“Takdir,
Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855” Karya
Peter Carey)
Oleh: Ali
Thaufan DS
Bagi pegiat
sejarah Indonesia, nama Diponegoro mungkin sangat akrab bagi mereka. Ia seorang
pahlawan yang berupaya mengusir kompeni pada 1825-1830, kemudian dikenal dengan
Perang Jawa. Tak pelak, namanya pun menjadi saksi keabadian perjuangannya.
Nama jalan hingga nama sebuah
universitas terkemuka menggunakan nama Diponegoro. Tulisan ini hadir dari
sebuah pembacaan buku karya “orang bule” yang mengulas riwayat hidup Pangeran
Diponegoro.
“Takdir,
Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855” karya Peter Carey yang merupakan
rangkuman buku sebelumnya “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785-1855”, segaja diterbitkan oleh Carey atas permintaan salah
satu penerbit untuk mengulas sisi kehidupan pribadi ketimbang dinamika
sosial-politik Sang Pangerang. Namun demikian, Carey tampaknya sulit melepas
aspek-aspek sosial-politik Diponegoro dalam karya yang berjudul “Takdir…”.
Tentu
apresiasi patut disampaikan kepada Carey atas karyanya ini. Ia telah
mengabdikan diri selama 30 tahun lamanya guna meneliti riwayat hidup
Diponegoro. Sebetulnya ada banyak catatan dan interpretasi penulis setelah
membaca karya Carey ini. Tetapi, satu hal yang bagi penulis cukup menarik adalah: upaya tegaknya
hukum Islam di Jawa. Hal ini dikarenakan menjadi salah satu memotivasi
Diponegoro dalam Perang Jawa.
Diponegoro
sebagai seorang keturunan “ningrat” ternyata lebih suka meninggalkan Keraton untuk
kemudian tinggal di Tegalrejo dan membangun “peradaban” disana. Pada masa
kecilnya saat “jabang bayi” telah diramalkan oleh Sultan Mangkubumi sebagai
manusia yang akan merepotkan Belanda. Masa kecil Diponegoro dibawah asuhan
neneknya, Ratu Ageng. Ia, adalah keturunan Kiai Ageng Derpoyudo, seorang yang
banyak menguasai ilmu agama. Diponegoro dibesarkan dilingkungan santri. Ia
banyak belajar “ngaji” kepada beberapa
guru, salah satunya Kiai Taptojani asal Sumatera. Selama nyantri, Pangeran
benar-benar serius mengkaji Islam. Selain belajar al-Qur’an dan Hadis, ia juga
mempelajari tentang tasawuf dan fiqh, seperti: Kitab Tuhfah (tentang ajaran
sufisme), Sirat al-Salatîn, Tâj al-Salatîn, Taqrîb, Lubâb al-Fiqh dan Muharrar.
Menurut Carey, Diponegoro lebih memfokuskan pada pelajaran-pelajaran tentang
fiqh. Karena kemahirannya dalam ilmu agama Islam, ia kemudian dikenal sebagai
ahli agama dan Belanda pun mengakui hal
ini. Diponegoro juga dikenal sangat gemar melakukan tapa mendekatkan diri pada hyang
widhi di Parangkusumo (di selatan Yogyakarta).
Menjelang pecahnya Perang Jawa,
dalam beberapa kali pertapaannya, ia menemukan tanda-tanda akan kehancuran Jawa
oleh Belanda. Carey menginformasikan bahwa dalam pertapaannya, Diponegoro
sering melihat penampakan- penampakan dengan Ratu Kidul dan juga Sunan
Kalijogo. Bahkan, Diponegoro sempat mendapat tawaran dari Ratu Kidul yang akan
“turun gunung” membantunya pada peperangan (Perang Jawa) kelak. Tetapi karena
keyakinannya akan Gusti Allah,
Diponegoro menolak tawaran Ratu Kidul tersebut. Selain bacaan tentang ajaran
agama Islam, Diponegoro juga gemar membaca literatur lokal Jawa. Beberapa
bacaanya antara lain: Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya dan Arjuna Wiwaha.
Kekagumannya pada tokoh pewayangan, Arjuna, telah banyak member inspirasi tersendiri
bagi Diponegoro. Bahkan dalam beberapa informasi dalam tulisan Babad
Dipanegara, ia mengandaikan dirinya sebagai seorang Arjuna. Kedatangan Herman
Willem Deandels di Batavia (1808) menjadi awal apa yang oleh Carey di sebut
sebagai “orde baru” Keraton Yogyakarta. Deandels menganggap Keraton Yogya sebagai
musuh utama. Ia kemudian merubah tatapan adat yang berlaku di lingkungan
Keraton. Sungguh hal yang teraman memprihatin kan, karena Keraton tak berdaya
akan hal ini. Deandels membuat kebijakan-kebijakan terkait sewa tanah dan
penerapan cukai yang sangat merugikan pribumi. Belum lagi tindakan-tindakan
amoral kerap dicontohkan untuk merusak mental penduduk pribumi. Hidup di bawah
tekanan Belanda tentu sangat menyakitkan bagi Diponegoro.
Di tanah
kelahirannya, ia harus dipaksa tunduk kepada Belanda. Selama era Belanda,
Inggris hingga Belanda lagi, Diponegoro banyak melihat dan merasakan derita
penduduk Jawa. Ia juga menyaksikan Keraton “diacak -acak” oleh para kompeni tersebut.
Dalam beberapa informasi di buku Carey, Diponegoro menyebut kompeni (Belanda)
sebagai kafir laknat
(orang kafir yang ternaknat). Tidak
hanya persoalan penjahahan territorial dan aneksasi semata yang membuat Diponegoro geram
kepada Belanda, tetapi juga dalam hal keagamaan. Bekal ilmu agama Islam yang
dipahami telah membawanya pada sentimen keagamaan kepada Belanda. Memerangi
Belanda yang kafir juga menjadi motivasi
Diponegoro dalam Perang Jawa. Pada saat yang sama, upaya menegakkan hukum Islam
juga tergerak akibat kondisi Keraton yang sudah mulai “kebarat- baratan”. Diponegoro
merasakan bagaimana warga lingkungan Keraton telah berubah gaya hidup khas
“londo” (sebutan bagi belanda). Kebiasaan minum anggur, mabuk dan bermain
perempuan seperti menjadi pemandangan yang mudah dilihat di Keraton. Menurutnya
hal ini telah melenceng dari tatanan adat Keraton dan terlebih dari ajaran
Islam. Carey mencatat bahwa Diponegoro pernah bersesumbar akan menghancurkan
Keraton dan membangun Keraton lain yang sesuai dengan hukum Islam. Ia ingin
menjadi ratu paneteg panatagama untuk dapat menegakkan Islam di Jawa.
Effort penegakan hukum Islam oleh Diponegoro
ternyata mendapat respon serius dari Belanda. Penjajah tidak pernah rela memberi
ruang bagi sang Pangeran dalam upaya tersebut. Saat perang Jawa sedang
berlangsung, Diponegoro menjadikan cita-cita tegaknya Islam sebagai motivasi
yang terus dialirkan pada tentaranya. Gaya pakaian perangnya yang “islami”
dengan
menggunakan jubah, terinspirasi oleh Syekh Abdul Ahmad, laki-laki asal Jeddah.
Pasca Perang Jawa dan kekuatan Diponegoro melemah, pihak Belanda ingin sekali
mengajak damai dan merundingkan tentang keinginan Diponegoro. Tetapi, satu hal
yang “haram” ditawarkan kepada Diponegoro adalah memberikan kesempatan menjadi penatagama . Hal ini diprediksi akan
memudahkan langkah Sang Pangeran untuk menegakkan Islam di Jawa, dan pasti ini merupakan hal yang dihindari
Belanda. Belanda menyadari sepenuhnya bahwa Diponegoro adalah orang yang sangat
fanatik terhadap ajaran Islam. Bahkan Belanda menganggapnya sebagai “seorang
kolot” agama karena teguh pada ajaran Islam.
Pembacaan
terhadap karya Carey ini setidaknya membuka cakrawala bahwa diskursus penegakkan hukum-hukum Negara berdasarkan
Islam telah jauh dilakukan oleh Diponegoro. Perjuangannya yang sangat keras
mengusir Belanda dan Inggris yang biadab. Selain itu, bekal ilmu keislamannya yang ingin ia
terapkan menjadi landasan hukum negara. Sangat mungkin bahwa cita-cita
Diponegoro kemudian dilanjutkan generasi berikutnya untuk pendirian Negara Islam.
0 Komentar