Kita sekarang bukan hidup pada 25 tahun lalu (sudah), kita sudah
bosan, kita sudah payah bermusuh-musuhan. Sedih kita rasakan kalau perbuatan
itu timbul daripada ulama, padahal ulama itu semestinya lebih halus budinya,
berhati-hati lakunya. Karena ulama itu sudah ditentukan menurut firman Allah:
‘Ulama itu lebih takut pada Allah.’ Karena ulama tentunya lebih paham dan lebih
mengerti kepada dosa dan bahayanya bermusuh-musuhan.”[1] – K.H. Mas Mansur.
Keluhan KH Mas Mansur, ulama sekaligus mantan Ketua Muhammadiyah
itu terbayar. Umat Islam akhirnya menempuh jalan berliku untuk bersatu, setelah
sekian lama saling berseteru. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) menjadi
satu jalan sejarah baru kala itu bagi umat Islam di Indonesia.
MIAI telah merintis jalan baru bagi umat Islam untuk menyalurkan
aspirasinya dalam satu wadah perjuangan. Benar bahwa MIAI pada kala itu belum
mencakup seluruh organisasi Islam yang ada di tanah air. Tetapi mewakili porsi
penduduk terbesar di pulau Jawa, peran MIAI tak bisa dianggap remeh. Dari
persoalan penolakan terhadap penistaan terhadap Islam, aspirasi politik umat
Islam, hingga upaya bergerak bersama dengan kelompok nasionalis sekular di
Indonesia.
Kedatangan Jepang membawa satu perubahan di tanah air. Tak dapat
dipungkiri, awalnya Jepang disambut sebagai pembebas saudara sesama Asia.
Topeng Jepang terkuak. Mereka segera mengawali pemerintahannya dengan otoriter.
Semua surat kabar dilarang terbit. Hanya beberapa saja yang dizinkan terbit
atas seizin mereka. Semua organisasi masyarakat dilarang beraktivitas. PSII dan
PII dibubarkan oleh rezim penjajah Jepang.[2]
Jepang mengawali politik mereka terhadap umat Islam dengan cara
yang tak bersahabat. K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H. Mahfuz Siddiq dipenjara
oleh pemerintah fasis Jepang. Penyebabnya karena Hadratussyaikh menolak
melakukan ritual sakeirei, yaitu penghormatan pada kaisar dengan
cara membungkukkan badan menghadap ke arah Tokyo.[3] Sikap penolakan sakeirei ini
juga ditunjukkan oleh Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka.[4]
Gelombang protes, meski mereka memahami betapa kejamnya Jepang,
tak dapat ditahan lagi. Jepang akhirnya membebaskan KH Hasyim Asy’ari kembali
ke pesantren Tebuireng. Jepang mulai mengubah kebijakan politiknya terhadap
umat Islam di Indonesia. Mereka hendak memasukkan Islam di Indonesia sebagai
bagian dari politik perangnya yang disebut Lingkaran Kesejahteraan Bersama
Asia.[5] Jepang memberikan izin pada MIAI
untuk hidup kembali. Federasi ormas Islam itu diizinkan kembali bernafas pada
13 Juli 1942.[6]
![Description: https://i2.wp.com/jejakislam.net/wp-content/uploads/2018/11/gedung-miai-_180202160939-567-750x525.jpg?resize=696%2C487](file:///C:\Users\Asus\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg)
MIAI melakukan kegiatan non politik seperti zakat yang
disebut Bait al-Mal secara besar-besaran untuk orang-orang tak
mampu. Kegiatan MIAI mulai berpengaruh hingga meleputi 35 Karesidenan di Jawa.
Menyaingi Biro Urusan Agama yang menjadi organ resmi Jepang untuk pengendalian
Islam di daerah.[7]
Wondoamiseno, Ketua MIAI yang juga tokoh Sarekat Islam
mengharapkan bahwa Bait al-Mal,“…haruslah mencapai setiap desa,
setiap kampung, sampai lembah-lembah pegunungan, dan menciptakan jiwa kesatuan…dan
menjadi benteng Islam yang kokoh….Kita akan mempergunakan (kantor-kantor
bendahara) tersebut untuk membangun pagar pelindung di sekeliling Islam di
desa-desa, terhadap mata-mata sekutu….Marilah kita semua, para pejabat
pemerintah, penghulu, ulama, kiai, membentuk suatu keluarga besar sebagaimana
diperintahkan Allah…”[8]
Di mata jepang, perkembangan Bait al-Mal ini
bergerak tanpa restu Shumubu, dan menjadi ancaman kebijakan Islam
oleh Jepang di Indonesia. Menurut Harry J. Benda, MIAI tampaknya ingin
membangun sebuah jaringan sel-sel Islam di Indonesia tanpa restu Jepang.[9] Bagi Jepang, MIAI dipimpin sebagian
tokoh PSII yang ingin melepaskan dari pengaruh Jepang. Jepang pun memandang
tokoh-tokoh PSII sebagai radikal. MIAI pernah menentang berbagai kebijakan
Belanda. Salah satunya UU Perkawinan. Jepang menganggap perasaan anti-Belanda
MIAI dapat berpotensi menjadi anti-asing (termasuk) Jepang.[10]
![Description: https://i2.wp.com/jejakislam.net/wp-content/uploads/2018/11/dewan-harian-miai.jpg?resize=378%2C251](file:///C:\Users\Asus\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
Rezim Jepang tak ingin mengambil resiko. 24 Oktober 1943, Jepang
membubarkan MIAI. Sebulan sebelumnya mereka mengizinkan Muhammadiyah dan NU
beraktivitas kembali. Meski demikian organisasi-organisasi Islam kembali
dikumpulkan dalam satu wadah bernama Madjelis Sjuro Moeslimin
Indonesia (Masyumi). Masyumi ini didirikan pada bulan November 1943.
KH Mas Mansur, seorang tokoh besar Muhammadiyah, pada bulan
Oktober 1945, berpidato berapi-api di radio kepada umat Islam mengenai Masyumi;
“Meskipun komentar saya tentang kelahiran Masyumi sangat
singkat, saya sangat berharap bahwa semua pemeluk Islam di Jawa
sepenuh-penuhnya memahami penjelasan ini…(dan) menerima organisasi kita yang
baru dengan gembira…Saya menghimbau semua orang Islam untuk membantu pemerintah
dalam semua usaha-usahanya.”[11]
Masyumi sendiri mencakup dua jenis keanggotaan; pertama organisasi
agama yang legal dimata Jepang, seperti NU, Muhammadiyah, Persatoean Oemat
Islam dari Sukabumi dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi, dan Perikatan Oemmat Islam
yang dipimpin K.H. Abdul Halim dari Majalengka. Kedua, yang juga diakui menjadi
anggota adalah kiyai dan ulama yang diberi rekomendasi oleh Kantor Biro Urusan
Agama.[12]
Tak dapat dipungkiri, Jepang berusaha memperalat umat Islam dan
para ulama untuk memobiliasi dukungan kepada jepang. Restu resmi penguasa
militer Jepang kepada Masyumi menjadi jalan mulus eksistensi Masyumi. Masyumi
berjalan meninggalkan jalan MIAI yang dikenal anti-penjajah secara frontal.
Secara aktivitas, Masyumi memang hanya mencakup pulau Jawa sebagai pusat dari
pemerintahan dan kegiatan Jepang. Jika MIAI dibatasi oleh penguasa militer
hanya sebatas kantor pusat di Jakarta, maka Masyumi menikmati keistimewaan
sebagai organisasi yang menjadi pusat ribuan guru-guru adi desa yang
dipengaruhi langsung oleh Kantor Urusan Agama.
Masyumi juga menjadi tandingan langsung para priyayi yang selama
ini pengaruhnya di dukung pemerintah (kolonial). Jepang perlahan mengalihkan
sebagian perhatiannya dari priyayi kepada Ulama dan Kiyai di Masyumi. Masyumi
diberi tempat dalam mekanisme pusat Djawa Hokokai, dengan
diangkatnya KH Hasyim Asy’ari sebagai penasehat Indonesa utama bagi Gunseikan (kepala
pemerintahan militer). Sedangkan KH Mas Mansur bersama Moh. Hatta bertanggung
jawab terhadap masalah dalam negeri umum di pusat. Harry J. Benda, peneliti
politik Islam Jepang di Indonesia menganggap, bahwa Masyumi memiliki kekuatan
yang tiada taranya dan berlangsung lama di arena politik Indonesia.[13]
Jepang sendiri berusaha meluaskan pengaruhnya ke dalam
pendidikan di Indonesia. Mereka menstandardisasikan silabus dan metode
pengajaran di dalam berbagai sekolah-sekolah Islam di luar sistem sekolah agama
bergaya Barat. Rezim Jepang juga mengadakan pelatihan-pelatihan bagi para kiyai
dan ulama. Pelatihan tersebut tentu saja berisi pula propaganda-propaganda
Jepang.[14] Namun para tokoh Islam mampu
menyiasati kebijakan semacam ini. Muhammad Natsir misalnya, di Bandung, ia yang
menjadi salah satu penyelenggaranya. Ia memanfaatkan momen ini untuk
mengajarkan ajaran Islam, melawan propaganda Jepang dan berkordinasi dengan
para tokoh-tokoh Islam.[15]
Rezim militer Jepang juga belakangan memberi kebebasan kepada
para ulama dan kiyai untuk mengadakan kegiatan-kegiatan rutin agama Islam atau
melakukan pertemuan agama yang dibuat untuk menyebarluaskan kebijaksanan
pemerintah oleh guru agama Islam.[16]
Pada Desember 1944, Hizbullah dibentuk sebagai korps cadangan
dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Beberapa perwiranya terdiri dari para
kiyai yang diberi tugas untuk melatih pasukan-pasukan baru. Hizbullah secara
eksplisit menjadi tentara Masyumi.[17]Perwira kiyai tersebut dikirim mengikuti
latihan PETA. Diantaranya, K.H. Wahib Wahab (NU), K.H. Junus Anis
(Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), dan Arudji Kartawinata
(PSII).[18] Enam bulan kemudian, di Cibarusa,
Jawa Barat, latihan lapangan pertama bagi 500 pejuang muslim dimulai.
Disaksikan oleh Gunseikan dan wakil Ketua Masyumi, KH Wahid
Hasyim.[19]
Hizbullah pun bagian dari siasat para ulama. Menurut K.H. Wahid
Hasyim, “Perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, juga kekuatan
militernya, di samping kekuatan politiknya. Kalau cuma mengandalkan kekuangan
Gunseikanbu, kita tidak bisa menyelenggarakan latihan dalam tingkat nasional.
Sebab itu saya tambah juga anggaran dari Shumubu dan Majelis Syuro Muslimin
Indonesia!”[20]
Remy Madinier, peneliti tentang Masyumi menyebutkan bahwa “…selama
kurun waktu setahun lebih (1944-1945), Masyumi mampu melakukan hal yang tak
pernah bisa diwujudkan perkumpulan Islam mana pun. Ia mampu membangun jaringan
yag membentang ke seluruh Nusantara, merekrut sejumlah besar milisi, dan
terutama meraih ketenaran yang terbilang setara denga para pemimpin nasionalis,
Soekarno dan Hatta.”[21]
Berbagai sikap ‘murah hati’ Jepang ini bukan tanpa sebab. Mereka
meminta imbal balik berupa kesetiaan dan kerjasama para tokoh-tokoh
Islam. Gunseikan dalam pidatonya bulan Januari 1944 menuntut
hal itu. Menurutnya,
“ ….Kalau sekiranya Saudara-Saudara tetap melancarkan kritik
terhadap keadaan sekarang dan ….pemerintah negeri ini, sehingga akhirnya tali
persatuan antara Angkatan Bersenjata, pemerintah, dan rakyat diputuskan,
lantaran kami harus menyimpulkan bahwa Saudara-saudara, ulama, menghalangi
tercapainya kemenangan terakhir Perang Suci ini, dan …bahwa Saudara-saudara
melupakan tugas yang sebenarnya…. (dengan) melawan pemerintah Tentara Dai
Nippon. Kami tentu senantiasa siap sedia melawan setiap perkembangan seperti
ini.”[22]
Jika demikian dapatkah Jepang disebut memanfaatkan para ulama
untuk kepentingan politik mereka? Alih-alih memanfaatkan para ulama, maka lebih
tepat jika disebut para ulama yang memanfaatkan Jepang demi tujuan mereka. Hal
ini dinyatakan sendiri oleh KH Wahid Hasyim, kepada tokoh muda NU kala itu,
K.H. Saifuddin Zuhri. Menurutnya, perang adalah tipu muslihat. Siapapun yang
menghalangi Jepang akan disapu dengan tangan besi. Umat Islam menurut K.H.
Wahid Hasyim lebih baik berpura-pura bekerja sama. Keluar, seolah-olah untuk
kepentingan Nippon, ke dalam untuk kepentingan nasional dan memperkuat
kedudukan umat Islam.[23]
“Selain itu, politik ‘kerja sama’ ini merupakan kesempatan paling baik dan tidak setiap kali bias kita alami, untuk menghidupkan mesin penggerak potensi Islam. Dan untuk cita-cita Indonesia merdeka, kemungkinan-kemungkinan yang mustahil kita capai di zaman penjajah Belanda lebih terbuka…! Ingat, menentang Nippon secara terang-terangan risikonya sangat besar. Bersikap pasif diluar gelanggang sebagai penonton, kecuali akan dicurigai, paling-paling cuma bias menyumpah dan menggerutu.
….Dengan Ibarat lain ibarat, maka taktik ini bermakna ‘mencekik leher Nippon dengan tangannya sendiri…,” demikian jelas K.H. Wahid Hasyim.[24]
“Selain itu, politik ‘kerja sama’ ini merupakan kesempatan paling baik dan tidak setiap kali bias kita alami, untuk menghidupkan mesin penggerak potensi Islam. Dan untuk cita-cita Indonesia merdeka, kemungkinan-kemungkinan yang mustahil kita capai di zaman penjajah Belanda lebih terbuka…! Ingat, menentang Nippon secara terang-terangan risikonya sangat besar. Bersikap pasif diluar gelanggang sebagai penonton, kecuali akan dicurigai, paling-paling cuma bias menyumpah dan menggerutu.
….Dengan Ibarat lain ibarat, maka taktik ini bermakna ‘mencekik leher Nippon dengan tangannya sendiri…,” demikian jelas K.H. Wahid Hasyim.[24]
K.H. Wahid Hasyim memang memegang peranan penting dalam Masyumi
kala itu. Ia memegang peranan sehari-hari memimpin Masyumi, mewakili ayahnya,
K.H. Hasyim Asy’ari. Di kantor Masyumi, di Jalan Teuku Umar No.1 Jakarta,
(bekas kantor imigrasi, kemudian saat ini menjadi Galeri Seni Kunskring), para
tokoh Islam seperti K.H. Wahid Hasyim, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Farid Ma’ruf,
Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Moh. Roem, Prawoto Mangkusasmito dan
lainnya biasa berkumpul. Mereka membicarakan siasat Masyumi dalam pendudukan
Jepang. [25]
![Description: https://i1.wp.com/jejakislam.net/wp-content/uploads/2018/11/800px-Bataviasche_Kunstkring_2012.jpg?resize=696%2C522](file:///C:\Users\Asus\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.jpg)
K.H. Wahab Hasbullah pernah mengatakan bahwa dalam bersiasat
melawan Jepang, “ Saudara mesti tetap berjiwa, tetap memiliki roh
Islam, agar tak mudah di Nippon kan. Di zaman ini kita harus pandai
berdiplomasi dalam menghadapi Nippon.”[26]
Jalan siasat yang dipilih para tokoh Islam untuk memanfaatkan
Jepang memang tidak mudah. Terutama harus mengarungi bahtera siasat politik
diantara kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia. Romusha, gadis-gadis
pribumi yang diperkosa oleh tentara Jepang hingga pujian-pujian kepada rezim
militer Jepang adalah segala keburukan yang harus dihadapi dengan bersiasat.
Masyumi sendiri kala itu berhasil mengelakkan diri dari tuntutan Jepang untuk
menyediakan tenaga romusha.[27]
Pun ada gejala ketika beberapa orang mulai terbawa arus
menikmati kemudahan dan manfaat material dan sosial dari Jepang. Seorang tokoh
dari Islam reformis dari Sumatera mengkritik hal ini secara terbuka dalam
publikasi Masyumi, yaitu Soeara Moeslimin Indonesia.
Menurutnya, “…menjadi terasing dari rakyat, dan (dengan demikian) tidak
lagi mengenal harapan-harapannya…karena inginnnya menarik perhatian orang-orang
yang bereputasi dan berpengaruh di dalam negara. Dengan begini ini kita lupa
akan kebutuhan rakyat biasa yang memang memberikan kepercayaannya kepada kita.”[28]
Ketika terjadi perlawanan K.H. Zaenal Mustafa di Tasikmalaya,
awalnya dimulai dengan penolakan terhadap permintaan bahwa padi dan bibit
makanan lainnya harus diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Perlawanan
tersebut kemudian ditumpas.
Masyumi tak berdaya dimanfaatkan rezim Jepang untuk menutupi dan
menetralsir dampak perlawanan. Edaran-edaran Masyumi disebarkan ke daerah
Tasikmalaya sehari setelah publikasi laporan resmi. Publikasi tersebut secara
terang-terangan berupaya meyakinkan kredibilitas rezim jepang.[29]
Bukan hal aneh pada masa itu untuk melihat berbagai pernyataan
Masyumi dan para tokoh politik nasionalis yang mengorbit pada politik Jepang.
Ketika Perdana Menteri Kosio mengungkapkan pernyataannya yang mengisyaratkan
pemberian kemerdekaan kepada Indonesia, maka Masyumi memberi tanggapan yang
tetap berorbit pada politik Jepang.
Pertama, menghimbau untuk mempersiapkan orang-orang Islam bagi
pembebasan negara dan agamanya. Kedua, memberikan pengorbanan untuk memperoleh
kemenangan. Terakhir, menyamakan Perang Jepang dengan perang suci Islam, dengan
kalimat yang berbunyi: “Dengan Nippon kita berdiri, dengan Nippon kita
jatuh, di jalan Allah untuk membinasakan tirani musuh.” [30]
Ketika Jepang memberikan restu terhadap hadirnya Panitia
Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPPKI), kemudian sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hal itu membuka
jalan bagi para tokoh Indonesia untuk membicarakan kemungkinan hadirnya satu
negara yang merdeka dengan landasanya sendiri. Minggu-minggu menjelang
berakhirnya kekuasaan Jepang, para tokoh Islam mulai bertanya-tanya akan
keberlangsungan aspirasi umat Islam terkait hubungannya dengan negara. KH Wahid
Hasyim, Sang Wakil Ketua Masyumi mempertanyakan hal itu.
“Sejarah masa lampau kami (demikian katanya) telah menunjukkan
bahwa kami belum mencapai kesatuan. Demi kepentingan kesatuan ini, yang kami
perlukann secara mendesak dan dalam usaha membangun negara Indonesia kita, di
dalam pikiran kami pertanyaan terpenting bukanlah, “Di manakah akhirya tempat
Islam (di dalam negara) itu?” Akan tetapi pertanyan yang terpenting adalah,
“Dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia
Merdeka?” Karena itu sekali lagi saya ulangi: Yang sangat kita butuhkan saat
ini adalah persatuan bangsa yang tak terpecahkan.”[31]
Baik tokoh Nasionalis sekular, maupun tokoh Nasionalis Islam
berembuk mengajukan gagasan ideologis masing-masing. Lahirnya Piagam Jakarta
merupakan satu kompromi, satu kesepakatan (gentlement’s Agreement) diantara
para tokoh tersebut. Guratan kekecewaan tak lama menghampiri para tokoh Islam.
Penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta, meski bersifat sementara tak mampu
menghapus kekecewaan tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo misalnya, sesaat setelah menyetujui
penghapusan tujuh kata tersebut, ia segera mengirim kawat kepada Majelis Tanwir
Muhammadiyah yang tengah bersidang di Jogjakarta. Ia meminta agar penutupan
sidang ditunda sampai ia kembali dari Jakarta.[32]
Ketika tiba di Jogjakarta dan menghadapi Majelis Tanwir, ia
menumpahkan kekecewaannya, mengecam kalangan nasionalis serta Panitia Persiapan
Kemerdekaan. Ia pun mengingatkan Majelis, dan secara tidak langsung umat Islam
di Indonesia, bahwa perjuangan belum selesai, umat Islam harus bersiap
menghadapi masa-masa berikutnya.[33]
Di lain sisi, situasi politik republik yang baru merdeka
tersebut berjalan dinamis. Pada 22 Agustus 1945, Komiter Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mendirikan
Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Namun sembilan hari
kemudian partai monolitik itu dibubarkan, karena dirasa akan menyaingi KNIP.[34]
Bagi sebagian tokoh, termasuk kelompok Sutan Sjahrir, melihat
kekosongan politik akibat pembubaran PNI berbahaya. Kekosongan ini akan diisi
pribadi-pribadi ambisius dan para petualang politik dan memiliki sikap politik
yang otoriter. Akhirnya, Soekarno dan Hatta dan sejumlah pemimpin lainnya
menerima usul Sjahrir untuk memulai sistem multipartai. Sejak 3 Oktober
akhirnya Indonesia memutuskan memberlakukan sistem multipartai di tanah
air. [35]
Tokoh umat Islam tak menyambut gembira usul ini. Soekiman
Wirjosandjojo sebagai ketua Masyumi mengaggap hal itu diputuskan dalam saat
yang tidak tepat. Menurutnya,“…dalam soal yang segenting ini, yang
menghendaki persatu-paduan Ra’yat lahir batin seteguh-teguhnya, pengumuman dan
anjuran Pemerintah mendirikan partai-partai yang akan berakibat terpecah
belahnya Ra’yat, kita sesalkan…”[36]
Meski demikian, Soekiman menyatakan dapat menerima alasan
dibalik keputusan tersebut. Menurutnya berbagai aliran dapat menyalurkan
aspirasi politiknya. Oleh sebab itu umat Islam berkewajiban mengorganisasikan
kekuatan dan tenaga dalam satu wadah politik.
Masyumi lahir bukan disebabkan desakan keadaan atau dibukanya
keran multipartai. Tetapi sejak September 1945, sekelompok pemimpin Islam di
Jakarta seperti K.H. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Muhammad Roem
mulai memberi perhatian pada isi kemerdekaan dan memutuskan mengubah Masyumi
yang masih ada tetapi pasif tersebut menjadi organisasi partai.[37]
Pada 7 dan 8 November 1945, diadakanlah Kongres Umat Islam
Indonesia di Jogjakarta. Kongres ini adalah manifestasi konkrit dari resolusi
Jihad. Dilaksanakan di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah, peserta datang melebihi
kapasitas. Kongres ini dihadiri hampir semua tokoh dari berbagai organisasi
Islam dari masa sebelum perang hingga masa Jepang.
K.H. Saifuddin Zuhri mengenang kembali suasana Kongres
tersebut. “Sebagai utusan daerah, aku ditempatkan di ruangan aula yang
terbuka. Memang terasa nyaman dan leluasa. Tapi di malam hari, hampir tidak
bisa tidur karena menjadi sasaran nyamuk-nyamuk yang berpesta pora dalam
keremangan sinar lilin yang ditiup angin semilir Yogyakarta yang gelap gulita.
Ruangan itu hanya beralaskan tikar….”[38]
Di ruang beralaskan tikar tersebut berbaring bersama-sama para
tokoh muda seperti K.H. Mahmud Ilyas (NU), K.H. Gaffar Ismail, ayah dari
penyair Taufik Ismail, K.H. Munawar Chalil, ulama asal semarang. Saleh Syaibani
(PSII), K.H. Wahib Wahab. Para pemuda seperti K.H. Saifuddin Zuhri memimpin
laskar Hizbullah sebagai penjaga Kongres. Dengan menenteng pistol dan bedil,
mereka ditempatkan di Kompleks Masjid Besar Yogyakarta.
Kongres kemudian bulat memutuskan untuk mendirikan Majelis syura
pusat bagi umat Islam Indonesia. Sejak saat itu, Masyumi dianggap sebagai
satu-satunya partai politik bagi umat Islam.[39]
![Description: https://i2.wp.com/jejakislam.net/wp-content/uploads/2018/11/560411_375041965859722_156033383_n.jpg?resize=604%2C305](file:///C:\Users\Asus\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.jpg)
Masyumi menjadi wadah bagi umat Islam di Indonesia. Meski
awalnya hanya mencakup NU, Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat
Islam. Kemudan menyusul organisasi-organisasi Islam lainnya seperti Al-Irsyad,
Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah (Sumatera Utara), Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA), Nadhlatul Wathan (Lombok), Matlha’ul Anwar (Banten) dan
organisasi Islam lainnya. Bergabungnya organisasi-organisasi Islam ini
menguntungkan Masyumi, sebab setelah bergabung, mereka menjadikan diri mereka
cabang Masyumi dan membuat Masyumi menjangkau berbagai wilayah di penjuru tanah
air.[40]
Nama Masyumi sendiri diperdebatkan hangat dalam kongres itu.
Sebab nama tersebut merupakan ‘warisan’ masa penjajahan Jepang. Namun nama
Masyumi tetap diterima dengan 52 banding 50 suara. Nama Partai Rakyat Islam
ditolak. Meski demikian, nama Masyumi ini bukanlah suatu akronim seperti di
masa Jepang.[41] Nama itu dipakai karena sudah amat
dikenal oleh umat.[42]
Komposisi kepengurusan awal Masyumi mencerminkan sifat persatuan
dari umat Islam yang diwakili berbagai kelompok. Kehadiran nama besar
tokoh-tokoh Islam mewarnai ukhuwah dalam Masyumi. Majelis Syuro dalam Partai
Masyumi yang bertugas sebagai Majelis Pertimbangan dan Majelis Fatwa bagi
pimpinan partai, diisi nama-nama ulama besar. Menurut K.H. Saifuddin Zuhri,
Majels Syuro ini juga untuk memimpin kegiatan partai diatas ladasan Syariat
Islam. “Melaksanakan Dakwah, meratakan amar ma’ruf nahi munkar,
memurnikan tauhid, meluruskan ibadah, persatuan umat dan persaudaraannya, dan
menegakkan syariat Islam adalah tujuan yang harus dicapai dalam perjuangan.”[43]
Ketuanya dipegang oleh K.H. Hasyim Asy’ari dari NU. Ki Bagus
Hadikusumo dari Muhammadiyah sebagai Ketua Muda I. K.H. Wahid Hasyim sebagai
Ketua Muda II. Dan Kasman Singodimedjo sebagai Ketua Muda III. Anggota Majelis
Syuro dihuni antara lain oleh Haji Agus Salim, K.. Abdul Wahab dari NU, dan
Syaikh Djamil Djambek (ulama minangkabau).[44]
Pimpinan Pusat Masyumi diketuai oleh Soekiman Wirosandjojo,
politisi yang pernah di Sarekat Islam, hingga Partai Islam Indonesia (PII).
Kemudian ditempati pula oleh tokoh Sarekat Islam seperti Abikusno Tjokrosujoso
(Ketua Muda I) dan Harsono Tjokroaminoto (Sekretaris I). Wali al-Fatah (Ketua
Muda II). Dan tokoh muda, Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II). Anggota
Pimpinan Pusat antara lain KH Moh. Dahlan (NU), KH Farid Ma’roef dan Junus
Anies (Muhammadiyah), Moh. Natsir (Persis), S.M. Kartosoewirjo (PSII), Moh.
Roem dan lainnya. [45]
Komposisi kepengurusan Partai Masyumi mencerminkan bukan saja
keragaman berbagai kelompok Islam di Indonesia, namun keragaman latar belakang
daerah para pengurus. Ia menjadi lambang persatuan umat Islam dan satu-satunya
wadah politik umat Islam yang berpuluh tahun di upayakan ditengah perpecahan,
konflik dan perbedaan yang mewarnai perjalananya. Komposisi awal Partai juga
menyiratkan komposisi tokoh senior (seperti Soekiman, Haji Agus Salim,
Abikoesno dan lainnya) dengan tokoh muda (Kasman, K.H. Wahid Hasyim, Moh.
Natsir, dan Prawoto Mangkusasmito).
Para tokoh Partai Masyumi nantinya menjadi tokoh-tokoh yang
membangun Republik Indonesia. Menyumbangkan sahamnya pada negara yang baru
lahir tersebut. Melalui masa-masa revolusi Indonesia. Namun tantangan untuk
menjaga persatuan umat, juga harus dilalui oleh Masyumi dengan melalui jalan
yang tak mudah. Meninggalkann fase lama dibawah cengkeraman penjajah menuju
Partai Islam ideologis di lapangan kemerdekaan.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), Gema Insani:Jakarta, 1996.
[2] Kahin,
Audrey. Islam, Nationalism, and Democracy: A Political Biography of Mohammad
Natsir. Singapore. NUS Press. 2012
[4] Benda,
Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan
Jepang. Pustaka Jaya. Jakarta: 1985
Sumber: http://jejakislam.net/lahirnya-partai-masyumi-politik-di-hamparan-persatuan/
0 Komentar