan pendapat dengan Sukarno dan partainya PNI.
Tetap berjuang
Sesudah meletakkan jabatannya di pemerintahan, Natsir aktif dalam
perjuangan membangun bangsa melalui partai dan menjadi anggota parlemen.
Pada pemilihan umum 1955 Partai Islam Masyumi yang dipimpinnya mendapat
suara kedua terbanyak sesudah PNI walaupun memperoleh kursi yang sama
dengan PNI. Pada sidang-sidang konstituante antara 1956-1957 dengan
gigih dia mempertahankan pendiriannya untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Sebelum sidang konstituante ini berhasil menetapkan
Anggaran Dasar Negara, Sukarno memaklumkan kembali ke UUD 1945 dan
membubarkan parlemen serta konstituante hasil pemilu (melalui Dekrit 5
juli 1959 –FF). Natsir menjadi penantang ide dan politik Sukarno yang
gigih dan teguh.
Penantangannya kepada Sukarno terutama karena Sukarno kemudian
berubah menjadi pemimpin yang otoriter dan menggenggam kekuasaan di
tangannya sendiri dengan bekerjasama dengan Partai Komunis Indonesia dan
partai lain yang mau menuruti kemauan Sukarno. Bukan saja Natsir, Hatta
pun malah juga terdesak. Hatta meletakkan jabatannya sebagai usaha
mengembalikan presiden Sukarno ke jalur yang benar, tapi hal itu malah
makin membuat Sukarno leluasa. Natsir makin terjepit karena pengaruh PKI
yang anti Islam.
Pergolakan politik akibat perebutan hegemoni Islam dan non Islam yang
mencuat secara demokratis di parlemen diikuti pula oleh kekisruhan
ekonomi dan politik secara tidak terkontrol di luar parlemen. Hal ini
berujung dengan munculnya kegiatan kedaerahan yang berpuncak pada
pemberontakan daerah dan PRRI pada tahun 1958. Natsir yang dimusuhi
Sukarno bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap
melarikan diri dari Jakarta dan ikut terlibat dalam gerakan itu. Karena
itu partai Masyumi dan PSI Syahrir dipaksa membubarkan diri oleh
Sukarno.
Ketika PRRI berakhir dengan pemberian amnesti, Natsir bersama tokoh
lainnya kembali, namun kemudian ia dikarantina di Batu, Jawa Timur
(1960-62), kemudian di Rumah Tahanan Militer Jakarta sampai dibebaskan
oleh pemerintahan Suharto tahun 1966. Ia dibebaskan tanpa pengadilan dan
satu tuduhanpun kepadanya.
Walaupun tidak lagi dipakai secara formal, Natsir tetap mempunyai
pengaruh dan menyumbang bagi kepentingan bangsa, misalnya ikut membantu
pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Melalui hubungan baiknya,
Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Malaysia Tungku
Abdul Rahman guna mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia yang
kemudian segera terwujud.
Karena tidak mungkin lagi terjun ke politik, Natsir mengalihkan
kegiatannya, berdakwah melalui perbuatan nyata dalam memperbaiki
kehidupan masyarakat. Pada tahun 1967 dia mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal.
Lembaga ini dengan Natsir sebagai tokoh sentral, aktif berdakwah
bukan saja kepada masyarakat dan para mahasiswa di Jakarta dan kota
lainnya, tapi juga di daerah terasing, membantu pendirian rumah sakit
Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar
mendalami Islam di Timur Tengah. Bahkan di antara mahasiswa ini kemudian
menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais Yusril Ihza
Mahendra, dan Nurchalis Majid, di antara beberapa tokoh penggerak orde
reformasi yang mengganti orde Suharto.
Kegiatan dakwahnya ini telah menyebabkan hubungannya dengan
masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus sebagai pemimpin
informal. Kegiatan ini juga membawa Natsir menjadi tokoh Islam terkenal
di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se
dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967)dan
anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se
Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para
simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak
membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di
beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natsir menjadi anggota
Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London.
Kiprah di masa Orde Baru
Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam
kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal
dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu
Natsir aktif mengendalikan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah
Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat
kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan
Islam.
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh
bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu
kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia
mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang
politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada
tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas
Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran
Islam.
Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan
dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak
saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar
jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk
mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka
kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia.
Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari
puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama
dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya.
Perkawinannya dengan Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung
telah memberinya enam orang anak.
Sumber: http://www.islampos.com/m-nasir-ulama-negarawan-negarawan-ulama-1-4718/
0 Komentar