Kebesaran Kyai Dahlan
tidaklah terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan
terletak pada kebesaran jiwanya, kebesaran pribadinya
oleh: Dr Adian
Husaini
Sepanjang hidupnya,
Mohammad Natsir bergelut dengan perjuangan membangun jiwa bangsa melalui bidang
pendidikan dan dakwah. Ketika Orde Baru tidak bersedia merehabilitasi Partai
Islam Masyumi – bahkan kemudian menindas tokoh-tokohnya, termasuk Mohammad
Natsir – maka Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tahun
1967. Natsir sangat serius dalam membina para cendekiawan muslim dan
menghidupkan gerakan dakwah di kampus, pesantren, dan masyarakat. Bersama
tokoh-tokoh Nasional, seperti Bung Hatta, Natsir memelopori pendirian
sejumlah universitas Islam.
Perjuangan tidak
pernah berhenti. Hingga wafatnya, tahun 1993, Natsir terus berpikir dan
berjuang untuk kebaikan umat dan bangsa Indonesia. Meskipun secara formal hanya
menempuh pendidikan setingkat SMA (AMS), Natsir dikenal sebagai sosok pecinta
ilmu dan pegiat pendidikan. Kepeduliannya terhadap kondisi jiwa bangsa begitu
besar. Kepada Amien Rais dan kawan-kawan yang mewawancarainya di akhir-akhir
kehidupannya, Mohammad Natsir menyatakan: ”Salah satu penyakit bangsa
Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai
dunia.”
Lebih jauh, Mohammad
Natsir menyatakan: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu
merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan
pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat).
Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat
perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini
dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami
kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya
akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku Percakapan
Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, terbitan DDII dan
Labda Budi Mulia Yogyakarta).
*****
Tokoh ketiga yang
perlu kita teladani adab perjuangannya adalah KH Ahmad Dahlan. Sekelumit kisah
Kyai Dahlan berikut ini perlu kita simak. Dalam pidatonya, saat pembukaan
Muktamar Muhammadiyah di Jakarta, 25 November 1962, di Jakarta, Bung Karno
menyatakan:
“Tatkala umur 15
tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil (mengikuti.
Pen.) kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun 46
saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah; tahun ’62 ini saya
berkata, moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhaanahu wa-Ta’ala,
dan jikalau saya meninggal supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah
atas kain kafan saya.”
Dalam pidatonya itu,
Bung Karno mengaku kagum dengan Kyai Ahmad Dahlan sejak usia muda,
tatkala masih berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto. Karena terpesona dengan
ceramah-ceramah Kyai Dahlan, maka Soekarno muda berkali-kali mengikuti tabligh
Kyai Dahlan. “… saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama kali berjumpa
dan terpukau – dalam arti yang baik – oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan,” kata
Presiden Soekarno. Karena itu, lanjut Bung Karno, “saya ngintil – ngintil
artinya mengikuti – Kyai Ahmad Dahlan itu.”
Itulah Kyai Dahlan
yang membuat Soekarno muda terpukau dan ‘ngintil’ kemana saja Kyai Dahlan
berceramah. Seperti apakah pribadi Kyai Dahlan yang mempesona itu? Solichin
Salam, dalam bukunya, K.H. Ahmad Dahlan, Reformer Islam Indonesia (1963),
mencatat pribadi Kyai Dahlan sebagai berikut: “Kebesaran Kyai Dahlan tidaklah
terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan terletak
pada kebesaran jiwanya, kebesaran pribadinya. Dengan bermodalkan kebesaran
jiwanya dan disertai keichlasan dalam berjuang dan berkorban inilah yang menyebabkan
segala gerak-langkahnya, amal usaha dan perjuangannya senantiasa berhasil.”
Selanjutnya dikatakan,
“Pribadi manusia Ahmad Dahlan ialah pribadi manusia yang sepi ing pamrih, tapi
rame ing gawe. Manusia yang ikhlas, manusia yang jernih, jauh dari rasa dendam
dan dengki. Kyai Ahmad Dahlan adalah manusia yang telah matang jiwanya,
karenanya beliau dapat tenang dalam hidupnya.”
Semangat perjuangan
dan pengorbanan Kyai Dahlan sungguh luar biasa. Satu kisah, saat Kyai
Dahlan jatuh sakit, seorang dokter Belanda menasehatinya untuk beristirahat.
Kata si Dokter: “Saya mengetahui apa yang menjadi cita-cita Tuan, dan sebagai
seorang dokter, saya pun mengetahui penyakit yang kyai derita. Penyakit kyai
ini tidak memerlukan tetirah keluar kota, tetapi cukup di rumah saja. Sakit
kyai ini hanya memerlukan mengaso, lain tidak.”
Tetapi, Kyai Dahlan
tidak memperhatikan nasehat dokter tersebut. Ia terus berkeliling daerah,
bertabligh, tanpa peduli kesehatannya. Tahun 1922, menjelang wafatnya, ia pergi
17 kali meninggalkan Yogyakarta untuk berbagai kegiatan dakwah. Jiwa yang
bersih dan kuat itulah yang terus dipancarkan oleh seorang Kyai Dahlan kepada
seluruh warga Muhammadiyah, bahkan seluruh bangsa Indonesia.
Semoga kita bisa
mengambil pelajaran berharga dari adab perjuangan tiga tokoh yang luar bisa
tersebut. Amin. (Selat Sunda, 1 Juli 2018).*
Catatan Akhir Pekan
[CAP] Kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Rep: Admin Hidcom
0 Komentar