Sejarah awal dan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari hubungan kawasan ini dengan dunia luar, seperti Arab, Persia, India, dan Cina. Asia Tenggara adalah melting pot, tempat pertemuan berbagai kebudayaan.
Jalur Sutra yang melewati kawasan ini membuat arus perniagaan berkembang pesat. Catatan menunjukkan, masyarakat Asia Tenggara telah menjalin hubungan dengan Saudi Arabia, jauh sebelum kedatangan Islam.
Thomas W Arnold dalam The Preaching of Islam, A History of the Propagation of the Muslim Faith memperkirakan Islam telah dibawa oleh pedagang Arab pada awal abad pertama Hijriyah.
Ada banyak referensi yang mencatat hubungan dagang antara Timur dan dunia Arab telah berlangsung intensif sejak abad-abad pertama Masehi. Proses penyebaran dilakukan lewat jalur perdagangan, perkawinan, politik, dan sufisme. Kendati demikian, pendapat itu tidak final.
Terdapat perdebatan mengenai kapan dan siapa yang membawa Islam ke kawasan ini. Perdebatan tersebut melibatkan para sarjana dari dalam dan luar negeri, seperti Snouck Hurgronje, Syed Naquib al-Attas, A Hasjmy, Azyumardi Azra, Hamka, Uka Tjandrasasmita, dan sebagainya.
Salah satu teori mengatakan Islam dibawa oleh utusan Syarif Makkah dari Arab pada abad ke-7 M, sementara teori lain menyebut Islam dibawa oleh para pedagang dari India, Gujarat, Persia, atau Cina. Dapat dipahami bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara bersifat gradual dan bisa jadi tidak dilakukan oleh satu aktor tunggal.
Selat Malaka merupakan pintu masuk kapal-kapal dari berbagai negara. Dari Selat Malaka dan pesisir Sumatra, Islam mulai berkembang di Asia Tenggara. Jalur perdagangan membawa para saudagar Muslim ke Semenanjung Melayu, Johor, Perlak, Cirebon, Gresik, dan Kalimantan Barat.
Pada waktu berikutnya, pedagang masuk ke Indonesia Timur, seperti Maluku, Ternate, dan Tidore. Seperti dicatat Syed M Naquib al-Attas dalam Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu mengatakan, proses masuknya Islam ke Melayu-Nusantara berlangsung damai (penetration pacifique).
Dijelaskan Taufik Abdullah (ed.) dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang dari Arab sampai Cina melalui Selat Malaka juga melewati Bandar Seri Bengawan, Brunei Darussalam.
Menurut Selasilah atau Tersilah Brunei, raja pertama Brunei yang memeluk Islam adalah Alang Betatar dengan gelar Sultan Muhammad pada awal abad ke-15. Islam telah ditemukan di kawasan ini sejak abad ke-11. Etnis Muslim Cham yang kemudian tersebar di Vietnam, Kamboja, dan Thailand telah mendapat pengaruh Islam sebelum abad ke-15 M.
Jalur perdagangan yang menghubungkan Samudra Pasai, Malaka, dan Brunei juga tidak terpisahkan dari Filipina Selatan. Menurut Hikayat Sulu, mubaligh yang pertama kali datang ke wilayah ini adalah Syekh Karim Makhdum. Ia tiba di Kepulauan Sulu dan Jolo pada 1380 M.
Setelah itu, banyak pedagang dan ulama yang mengikuti jejak Syeikh Makhdum. Mereka berdiam di sana dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat. Filipina juga pernah menjadi bagian dari Kesultanan Brunei pada abad ke-15. Islam di tempat ini semakin kuat berkat kedatangan pedagang Muslim dari Jolo, Mindanao, Malaysia, dan Indonesia.
Gelombang penyebaran Islam semakin mantap pada abad ke-12 M. Menurut Azra, Islamisasi massal terjadi pada abad tersebut ketika para guru sufi datang memperkenalkan Islam kepada masyarakat lokal. Khususnya, sejak abad ke-13, Abbasiyah goncang akibat serangan Mongol.
Banyak guru tasawuf menumpang kapal dagang Muslim dari Timur Tengah. Praktik tasawuf ini diperkuat dengan kelompok-kelompok tarekat, seperti Syattariyah, Qadariyah, Naksyabandiyah, Khalwatiah, dan Kubrawiah. Kenyataan ini secara umum memengaruhi corak Islam setempat. Islam yang berkembang adalah Islam yang bersifat akomodatif (kalau tidak dikatakan sinkretik).
Secara umum, tasawuf lebih mudah diterima sebab ajaran ini dalam beberapa segi mampu menjembatani latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal. Meski Islam tahap ini sangat diwarnai aspek tasawuf, itu tidak berarti aspek syariah diabaikan sama sekali.
Hal itu terlihat dari sikap para ulama, seperti Nuruddin ar-Raniri dan ketegasan Wali Songo dengan Syekh Siti Jenar yang menganut wahdatul wujud. Kecenderungan ke arah ortodoksi berangsur-angsur semakin kuat mulai abad ke-17.
Proses Islamisasi yang semakin masif juga tidak terlepas dari peran kesultanan. Proses Islamisasi itu bermula ketika raja setempat masuk Islam kemudian diikuti dominasi peranan kerajaan di tengah komunitas Muslim. Kerajaan tidak hanya berfungsi sebagai institusi politik, tetapi juga pembentukan institusi Muslim yang lain, seperti pendidikan dan peradilan.
Kesultanan juga menjadi patron bagi perkembangan intelektualitas dan kebudayaan Islam. Berdasarkan bukti arkeologis, Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Melayu-Nusantara. Kemudian, muncul Kesultanan Malaka, Aceh, Palembang, Riau, Tumasik, Perlak, Johor, Demak, Cirebon, Banten, Goa Tallo, Ternate Tidore, Banjar, dan Bima. Terdapat pula Kesultanan Sulu, Lanao, dan Maguindanao di Filipina, serta Kesultanan Brunei di Brunei Darussalam
Sumber: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/11/07/phti28313-menelusuri-jejak-islam-di-asia-tenggara
0 Komentar