Perempuan itu berteriak lantang
dari atas kapal. Suaranya beradu nyaring dengan gelegar meriam. Tegas.
Memberi komando kepada pasukan perempuan di palagan perang.
Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad 15 masehi, Aceh melahirkan seorang tokoh wanita tangguh, bernama Keumalahayati, ia lebih terkenal dengan sebutan Malahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan Keumala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya.
Berdasarkan sebuah manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan
Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu.
Dia adalah muslimah pertama dunia yang menjadi laksamana di zaman
pelayaran modern. Saat sebagian besar rakyat negeri ini belum memikirkan
emansipasi, dia sudah mendobrak batas-batas gender yang baru
dibincangkan kemudian.
Nama Malahayati mudah ditemukan di literatur Barat maupun China. Di
Indonesia, dia memang tidak sepopuler Cut Nyak Dien, namun oleh peneliti
barat, Malahayati disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja
Babilonia dan Katherina II, Kaisar Rusia.
Ia hidup di masa Kerajaan Atjeh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alaiddin
Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M.
Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya
adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah
yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah
adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang
merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33).
Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahwa dirinya
berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan Istana. Ayah
dan kakeknya Malahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga
jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat berpengaruh
pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya".
Oleh karena sang ayah dan kakeknya seorang Panglima angkatan Laut, maka
jiwa bahari tersebut dapat diwarisi oleh Malahayati. Kendatipun dirinya
hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah
berani seperti ayah dan kakeknya.
Malahayati pada awalnya adalah dipercaya sebagai kepala pengawal dan
protokol di dalam dan luar istana. Karir militernya menanjak setelah
kesuksesannya “menghajar” kapal perang Belanda yang dipimpin oleh
Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam. Bahkan Cornelis de
Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di
geladak kapal pada 11 September 1599.
Masa Gadis
Pada masa Malahayati masih gadis remaja, Kerajaan Aceh telah memiliki
Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Maqdis, yang terdiri dari
jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian
berasal dari Turki.
Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di meunasah, dan dayah.
Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di meunasah, dan dayah.
Malahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah
menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari,
Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk
mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut
mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad
Baitul Maqdis.
Cucu dari Laksamana Muhammad Said Syah ini terbilang istimewa.
Keleluasaannya memilih jenjang pendidikan itu dilandasi atas kecerdasan
yang dimiliki.
Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna
akademi militer tersebut. Pendidikan militer pada tahun pertama dan
kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia adalah seorang
taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan.
Sebagai taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol
telah membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya,
termasuk juga para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka
tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut
yang sayang padanya.
Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada wanita tersebut.
Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya,
tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya
dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk
dilakukan.
Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis,
Keumala berhak memilih jurusan yang ia inginkan. Sebagai seorang anak
yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan Angkatan Laut.
Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh ayah dan
kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil dengan
mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para instrukturnya.
Prestasi Malahayati tersebar di lingkungan istana. Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Mukammil pada masa pemerintahan 1589 M--1604 M mengangkat
Malahayati sebagai komandan protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan
Aceh Darussalam.
Jabatan ini menuntutnya piawai menguasai wawasan etika dan keprotokolan.
Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut,
Keumala berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior
dari dirinya. Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih
sayang.
Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta. Setelah tamat pendidikan di
Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis, keduanya akhirya menikah sebagai
suami-istri. Sayang, identitas suaminya tidak terlalu terungkap di
berbagai manuskrip.
Suaminya disebutkan gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis.
Pasukan Inong Balee (wanita janda)
Laksamana Keumalahayati |
Gayung bersambut. Saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan
keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan,
Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada
Perempuan Janda.
Ia didaulat sebagai laksamana. Sejak itulah gelar laksamana angkatan laut perempuan pertama ia sandang.
Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Krueng Raya. Benteng Kuto Inong
Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam.
Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh.
Sebagai seorang laksamana angkatan laut, peran Malahayati sangat
krusial. Debut pertempuran perdananya ialah melawan Portugis di perairan
Selat Malaka.
Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi
seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya 1000 orang,
lama-lama bertambah hingga mencapai 2000 pasukan. Armada asing yang
melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.
Tak jauh dari pangkalan militer tersebut, Malahayati juga membangun
Benteng Inong Balee. Kekuatan armada pimpinan Malahayati terbilang luar
biasa. Ini terbukti dengan sepak terjangnya selama mengawasi Pelabuhan
Syahbandar.
Mata uang dan koin emas
John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda di sebuah kapal
Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi
Laksamana. melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai
perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya
ada yang berkapasitas 400 - 500 penumpang.
Pada saat Malahayati menjadi laksamana, komoditas ekonomi yang
dihasilkan bumi dan laut Aceh dan daerah-daerah Semenanjung Melayu
sangat melimpah ruah sehingga banyak digemari bangsa Barat seperti
Belanda, Portugis, dan Inggris. Di antara komoditas andalan Aceh adalah
lada dan rempah-rempah.
Aceh begitu terbuka untuk bekerja sama dengan mereka, tetapi sayang
bangsa-bangsa Barat yang rakus dan ingin menguasai komoditas yang bukan
hak mereka dengan berbagai cara mulai dan trik halus seperti membuat
perjanjian dagang sampai yang paling kasar menyerang Aceh.
Pada saat itu, Aceh telah menggunakan uang resmi yang digunakan sebagai
alat tukar dalam perdagangan antar bangsa. Mata uang yang berbedar saat
itu adalah ringgit dan dirham Aceh, rial cap meriam Portugis, ringgit
cap matahari Jepang dan ringgit cap tongkat lnggeris. Uang yang
diterbitkan Aceh terbuat dari tembaga, perak dan emas.
Masa itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain
memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut
bahkan juga ditempatkan di daerah-daerah kekuasaan Aceh diberbagai
tempat. Untuk menerbitkan uang ini, Aceh secara khusus mengundang ahli
emas dan India dan ditempatkan di Kampung Pandee.
Membunuh Cornelis de Houtman
Cornelis De Houtman |
Pada tanggal 21 Juni 1599 saudagar Belanda datang di Aceh, mereka
menggunakan kapal De Leeuw dan De Leeuwin. Dua kapal itu di bawah
kendali dua orang bersaudara yakni Cornelis De Houtman dan Frederick De
Houtman.
Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia.
Pasukan ekspedisi dari Belanda itu yang baru saja selesai berperang
dengan Kesultanan Banten.
Setibanya di Aceh, keduanya disambut dengan baik oleh Sultan di istana.
Kedatangan dua orang bersaudara ini berhasil memikat Sultan sehingga
Belanda diizinkan untuk melakukan perdagangan dengan Aceh sekaligus
diizinkan untuk membuka kantor dagang di Aceh.
Kerjasama ini dimanfaatkan Aceh untuk menyewa kapal-kapal Belanda yang
akan digunakan untuk mengangkut pasukan ke Johor. Perjanjian sewa kapal
itu ditandatangani tanggal 30 Juli 1599 dan direncanakan berangkat pada
tanggal 11 September 1599.
Namun sayang, menjelang keberangkatan pasukan Aceh ke Johor, pihak
Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan kapten kapal yang bernama J.
Van. Hamskerek pun melarang pasukan Aceh naik ke atas kapal. Aceh tidak
terima dengan perlakuan itu.
Sebagian pasukan Aceh yang telah berada di atas kapal langsung marah dan
mengamuk ketika Belanda menembaki beberapa pembesar Aceh yang masih
berada di atas sampan termasuk kerabat sultan dan korban dan kedua belah
pihak pun tidak bisa dihindari.
Pertempuran antara pasukan Aceh dan Belanda di laut dilaporkan ke Sultan
dan didengar Keumalahayati yang saat itu menjadi Panglima Pengawal
lstana. Saat itu juga, Keumalahayati memberi komando pasukannya untuk
berkumpul dan mengepung kantor perwakilan dagang Belanda.
Di darat pun terjadi tembak-menembak antara pasukan Belanda dan anak
buah Keumalahayati. Dalam waktu singkat pasukan Keumalahayati berhasil
membuat pasukan Belanda menyerah setelah sebagian besar tewas di tangan
anak buah Malahayati.
Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman sendiri tewas ditangan
Malahayati dan beberapa anak buahnya juga terbunuh. Sedangkan Federick
de Houtman ditawan selama dua tahun dan dijebloskan ketahanan kerajaan
Aceh.
Namun ketika mereka hendak membakar kantor dan gudang Belanda, Sultan
melarang dan atas komandan Malahayati rencana untuk membakar gedung itu
batal dilakukan demi mentaati perintah Sultan.
Negosiator Ulung
Jacob Cornelisz. van Neck |
Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda,
Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai
insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada
Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.
Peristiwa terbunuhnya de Houtman penawanan Jacob Cornelisz van Neck,
sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda
sekaligus menunjukkan kewibawaan Keumala ketika Mahkamah Amsterdam
menjatuhkan hukuman denda kepada Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang
harus dibayarkan kepada Aceh.
Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung.
Maurits van Oranje sent |
Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden tersebut sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.
Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang
ke Aceh menggunakan dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta
merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh.
Malahayati memerintahkan pasukannya bergerak ke laut mengejar Belanda.
Dengan armada sampan dan perahu kecil mereka mengejar kapal Belanda yang
ukurannya lebih besar.
Untuk mempercepat laju kapalnya, Belanda membuang sauh agar kapal cepat
melaju di laut dan bebas bergerak menghindari kejaran pasukan
Keumalahayati menuju pulau Ceylon. Namun keduanya dapat dikejar dan
akhirnya ditahan di Aceh.
Sampai ke telinga Elizabeth I
Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa
Inggris. Tak seperti Portugis dan Belanda, Negeri raksasa itu memilih
cara damai dengan Aceh saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni
1602, Ratu Elizabeth I memilih mengutus Sir James Lancaster ke Aceh.
Sultan memerintahkan Laksamana Keumalahayati untuk menyambut kedatangan
orang-orang Inggris. Sumber wikipedia menyebutkan Sir James Lancaster
bersama rombongan pertama kali mendarat di Aceh pada 5 Juni 1602.
Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.
Ketika menyambut utusan Inggris. Laksamana Keumalahayati melaksanakan semua instruksi sultan dalam rangka penyambutan utusan Inggris yang pada saat itu sedang bermusuhan dengan Portugis.
Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.
Ketika menyambut utusan Inggris. Laksamana Keumalahayati melaksanakan semua instruksi sultan dalam rangka penyambutan utusan Inggris yang pada saat itu sedang bermusuhan dengan Portugis.
Sir James Lancaster |
Sir James Lancaster dan para pengiringnya disambut dengan jamuan oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah pada malam hari. Selama di Aceh, Malahayati
memberikan perlindungan penuh bagi utusan Inggris.
Ini dibuktikan dengan kedatangan Keumalahayati di tempat penginapan Sir
Lancaster pada sore hari pada pertama kedatangannya setelah pagi harinya
didatangi seorang utusan yang menyampaikan surat khusus dari sultan.
Kedatangan Malahayati ke penginapan Sir Lancaster untuk memberi tanda
mata berupa zamrud. Di samping itu, Malahayati juga membawa kabar
penting tentang kedatangan 20 armada Portugis di Malaka dan akan ke
perairan Aceh.
Perempuan pemberani ini memberi saran kepada utusan Ratu Elizabeth agar
segera meninggalkan Aceh untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Lancaster ingin tetap bertahan di Aceh namun Laksamana
meyakinkan bahwa Portugis akan menimbulkan bencana jika Lancaster tetap
di Aceh karena Portugis juga mengincar perdagangan dengan Aceh terutama
lada namun belum mendapatkan izin dan Sultan Sayid Mukammil.
Malahayati menjanjikan, jika Lancaster mau meninggalkan Aceh saat itu,
ia berjanji akan menahan Portugis di perairan Aceh selama 10 hari agar
tidak bisa mengejar utusan Ratu Elizabeth itu. Setelah mendapat jaminan
keamanan akhirnya Lancaster bersama rombongan meninggalkan Aceh pada
malam itu juga untuk segera kembali ke Inggris.
Keberhasilan menempuh jalan damai ini membuat James Lancaster dianugerahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah
ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri
Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama
dari negara/kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Eropa.
Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid sendiri meninggal dunia di negeri Eropa dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.
Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid sendiri meninggal dunia di negeri Eropa dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.
Tahun 1602, Abdul Hamid beserta rombongan tiba di Belanda. |
Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada
Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada
Juni 1606. Sejumloah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam
pertempuran melawan Portugis itu.
Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Lamkuta, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.
Malahayati sungguh melegenda. Banyak cacatan orang asing tentang
Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketiga itu
diakui oleh negara Eropa, Arab, Cina dan India. Namanya saat ini dipakai
untuk jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal
perang TNI Angakatan Laut.
Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607 M--1636 M), Aceh mencapai puncak
kejayaannya bersama Laksamana Keumalahayati, sang pahlawan wanita tiga
zaman.
Sumber: http://www.atjehcyber.net/2011/06/laksamana-keumalahayati.html
0 Komentar