Oleh: Chaerol Riezal
Ada banyak kisah dan peristiwa yang menarik dalam sejarah Aceh untuk
dibicarakan, terutama pada masa Perang Belanda di Aceh (1873-1942) dan
salah satu yang pernah dituliskan adalah Teuku Umar. Namun, untuk
Belanda, kehadiran Teuku Umar bukan sejarah yang menyenangkan untuk
dibaca. Bab-bab yang menarik dalam sejarah tersebut juga melibatkan
perpindahan pihak Aceh ke pihak Belanda atau sebaliknya. Kita yang
mengikuti perjalanan sejarah ini tentu tahu cerita tentang Teuku Umar
yang pindah dari pasukan Aceh ke pasukan Belanda. Atmosfer mengerikan
pun menyelimuti perjalanan panjang sejarah ini.
Untuk melihat seberapa mengerikan perlakuan yang diterima Umar, baik
semasa masih berpihak pada pasukan Aceh, lalu mendukung dan menyeberang
ke pihak Belanda, maupun pada saat Teuku Umar kembali ke pangkuaan
rakyat Aceh, setidaknya sejarawan telah mengungkapkan dan bisa sedikit
memberikan penggambaran tentang hal tersebut. Selain menerima gelar
kehormatan “Johan Pahlawan”, Umar juga mendapat cercaan dan sebutan baru
“pengkhianat” oleh Belanda.
Teuku Umar yang hidup pada masanya (1854-1899) sejak dari dulu sampai
sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar, why ? Tokoh yang satu ini
memang mengundang decak kagum serta terdapat kontroversi di dalamnya.
Tidak sedikit pula misteri yang tersimpan dalam diri sosok yang bernama
Teuku Umar Johan Pahlawan. Bagaimana ia mampu meyakinkan Belanda dengan
berpura-pura menjadi antek Belanda, kemudian insiden Kapal Nicero tahun
1884 yang melibatkannya adalah salah satu bentuk kejeniusan, dua rupa
wajah dan manipulasi yang diperagakan Umar. Belanda pun dibuat heran
olehnya, bahwa Teuku Umar telah membuat berita yang menggembarkan bagi
pihak Kolonial Belanda.
Dua Rupa Wajah Umar
116 tahun yang lalu, kita mengenal seorang tokoh sekaligus penjuang Aceh
berdarah Minangkabau, Teuku Umar. Katanya, Teuku Umar satu-satunya
pemimpin perang Aceh yang pindah langsung dari pasukan Aceh ke Belanda.
Dia dicap pengkhianat oleh publik, namun menjadi idola di hati rakyat
Aceh. Teuku Umar adalah salah satu kisah diantara banyak cerita yang
muncul diseputaran perang Belanda di Aceh. Umar menjadi salah satu dari
sekian banyaknya orang Aceh yang mendukung Belanda, namun Umar berbeda
dengan cuak Aceh yang mendukung Belanda, meskipun gelar “pengkhianat”
tetap melekat pada dirinya.
Seperti yang terjadi pada tokoh sejarah Aceh ini, sebelumnya, Pang
Tibang mengalami hal serupa, karena dianggap tidak mampu melobi dunia
internasional, gelar pengkhianat pun disandangnya, dia disebut
sedemikian bisa saja ia tidak mampu berdialog dalam bahasa asing. Teuku
Umar memang berbeda dengan Pang Tibang. Umar yang semula mendukung penuh
dan memimpin pasukan Aceh melawan Kolonial Belanda, tiba-tiba berbalik
haluan. Pada tahun 1883 Umar datang untuk menyerahkan diri kepada
Gubernur Van Teijin dan siap mendukung pasukan Belanda. Umar masuk dinas
militer dan siap melawan pasukan Aceh.
Ketika Teuku Umar bergabung dengan pasukan Belanda, Umar menundukkan
pos-pos pertahanan Aceh. Umar pun diberi peran yang lebih besar oleh
Belanda. Namun, hati Umar tetap milik orang Aceh, strategi tersebut
hanyalah tipuan belaka untuk mengambil senjata Belanda. Hal serupa juga
dilakuakan oleh Umar pada tahun 1893, kali ini Umar menyerah kepada
Gubernur Deykerkhooff di Kutaraja. Dua rupa wajah Umar kembali
diperlihatkan.
Tiga tahun memperkuat Belanda pada periode kedua, Umar benar-benar telah
menyakinkan Belanda dengan kesetiaannya. Umar berubah menjadi orang
Eropa. Momen itu berlangsung antara kurun waktu 1893-1896, sebelum
peristiwa suatu hari ditanggal 11 Februari 1899 yang mengantarkan Teuku
Umar Johan Pahlawan ke daerah Mugo untuk peristirahatan selama-lamanya.
Namun tiga tahun setelah mengabdi, Umar kembali membuat kejutan besar
saat dia memutuskan kembali ke pangkuan Aceh dan memimpin pasukannya.
Benar-benar Umar, dua rupa wajah dalam bentuk Eropa dan Aceh.
Manipulasi Teuku Umar
Adalah benar bahwa Teuku Umar pandai dalam psy war dan memanipulasi
kata-kata tentu sudah banyak yang mengetahui. Namun yang perlu
diperhatikan juga, bahwa Umar piawai dalam memanipulasi taktik ketika
menghadapi suatu peperangan. Memobilisasi massa, membakar semangat
rakyat, dan berorasi di depan pasukan Aceh sepertinya sudah identik
dengan tugas Teuku Umar baik sebelum maupun sesudah berperang dengan
Belanda.
Suatu ketika, saat Teuku Umar berbincang dengan istrinya Cut Nyak Dhien,
Umar dilayangkan pertanyaan oleh Dhien mengapa dia berpihak kepada
Belanda. Umar pun menjawab dengan tegas setelah mendengar pertanyaan
tersebut, “mereka tidak tahu, biarkan saja sejarah yang membuktikannya.”
Sebuah jawaban yang mengandung arti banyak. Atau juga dapat dilihat
bagaimana Umar memanipulasi kata-kata untuk merebut hati Cut Nyak Dhien
dan berhasil menikahinya. Sebuah psy war ataukah manipulasi kata-kata,
itulah Umar.
Memang benar pada masa itu, tanpa di duga-duga Umar berpihak kepada
Belanda setelah sekian lama berjuang bersama-sama dengan pasukan Aceh.
Diakui Umar memang pasukan Aceh dibawah pimpinannya kalah logistik
perang setelah membandingkan persenjataan Aceh dengan Belanda. Itulah
yang menjadi titik fokus Umar dan harus berseberang ke pihak lawan yang
ketika itu menjadi kawan. Hal ini jelas menimbulkan pro dan kontra
dikalangan rakyat Aceh sejak tempo dulu sampai dengan sekarang dan
selalu menjadi topik sejarah yang menarik untuk dibicarakan. Sekali
lagi, Umar membuat pertanyaan kepada kita, mengapa?
Dengan kata lain, Umar ingin menunjukkan bahwa sebenarnya secara
kualitas pasukan Aceh diwilayah Meulaboh tidak kalah hebatnya dengan
pasukan Belanda. Bilapun ada makna lain, bisa jadi Umar ingin mengatakan
bahwa pasukan Belanda tidak akan mampu berperang dengan Aceh apabila
alat persenjataan dan logistik perang lainnya persis sama dengan yang
dimiliki pasukan Aceh pada saat itu. Terbukti, pada pertempuran di
Meulaboh yang lagi memanas, Belanda dibuat kewalahan oleh pasukan Aceh
atas sengitnya perlawanan yang diberikan. Akibatnya, Belanda kerap
menggantikan pimpinan perang.
Umar memang seperti itu. Dia punya pola pemikiran yang agak liat dan
biasanya berbeda dengan persepsi orang kebanyakan. Yang diucapkannya
memang tidak salah, dia hanya sedikit menggeser sudut pandangannya saja.
Inilah yang kemudian membuat Umar memecah opini banyak orang. Teuku
Umar yang sejak semula sangat menentang kehadiran Belanda di Meulaboh,
kemudian malah berpihak kepadanya dan pada akhirnya kembali kepangkuan
Aceh.
Tentang Teuku Umar, tidak sedikit yang mengagung-agungkannya karena
kejeniusannya berolah kata, meracik taktik perang dan sebagai simbol
pemimpin rakyat Aceh di Meulaboh tidak dapat diragukan lagi. Namun,
tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai pengkhianat, penjahat,
picik, dan sebagainya. Bahkan Belanda sendiripun memecat Umar yang saat
itu menjadi orang Eropa, lalu mencabut gelar Johan Pahlawan yang
disandangkannya kepada Umar. Dengan memecah opini terhadap dirinya, Umar
telah sukses memanipulasi banyak orang. Ini membuat gerak-gerik Umar
dan taktik perang yang akan dia terapkan di medan area terkadang sulit
untuk dibaca.
Salah satu yang menarik dari taktik perangnya adalah Umar tidak hanya
mempersiapkan pasukannya dengan taktik defensif dan ofensif, tetapi juga
membakar mental para pasukannya dengan ucapan yang menggairahkan. Umar
menggambarkan Belanda sebagai kaphe, lalu melanjutkan dengan ucapan
“Udep Share Matee Syahid.” Dengan jenial, Umar menggunakan kondisi itu
untuk membakar semangat pasukannya agar berperang mati-matian dengan
pasukan Belanda yang dilengkapi dengan senjata modern. Surga pun telah
menanti.
Di medan perang, taktik Umar pun terkadang bisa sama sulitnya untuk
ditebak. Memang, taktik milik Umar tidak hanya berpatok penyerangan
terhadap Belanda. Sebagai seorang yang piawai dalam mikro-taktik perang,
setidaknya Umar telah membagi dua pasukan Aceh. Satu pasukan Aceh
ditempatkan dihutan untuk terus bergerilya, dan satu pasukan lagi tetap
berada diperkampungan agar terus memberikan perlawanan terhadap Belanda.
Setiap pasukan Aceh dibawah pimpinannya yang berada di meran area
biasanya sudah mempunyai roel (tugas dan peran) masing-masing. Dan
biasanya role tersebut diberikan dengan amat detil. Bukankah Umar tidak
mengandung filosofi ajeg bagaimana sebuah pasukan Aceh harus bertahan.
Teuku Umar tahu bahwa pasukan Belanda akan melakukan taktik bumi
hanguskan, man-marking terhadap pasukan Aceh secara habis-habisan, dan
dia tidak salah. Pasukan Belanda telah di intruksikan untuk penjagaan
ketat, mendirikan pos-pos militer, dan melancarkan serangan yang membabi
buta. Namun, bukannya pasukan Aceh yang terpedaya, malah pasukan
Belanda mengalami frustasi atas sengitnya perlawanan dari pasukan Aceh.
Taktik berpindahnya Teuku Umar ke pihak Belanda masih menjadi misteri
mengapa Umar melakukan hal tersebut. Salah satu argumen yang populer
menyebut, Umar tidak puas dengan persenjataan yang dimiliki pasukan
Aceh. Mengingat ketika itu alat perang pasukan Belanda jauh lebih
canggih daripada pasukan Aceh. Teuku Umar seolah-olah mengatakan kepada
pasukannya bahwa ia tidak punya pilihan lain dan harus menjadi orang
Eropa. Untuk pasukan Aceh, Umar seolah mengatakan, “kalau saya
bergabung, sudah pasti saya akan merebut senjata Belanda dan akan
kembali berperang bersama kalian melawan kaphe-kaphe Belanda.”
Di satu sisi, pembelokkan yang dilakukan Umar seperti sebuah keuntungan
besar bagi Belanda untuk memudahkan misi-misi mereka di Aceh. Namun,
jangan lupa, Belanda akan menghadapi Umar dengan pasukan Aceh. Jika
saja, suatu hari itu 11 Februari 1899 tidak terjadi apa-apa, siapa tahu,
Umar yang memiliki segundang misteri itu, punya rencana berikutnya dan
manipulasi-manipulasi Umar yang tersembunyi. Selamat jalan Teuku Umar
Johan Pahlawan, 11 Februari 1899 – 11 Februari 2015, perjuangan mu tetap
kami kenang.
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan
Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh, angkatan 2011, dan Menjabat Sebagai Ketua Umum Ikatan
Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI) Koordinator Wilayah
VIII Aceh dan Sumatera Utara Periode 2014-2016
Sumber: http://www.atjehcyber.net/2015/02/namaku-teuku-umar.html
0 Komentar