Kopi merupakan sajian yang amat terkenal di dunia saat ini. Minuman tersebut dibuat dari olahan biji kopi, yang beragam jenis dan klasifikasinya. Biasanya, orang-orang menambahkan gula atau pemanis lainnya sebelum mengonsumsi minuman tersebut.
Bangsa Etiopia yang menghuni Afrika timur merupakan yang pertama mengolah biji kopi menjadi minuman pada sekira abad kesembilan Masehi. Rachel Laudan dalam Cuisine and Empire: Cooking in World History (2013) menjelaskan, kemasyuhuran minuman kopi kemudian menyebar ke Jazirah Arab. Pada abad ke-15 M, tradisi meminum kopi sudah jamak ditemui di Makkah.
Laudan mengungkapkan, tradisi meminum kopi pada masa keemasan Islam identik dengan kelompok-kelompok sufi. Salah seorang salik yang terkenal dalam hal ini adalah Muhammad ibn Sa'id al-Dhabhani (wafat 1470).
Dia memanfaatkan rebusan biji kopi sebagai pengganti air seduhan daun al-ghat, yang bermanfaat untuk menstimulus mata para sufi. Sebagai Muslimin, mereka hendak membiasakan diri mendirikan shalat malam. Karena itu, mereka ingin tetap terjaga hingga masuk waktu subuh.
Sosok lainnya yang turut memopulerkan kopi adalah Jamaluddin, seorang tokoh agama di Aden, Yaman. Dia disebut-sebut sebagai yang pertama kali menyemarakkan tradisi meminum kopi kepada penduduk setempat. Konon, salik tersebut mengenal kopi tanpa sengaja.
Sebelumnya, sufi itu hanya ikut-ikutan pengelana lain atau serombongan kafilah dagang yang sedang membersamainya berangkat ke Persia. Ia melihat beberapa pengelana meminum air rebusan biji kopi. Efek minum kopi baginya membuat tubuh segar, meringankan sakit kepala, dan mencegah kantuk.
Jamaluddin pun menganjurkan para muridnya untuk meminum seduhan biji kopi, alih-alih air rebusan daun al-ghat untuk membuat mereka terjaga sepanjang malam. Tersebarnya kopi di seluruh Asia dan, pada akhirnya, dunia terjadi antara lain berkat gerakan dakwah yang dilakukan kaum sufi.
Mereka, lanjut Laudan, gemar mengadakan majelis-majelis, baik di rumah-rumah warga maupun tempat umum. Di sanalah mereka berkumpul, menuntut ilmu, serta menyimak petuah-petuah penuh hikmah.
Sebagai informasi, biji kopi pada awalnya dikonsumsi dengan cara diisap atau diemut di dalam mulut. Cara menikmatinya tidak berbeda dari kacang biasa. Demikianlah masyarakat tradisional Etiopia melakukannya. Kopi juga kerap dicampurkan pada makanan kelompok prajurit suku-suku Etiopia pada zaman silam untuk memperkuat stamina.
Tanaman kopi mulai dipelihara bangsa Arab di Yaman kira-kira pada permulaan abad keenam Masehi. Tepatnya, setelah wilayah itu menjadi bagian dari Kerajaan Abbesinea (Habasyah).
Setelah biji kopi mulai dikenal khasiatnya, masyarakat Arab memakai cara yang berbeda untuk mengonsumsinya. Mereka menumbuk biji kopi terlebih dahulu. Lantas, hasilnya digiling dan akhirnya diseduh dengan air panas sehingga siap untuk disajikan.
Seiring dengan semakin gemilangnya peradaban Islam pada masa antara abad ke-13 dan 15 M, tradisi mengonsumsi seduhan kopi pun kian dikenal luas. Pada abad ke-16 M, mulai marak bermunculan kedai-kedai kopi.
Laudan menerangkan, fakta itu dapat dianggap sebagai masa transisi. Dari keadaan sebelumnya, yakni meminum kopi sebagai bagian dari aktivitas sufistik menjadi rutinitas harian. Nasib kopi mengikuti jejak teh, yang marak dikonsumsi di Negeri Cina pada tahun-tahun sebelumnya.
Bagaimanapun, pembicaraan ilmiah tentang khasiat kopi sudah ada terlebih dahulu. Pada abad ke-10 M, ilmuwan genius Ibnu Sina membahas efek kopi dalam perspektif medis melalui karyanya, Al-Qanun fi al-Tibb. Ahli kedokteran yang wafat pada 1037 itu menerangkan bahwa kopi berasal dari Yaman dan sudah banyak ditanam di pelbagai daerah Arab lainnya.
Lebih lanjut, Ibnu Sina juga mengklasifikasi jenis-jenis kopi. Menurutnya, kopi yang baik dan unggul mesti berwarna kuning dan berbobot ringan. Adapun kopi berwarna putih dan cenderung berat adalah yang buruk.
Aroma kopi juga dinilainya (Ibnu Sina) menstimulus kesehatan tubuh dan pikiran.
Ia menyebut beberapa manfaat meminum air rebusan kopi, semisal dapat mempertahankan kesehatan tubuh, membuat kulit menjadi bersih, dan mengurangi kelembapan kulit. Aroma kopi juga dinilainya menstimulus kesehatan tubuh dan pikiran.
Selain kelompok sufi, para jamaah haji juga berjasa dalam memopulerkan kopi ke seluruh dunia. Abdul Qadir al-Jaziri, yang menulis Umdat Al-Safwa pada 1587, menceritakan penyebaran kopi di dunia Islam. Katanya, kopi sampai di Makkah pada abad ke-15 M.
Kedai-kedai kopi marak bermunculan di kota yang selalu ramai tiap musim haji. Pengunjungnya tidak hanya dari kalangan warga setempat, tetapi para jamaah haji dari berbagai negeri. Mereka mencicipi kopi dan terkesan akan rasa minuman tersebut.
Abdul Qadir juga menuliskan ihwal persiapan, penggunaan, kebaikan, dan manfaat dari meminum kopi. Dikatakannya pula, setelah kopi mencapai Makkah dan Madinah, para jamaah haji dan para pedagang menyebarkannya ke wilayah Islam lainnya.
Hanya saja, keberadaan kedai-kedai mulai mengundang kecurigaan rezim penguasa. Ada tuduhan bahwa kedai berperan sebagai titik temu kelompok-kelompok yang ingin merongrong stabilitas dan pemerintah. Karenanya, cukup banyak kedai yang dipaksa tutup, termasuk kasus pada 1511 M.
Benih-benih dari apa yang kini marak disebut sebagai parisian café sudah tampak pada zaman keemasan Islam. Abdul Qadir dalam karyanya tersebut menyuarakan arti penting kedai-kedai kopi sebagai tempat pertemuan publik.
Di dalamnya, orang-orang dapat bertemu, mengobrol, bertukar pikiran, atau bahkan mengadakan diskusi tentang suatu persoalan publik. Tidak mengherankan bila kedai-kedai kopi pada masa itu banyak menjadi magnet bagi kaum Muslim dari kalangan cendekiawan dan penulis.
Kopi menjadi minuman yang terkenal hampir di seluruh negeri Arab yang dikuasai Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Sebut saja, Mesir, Suriah, dan Irak. Masuknya kopi ke negeri delta Sungai Nil melalui tangan seorang mahasiswa asal Yaman yang belajar di Universitas al-Azhar pada abad ke-16 M.
Dia membawa bahan minuman itu untuk membantu meningkatkan stamina saat berzikir dan belajar tiap malam. Di Turki sendiri, kedai kopi yang pertama didirikan bernama Kiva Han, berlokasi di Istanbul pada 1475. Sejak abad ke-17 M, popularitas kopi mulai menjamah Eropa, melalui kota-kota semisal Venice, Marseilles, Amsterdam, London dan Wina.
Sumber: https://www.republika.id/posts/49795/peradaban-islam-populerkan-kopi
0 Komentar