Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tahun ini saya berkesempatan mengunjungi kembali beberapa
negara Eropah. Banyak fakta yang menarik untuk dibagi bersama. Diantara
yang menarik adalah ketika saya berkunjung ke Inggeris, Maret 2010. Di
Nottingham saya dapat cerita bahwa sebuah penelitian di Universitas Nottingham
menemukan korelasi bahwa semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius
dan sebaliknya semakin sekuler dan bahkan atheist ia semakin cerdas. Saya tidak
baca hasil riset itu. Tapi setahu saya, menurut hasil riset W.Cantwell Smith
definisi religion di Barat itu masalah, dan otomatis arti “religiusitas” pun
begitu. Makna cerdas pun juga masalah. Sebab kini berkembang istilah kecerdasan
spiritual. Jadi desain penelitian tersebut nampaknya perlu dipersoalkan.
Benarkah masyarakat Barat sekuler sekarang ini cerdas. Perlu
dikaji lebih lanjut. Jika maksudnya adalah kecerdasan intelektual itupun masih
perlu ujian lebih mendalam. Sebab kecerdasan itu bukan karena pandangan hidup
sekulernya, mungkin faktor lain. Jika maksudnya adalah kecerdasan spiritual,
jelas sekali tidak benar.
Buktinya di Manchester, sinagog yang telah menjadi Museum, dan
gereja yang telah menjadi Masjid. Di Birmingham, masjid Mu’az adalah bekas
gereja dan seminari. Beberapa gereja di daerah Aston, Birmingham sudah menjadi
sarang burung dara. Jumlah jemaat gereja kalah banyak dibanding “jama’ah” yang
antri masuk bar. Gereja sudah tidak lagi dikunjungi banyak orang. Di sana
tidak ke gereja berarti tidak religius lagi. Mungkin karena sudah putus asa, di
Manchester terdapat nama gereja “A Church for those who don’t like to go to
church”. Itulah arti pernyataan “spirituality has gone to the
east”. Persis seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas
Birmingham Barat itu maju tanpa agama. Artinya semakin sekuler, semakin rendah
spiritualitasnya. Mungkin itu sebabnya mengapa di Barat training kecerdasan
spiritual menjamur. Jadi riset diatas tidak reliable. Apalagi menurut Islam
spiritualitas dan intelektualitas itu hampir tidak beda.
Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala
masalah. Ternyata tidak. Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di
Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropah yang anti agama,
pemerintahnya mulai mengurusi agama. Di Inggeris pemerintah terpaksa
membolehkan Muslim buka mahkamah syariah. Kini di Amerika malah muncul idea
de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat privat. Harvey
Cox, yang pernah menjual idea sekularisasi agama-agama, akhirnya mengoreksi
idenya itu. Ia lalu menulis makalah berjudul Reconsidering Secularism. Barat
kini seperti dalam kebingungan.
Menjadi sekuler ternyata juga tidak membuat orang bijak berstari.
Bulan lalu saya menyampaikan public lecture di Universitas Wienna, Austria.
Temanya tentang moderasi dan toleransi. Seorang peserta bertanya, mengapa di
Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropah tidak. Jawab
saya, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga tidak toleran
pada agama. Di Indonesia agama bisa muncul di ruang publik. Ceramah agama-agama
bisa muncul di TV. Tabligh akbar, Natalan atau peringatan hari keagamaan bisa
diadakan diruang publik. Sesuatu yang mustahil terjadi di Barat. Ini bukti lain
bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah
bisa berarti ekslusif.
Tapi anehnya, yang kini dituduh ekslusif adalah sikap
keberagamaan. Itupun berdasarkan analisa abad ke 16 dan 17, disaat mana
sekte-sekte agama di Eropah waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau
agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling
menyalahkan. Konflik bermuara pada pembunuhan. Andrew Sullivan di The New York
Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang
agama Eropah abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak
dibanding di dunia Islam.
Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.
Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu.
Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik
politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan.
Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik. Tidak puas dengan
sample peristiwa Jack Nelson-Pallmeyer, merujuk kepada kitab suci. Ia lalu
menulis buku “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the
Qur’an”. Intinya, kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.
Tapi konflik antar agama bukan satu-satunya alasan. Konflik yang
sebenarnya justru antara agama dan sekularisme. Peter Berger terus terang,
sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap ekslusif itu diganti
menjadi sikap inklusif dan pluralis. Secara teologis agama yang banyak itu,
oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu
diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick.
Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.
Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu
tertulis, “all race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera
menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan
saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang
pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed
itu. Ternyata bagi dia itu benar.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di
Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya
seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu simbul pluralisme dan kesamaan
Tuhan agama-agama.
Di Universitas Salzburg, setelah kuliah umum saya sempat diskusi dengan dosen systematic theology Professor Hans Joachim Sander. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika. Bahkan dia terus terang “liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Lucunya, menindas agama tapi masih mencari jalan spiritualitas. Artinya menjadi sekuler atau liberal bukan pilihan cerdas tapi membingungkan diri sendiri dan orang lain. Begitulah nestapa masyarakat yang telah kehilangan misykat. Wallahu a’lam.
0 Komentar