Meski kondisi melarat,
tidak punya banyak harta benda, tetapi yang namanya izzah harus tetap dijunjung
di mana pun berada
SETIAP muslim seharusnya memiliki “izzah”
(kehormatan atau harga diri). Di dalam Al-Qur`an disebutkan, “izzah adalah
kepunyaan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman,” (QS. Al-Munafiqun [63]: 8)
Lalu, apa yang dimaksud dengan “izzah”?
Merujuk pada bahasa
Arab, kata “izzah” mengandung beberapa makna, yaitu: kuat, keras,
menang, tinggi, menahan diri dan unik atau langka (Murtadha, Tâj
al-‘Arûs, XV/219).
Di dalam bahasa
Indonesia pun, rupanya kata ini sudah masuk idiom KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Dalam kamus tersebut, ‘izzah’ ditulis ‘izah’ yang bermakna:
kehormatan, harga diri dan kekuasaan. Arti ini tentu tidak menyimpang dari
bahasa asalnya.
“Keterhormatan,”
tulisnya, “adalah tuntutan akan kelayakan. Sumbernya adalah rasa percaya diri
akan diri sendiri, namun kemudian diperkuat oleh dorongan instinsik, atau
naluri kepahlawanan yang membuatnya selalu ingin melakukan perbuatan-perbuatan
terhormat,” kata Anis Matta dalam bukunya yang berjudul “Mencari Pahlawan
Indonesia” (2004 : 74)
Sosok Haji Agus Salim
merupakan figur yang kaya akan keteladanan terkait menjaga kehormatan
diri. Bagi yang menulusiri kehidupannya –baik sebelum dan sesudah kemerdekaan
Indonesia – figur yang dijuluki Presiden Soekarno dengan subutan “The Grand
Old Man” maka tak susah menemukan contohnya.
Sebelum Indonesia
merdeka, sosok yang selama hidupnya dikenal melarat ini datang menemui salah
satu temannya di salah satu kantor milik orang Belanda. Pada waktu itu, Salim
diejek olehnya, “Tjoba kalau kau mau bekerdja sama Belanda, tentu kau tidak
seperti sekarang, tak punja apa-apa.”
Tak lama setelah itu,
tiba-tiba Cobee – salah seorang adviesur Belanda—datang lalu menyalami Agus
Salim dan memberi hormat kepadanya. Setelah kejadian itu, dengan penuh izzah,
sang diplomat jenaka ini berkata kepada teman yang mengejeknya tadi, “Tjoba
kala saja bekerja sama Belanda, tentu seperti kau. Melihat madjikanmu datang,
engkau merasa ketakutan. Akan tetapi meskipun saja tidak bekerdja, namun dia
hormat kepada saja.” (Solichin Salam, 1964: 204)
Di sini terlihat
bagaimana izzah seorang Agus Salim. Ia ingin menunjukkan
kepada temannya, meski tidak begitu punya harta, asal punya izzah hidup
akan menjadi lebih terhormat dan mulia. Dibanding hidup berkecupan dan
bergelimang harta, tapi menjadi hina di bawah kuasa penjajah.
Pasca kemerdekaan,
tepatnya 3 Juni 1953, Presiden Soekarno mengutus Agus Salim bersama Sri Paku
Alam dan Duta Besar Indonesia ke Inggris dalam acara penobatan Ratu Elizabeth
II. Dalam acara itu Salim menghisap rokok kreteknya. Ketika berhadapan dengan
Pangeran Duke of Edinburg – suami Ratu Elizabet – rupanya bau rokok mengganggu
penciumannya dan disebutnya sebagai bau busuk.
Bukan Agus Salim kalau
tidak mampu menjawab ejekan ini. Bukan terutama masalah rokok yang menjadi masalah,
tapi masalah “izzah” (kehormatan dan harga diri). Ia menjawab dengan
bahasa Inggris fasih yang artinya demikian, “Paduka boleh tidak menjukai bau
ini sekarang, Jang Mulia. Akan tetapi djustru bau inilah dahulu yang menarik
bangsa Eropa pergi ke negeri saja.”
Sebagaimana jamak
diketahui, para penjajah dahulu salah satu yang diburu di nusantara adalah
rempah-rempah, termasuk tembakau. Dengan logika tajam ini seolah Salim ingin
membalik omongan suami Ratu Inggris itu bahwa barang yang direndahkannya ini
adalah barang berharga yang datang dari Indonesia. Kalau tidak berharga, buat
apa negara-negara Eropa –yang dulu sebagai penjajah Indonesia—sampai
mencarinya.
Jawaban telak ini
menunjukkan kaliber izzah Agus Salim. Sebagai Muslim,
negarawan dan bapak bangsa, dirinya tidak mau dihina harga diri dan
kehormatannya. Meski kondisi melarat, tidak punya banyak harta benda, tetapi
yang namanya izzah harus tetap dijunjung di mana pun berada.
Demikianlah sekelumit cerita menjaga kehormatan diri yang bisa diteladai dari
sosok Agus Salim.
Apa yang dilakukan
oleh beliau persis seperti pepatah berikut: “Pantang kutu dicukur, pantang
manusia dihinakan.” Artinya, tiap orang tak mau dihina, karena mempunyai harga
diri atau gengsi. (Heroe Kasida Brataatmadja, Kamus 2000 Pribahasa
Indonesia, 118).*/Mahmud Budi Setiawan
Rep: Admin Hidcom
0 Komentar