Pada
suatu malam tahun baru 1925, dalam sebuah kongres Jong Java, diusulkan untuk
mengadakan pendidikan agama Islam bagi anggota Jong Java. Usul ini diajukan
oleh Sjamsurizal, atau lebih dikenal dengan Raden Sjam. Usul ini diajukan
karena pendidikan agama lain, seperti Kristen, bahkan Teosofi diterima oleh
anggota Jong Java. Sjamsurizal beranggapan bahwa untuk mengenal bangsanya
sendiri, maka tidak bisa tidak, anggota Jong Java memerlukan pendidikan agama
Islam, sebuah agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk bangsanya.
Usul
Sjamsurizal ditolak hingga dua kali pemungutan suara. Akhirnya
Sjamsurizal, sebagai ketua kongres, menarik usulan ini. Padahal Sjamsurizal,
sebagai ketua memiliki kewenangan untuk memutuskan hasil akhir dari pemungutan
suara, karena berakhir dengan dua kali suara yang seimbang. Namun Sjamsurizal
tak ingin dianggap memaksakan usulnya, dengan memanfaatkan kewenangannya
sebagai ketua.[1]
Takdir
Allah berkata lain. Tak ada pendidikan agama Islam di Jong Java. Tapi inilah
hikmahnya. Sebuah hikmah yang kemudian berbuah manis. H. Agus salim yang turut
hadir dalam kongres itu rupanya merasakan kekecewaan Sjamsurizal. Ia kemudian
menghiburnya.
“Pimpinan
kelompok pemuda beragama Islam ini, Sjamsurizal, sangat sedih dan ketika pulang
malam dari kongres itu aku mencoba menghiburnya dan berkata ; jangan sedih,
mari kita segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan surat
kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu telah mencoba mematikan
sinar Ilahi tetapi tuhan tak akan membiarkannya! Maka disudut jalan itu, pada
malam tahun baru jam 24.00, 1 Januari 1925 dibentuklah Jong Islamieten Bond
(JIB).”[2]
Selanjutnya
Sjamsurizal membicarakan usulan tersebut dengan teman-temannya. Di sebuah ruang
kelas di Muhammadiyah Yogyakarta, pertemuan itu sendiri dihadiri oleh H. Agus
Salim, Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan. Namun secara resmi JIB baru
dibentuk 1 Maret 1925.[3] Sejak
awal pendirianya JIB memang tak bisa lepas dari jejak langkah tokoh-tokoh pergerakan
Islam seperti Tjokroaminto, H. Fahcrodin, dan khususnya H. Agus Salim.
Beliaulah tempat para anggota JIB menimba ilmu dan pengalaman. Namun JIB
sendiri tidak melibatkan diri dalam politik. Anggota JIB tidak boleh terjun ke
gelanggang politik atas nama JIB. Namun tak melarang untuk terjun atas nama
pribadi. Dalam kursus, debat atau ceramah JIB, sedapat mungkin anggotanya
diberi pengertian tentang politik.
Sejak
awal JIB memang bermuatan ideologi Islam. Bagi pemuda-pemuda pribumi yang
mendapatkan pendidikan barat memang merasakan kekosongan Islam dalam pendidikan
mereka. Semangat modernisme dan rasionalisme saat itu menggelayuti para pemuda
didikan barat. Maka tak heran mereka memiliki sikap begitu kritis. Namun di
balik segala pengaruh barat itu, mereka merasakan kerinduan dan kepedulian
terhadap Islam. Pencarian akan identitas Islam tersalurkan dalam JIB.
Pendidikan, kursus-kursus yang mereka dapatkan dari tokoh-tokoh Islam seperti
H. Agus Salim (Sarekat Islam), H. Fachrodin (Muhammadiyah) serta organisasi
pembaharu Islam seperti PERSIS, dapat menyingkirkan kabut yang selama ini
menutupi mereka dari cahaya Islam. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran Islam kepada anggota JIB adalah H. Agus Salim. Dari H.
Agus salim-lah para anggota JIB belajar tentang kepemimpinan. Bahwa memimpin
adalah menderita. Mereka juga belajar tentang kesederhanaan. Belajar mengenal
Islam, organisasi hingga politik.
Kongres
pertama JIB berlangsung di Yogyakarta pada Desember 1925. Tujuan JIB
seperti termaktub dalam anggaran dasarnya, antara lain; menyelidiki dan
memajukan ke-Islam-an anggotanya; Menimbulkan dan memajukan perasaan cinta
kepada Islam dengan sepenuh keyakinan kesabaran (toleransi) terhadap yang
berkeyakinan lain; menimbulkan dan memajukan pergaulan antara kaum terpelajar
masing-masing, dan antara mereka dengan rakyat menurut pengajaran Islam; serta
membangun jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan mendidik diri sendiri dan
bekerja sendiri.[4]
Semenjak
itu JIB berkembang sangat pesat. Setelah kongres pertama, ditetapkan ketuanya
Sjamsurizal, kemudian Wiwoho Purbohadidjojo, serta Kasman Singodimedjo (kelak
menjadi anggota Masyumi dan Jaksa Agung pertama RI). Dalam keanggotannya JIB
menerima siswa dari usia 14 tahun hingga 30 tahun. Siswa-siwa MULO (Setingkat
sekolah menengah pertama) dan AMS (Sekolah lanjutan tingkat atas), hingga
mahasiswa menjadi anggotanya. Pada akhir 1925 saja, JIB telah memiliki 7 cabang,
dengan 1004 anggota. Hingga tahun 1933 JIB telah memiliki 55 cabang, dengan
4000 anggota setidaknya di Jawa dan Sumatera. Nama-nama lain kemudian bergabung
dengan JIB seperti M. Natsir, M. Roem, serta Jusuf Wibisono kelak menghiasi
prestasi JIB, kemudian partai Masyumi. [5]
Berkat
berdirinya JIB, kaum terpelajar muslim yang mendapatkan pendidikan Belanda,
bisa terpuaskan dahaganya dengan pendidikan Islam. Namun prestasi JIB tidak
hanya dalam bidang pendidikan tersebut. JIB mendirikan organisasi kepanduan
bernama NATIPIJ (Nationaal Indonesische Padvinderij). Organisasi
ala pramuka ini tak hanya mengkader anak-anak usia 10 hingga 13 tahun, tetapi
juga memberikan kursus-kursus pengetahuan Islam sejak dini. JIB juga
membentuk SIC (Studie Informatie Comissie). Komisi ini berfungsi
untuk memberikan informasi kepada orang tua tentang sekolah-sekolah, baik
sekolah barat maupun Islam, baik di Belanda maupun di Kairo. Selain itu
JIB juga membentuk divisi perempuan JIB, dengan nama JIBDA (JIB Dames
Afdeling). Namun yang paling mengesankan adalah terbitnya majalah Het
Licht (An Nur). Het Licht terbit pertama kali dua bulan
setelah berdirinya JIB. Majalah ini dicetak di percetakan Muhammadiyah
Yogyakarta. Het Licht menjadi sarana untuk menyebarluaskan
gagasan JIB serta isu-isu yang berkaitan dengan Islam. Sasaran utama majalah
ini adalah para pelajar sekolah Barat, serta kalangan umum. Het Licht mampu
terbit teratur sebulan sekali hingga tahun 1931. Dan berhasil bertahan terbit
hingga JIB dibubarkan oleh Jepang pada 1942. Walaupun terbit dalam bahasa
Belanda, namun pada 1928 mulai menyisipkan beberapa artikel dalam bahasa
Indonesia.
Het
Licht mengangkat berbagai isu yang berkenaan dengan Islam. Salah
satunya adalah Isu Islam dan kebangsaan. Merebaknya semangat kebangsaan dan
nasionalisme membuat JIB, sebuah organisasi yang berdasarkan Islam, dikritik
sebagai anti nasionalis. Beberapa bahkan mengkritik dengan kasar, dan mencibir
JIB sebagai Jong Idioten Bond. Sementara itu sikap JIB terhadap
nasionalsime atau kebangsaan adalah;
“Kita
pemuda intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan. Dimana kita
berasal dari daerah dimana bangsa itu berdiam…Sudah barang tentu perhatian
utama kita adalah tanah air kita sendiri dimana Islam menjadi agama kebanyakan
penduduk. Tetapi disamping tugas yang tertinggi itu , kita masih punya tugas
lain, yaitu : berjuang untuk umat Islam di seluruh dunia. “[6]
Bagi
JIB memperjuangkan Indonesia untuk merdeka adalah cita-cita mereka jua. Namun
JIB berpendapat bahwa Islam-lah yang paling tepat untuk dijadikan
ideologi Indonesia. Komitmen JIB terhadap Indonesia, dibuktikan JIB dengan
mengirim delegasinya, Johan Mahmud Caya dan Ma’mun Al Rasyid untuk menghadiri
Kongres Pemuda kedua di tahun 1928. Sejarah kemudian mencatat peran pemuda
Islam dalam kongres pemuda yang bersejarah itu. Tak hanya soal tanah air, JIB
turut menggemakan soal perjuangan umat Islam di Palestina. Dalam Isu umat
Islam, JIB, melalui terbitannya di bulan Juni 1930 mendukung perjuangan
Palestina atas Israel. Dan menolak tembok ratapan di dekat Masjid Al Aqsha.[7]
Dibalik
prestasi JIB, banyak tanda tanya seputar pengaruh Ahmadiyah yang menggelayuti
JIB. Pertanyaan ini muncul karena ada silang pendapat perihal Ahmadiyah yang
tercatat dalam polemik di Het Licht dan terdapat anggota JIB
yang kelak menjadi tokoh Ahmadiyah (Lahore) di Indonesia. Perlu diketahui,
gerakan Ahmadiyah (Lahore) masuk ke Indonesia sejak tahun 1924.[8] Saat
itu, missionaries mereka, Mirza Wali Ahmad Baiq, adalah salah satu tokoh
Ahmadiyah yang menonjol, sempat menetap di Yogyakarta, yang merupakan jantung
Muhammadiyah. Awalnya diterima dengan tangan terbuka oleh pegiat Islam.
Kecerdasan Ahmad Baiq juga menarik perhatian kalangan muslim terpelajar,
termasuk anggota-anggota JIB. Ahmad Baiq sempat memberikan kursus-kursus Islam
di JIB. Patut diingat, topeng ajaran Ahmadiyah saat itu belum terkuak oleh
masyarakat luas, sehingga Ahmad Baiq masih diterima dengan tangan terbuka.
Ketika hakekat ajaran Ahmadiyah terbongkar, timbul reaksi keras dalam umat
Islam. Muhammadiyah kemudian menentang Ahmadiyah.[9] Dua
mantan pengurus Muhammadiyah, R. Ng. Djojosugito, dan Muhammad Husni, membentuk
organisasi sendiri, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore.
Hal ini diikuti oleh salah seorang anggota JIB yang cukup menonjol, Muhammad
Kusban. Ia mengakui sebagai pengikut mereka. [10]
Reaksi
JIB terhadap Ahmadiyah bercabang dua. Terhadap Ahmadiyah Lahore, umumnya tidak
menentang secara organisasi, namun, mengkritik ajaran-ajaran Ahmadiyah Lahore.
Namun terhadap Ahmadiyah Qadiani, JIB menganggap mereka sebagai serangan ajaran
Islam. Polemik dimulai dalam Het Licht ketika Ahmad Sarida menulis ‘De
Weredleraar (Guru Dunia) ‘, Mengabarkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.
Hal ini dibantah kembali oleh A. Kamil dalam Het Licht edisi
Juli-September 1928 dengan tulisan ‘Stop!!! Hendak Kemana lagi?’ Berikutinya
muncul tulisan Hashim yang membantah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, dengan
mengutip hadis yang mengabarkan Rasulullah sebagai Nabi terakhir.
Artikel-artikel susulan pun terus bermunculan, namun pro dan kontra, ditutup
oleh artikel terakhir oleh Soemitro di Het Licht April 1930,
berjudul ‘Moehammad, de Laatste Profeet (Muhammad Nabi Terakhir)’.[11]
Salah
satu sebab lain tuduhan bahwa JIB dipengaruhi Ahmadiyah adalah maraknya
tafsir The Holy Qur’an, karya Maulana Muhammad Ali yang menjadi
bacaan anggota-anggota JIB. Kontroversi pemakaian tafsir ini sebenarnya tidak
hanya menggelayuti anggota-anggota JIB saja. Bahkan H.O.S Tjokroaminoto sampai
membuat terjemahan dari tafsir ini. Dan hal ini membuat polemik antara
Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dengan Muhammadiyah. Dalam hal ini, H. Agus Salim
pun turut membela Tjokroaminoto dan menunjukkan keunggulan tafsir Holy
Quran ini. Kabut kontroversi pemakaian tafsir Holy Quran ini
bisa tersingkirkan, jika kita memahami keadaan saat itu. Di masa itu, sangat
sulit untuk mendapatkan tafsir yang dapat dipahami kalangan intelektual non
santri, yang tak bisa memahami bahasa dan tulisan Arab. Ditambah lagi beberapa
pembahasan Holy Quranyang dirasa dapat memuaskan dahaga kaum
intelektual saat itu. Namun bukan berarti para pembaca tafsir tersebut setuju
dengan ajaran Ahmadiyah[12]
Bagaimana
pun, JIB adalah wadah para pemuda muslim yang saat itu begitu haus akan Islam
dan berpikiran terbuka karena pendidikan barat. Para anggota JIB juga mampu
menjawab berbagai tudingan miring terhadap Islam. Berbagai persoalan
diangkat oleh anggota-anggota JIB melalui Het Licht, atau pun
diskusi-diskusi, tak hanya soal kebangsaan, tapi juga seputar peranan
perempuan, bunga bank, dan lain-lain. Mereka terbiasa untuk berdebat, teguh
mempertahankan pendapat, tetapi tetap berhubungan baik.
Perbedaan-perbedaan
pendapat itu pula yang akhirnya menimbulkan ‘perpecahan’ di JIB. Setelah
mengalami masa-masa kejayaan dengan bertambahnya cabang dan anggota JIB,
langkahnya mulai surut. Setelah masa-masa awal kepemimpinan Sjamsurizal,
kemudian JIB mengalami masa perkembangan pesat di bawah Wiwoho Purbohadidjojo
selama empat tahun (1926-29). Bahkan tahun 1931 JIB mampu mendirikan
sekolah HIS di Tegal dan Tanah Tinggi (Batavia). Kepemimpinan Wiwoho kemudian
digantikan oleh Kasman Singodimedjo hingga tahun 1935. Di masa akhir
kepemimpinan Kasman, JIB mengalami pergolakan yang cukup dahsyat, badan
kepanduan mereka, NATIPIJ memisahkan diri dari JIB. NATIPIJ yang
diketuai Roem merasa mereka perlu menjadi badan yang independen. Namun
perpecahan yang paling besar adalah ketika Roem dan Jusuf Wibisono memutuskan
keluar dari JIB dan membentuk organisasi baru bernama Studenten Islam
Studieclub(SIS). Mereka merasa JIB tak mampu lagi menampung perkembangan
intelektualitas mahasiswa Islam. Maka pada Desember 1934 SIS berdiri dibawah
prakarsa Roem dan Jusuf Wibisono. Pada tahun kedua, SIS mengeluarkan
majalah Moslime Reveil dengan motto surat Ar Ra’ad ayat
11, “Allah tidak merubah nasib sesuatu bangsa, apabila bangsa itu
sendiri tidak merubahnya.”[13]
JIB
kemudian terus berlayar, walau tak mampu mengulangi prestasi di masa jayanya,
dibawah nahkoda M. Arif Aini (1935-1937), Soenarejo Mangoenpoespito
(1937-1942). Tinta sejarah mereka berhenti menetes ketika dibubarkan oleh
pendudukan Jepang tahun 1942. Namun JIB tetap sebuah organisasi yang
berkontribusi besar dalam pergerakan Islam di Indonesia. JIB adalah
pesantrennya kaum intelektual muda didikan barat yang mencintai Islam. Buya Hamka
menyebut para anggota JIB, “…yang lebih memperdalam pengertian dan
amalan agama sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi
dasar dan pandangan hidup.”[14]
Jejak
langkah para anggota JIB kemudian tercatat dalam lembaran besar sejarah bangsa.
Para anggotanya tersebar, turut meruntuhkan penjajahan, mengisi bangsa dengan
jiwa Islam. Kelak banyak para anggota JIB menjadi tokoh-tokoh kunci di Masyumi,
seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, M. Roem, Jusuf Wibisono dan lain-lain.
Maka tidak salah jika kita menyebut JIB sebagai menjadi generasi emas
intelektual Islam di tanah air. Kelak, ratusan dari mereka, menggerakkan jutaan
umat mengarungi pergolakan negeri dalam bahtera Masyumi.
Tak
heran jika Buya Hamka menyanjung jejak langkah yang ditorehkan para anggota
JIB. Menurutnya,
“Intelek
pejuang bekas didikan Haji A. Salim dan anggota Kernlingaam tadi,
dengan sendirinya telah dapat menutup mulut kaum intelek didikan barat, yang
siang malam bermimpi bahasa belanda tadi, yang memandang Islam sebagai, ‘Islam
Sontoloyo, santri gudikan atau kiyai bini banyak atau kolam masjid kotor atau
Islam yang tidak bisa dipakai untuk kemajuan atau orang Islam harus menganut
modernisasi, kalau perlu musti pandai berdansa’ dan sebagainya.”[15]
[1] Saidi,
Ridwan. 1990. Cendikiawan Islam Zaman Belanda. Studi Pergerakan
Intelektual JIB dan SIS (’25-’42). Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu
[2] 1996. 100
Tahun Haji Agus Salim. Jakarta : Sinar Harapan
[3] Husni,
Dardiri. 1998. Jong Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In
Indonesia During The Colonial Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada :
McGill University
[4] Saidi,
Ridwan.
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] Dardiri,
Husni.
[8] Zulkarnain,
Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta : LKiS
[9] Beck,
Herman L. 2005. The Rupture Between Muhammadiyah and Ahmadiyya.
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde.
[10] Saidi,
Ridwan.
[11] Dardiri,
Husni.
[12] Ichwan,
Moch. Nur. 2001. Differing Responses to an Ahmadi Translation and
Exegesis. The Holy Qur’an in Egypt and Indonesia. Archipel Vol 62.
[13] Saidi,
Ridwan.
[14] HAMKA.
2002. Pengharapan Kepada Intelektual Islam dalam Dari
Hati ke Hati. Jakarta : Pustaka Panjimas.
[15] Ibid.
Sumber: http://jejakislam.net/jib-generasi-emas-intelektual-islam/
oleh :
Beggy, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
0 Komentar