Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Pergolakan Muslim Uighur di Xinjiang dan Kebijakan Pemerintah China-2

Dok: AsiaNews  

Data-data memperlihatkan, kebijakan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang terakhir ini tidak lagi semata menghapus radikalisme, tetapi lebih diarahkan menghapus identitas minoritas Muslim.

(Halaman 2 dari 3)
Sambungan artikel PERTAMA

  • Pada Juli 1998, Xinjiang Daily, misalnya, menampilkan iklan kecil berisi rencana pembagian 5.000 mu [satuan luas tanah di China; 15 mu kurang lebih setara dengan 1 hektar] tanah yang sudah siap digarap. Di antara lokasi pembagian yang disebut oleh iklan di atas adalah kota Qiemo yang 80% penduduknya dari etnis Uighur dan rata-rata hanya memiliki 2,5 mu tanah per orang. Terbatasnya lahan serta kompetisi untuk mendapatkan air bagi irigasi di kemudian hari menimbulkan konflik antara etnis Uighur dan Han di kota itu (Becquelin, 2000: 75-76).
  • Hal di atas menjadi contoh kecil dari apa yang terjadi di beberapa daerah lainnya di Xinjiang, yang dipicu oleh kehadiran etnis Han dan terjadinya kelangkaan air. Antara tahun 1991 dan 1997 ada 3,3 juta mu lahan yang diolah untuk perkebunan dan antara tahun 1996 dan 2000 akan dibuka pula tambahan 7 juta mu lahan lainnya, yang sebagian besarnya digunakan untuk menanam kapas (cotton). Pembukaan lahan-lahan perkebunan ini memberi dampak lingkungan yang serius berupa kekeringan dan meluasnya kawasan gurun (desertification) yang meningkat di 53 dari 87 distrik yang ada di Xinjiang. Sebuah studi menunjukkan bahwa untuk setiap 40,000 kilometer persegi gurun yang diubah menjadi lahan perkebunan, pada saat yang sama luas gurun bertambah 50,000 kilometer persegi. Banyak danau yang mengering dalam proses ini, khususnya di sekitar Sungai Tarim (Becquelin, 2000: 83-84).
  • Ada studi yang berpandangan bahwa liberalisasi ekonomi di Xinjiang telah melemahkan kohesi sosial di kawasan itu. Etnis Uighur secara umum lebih lemah dalam kewirausahaan dibandingkan etnis Han, sehingga berimplikasi pada kesenjangan ekonomi. Uighur merespon ini lewat penguatan tradisi keagamaan dan identitas yang kemudian berkembang menjadi radikalisasi dan serangan terhadap pemerintah dan etnis Han. Han membalasnya dengan stereotip dan kebencian terhadap Uighur (Zhao, 2010). Di satu sisi, kurangnya daya saing ekonomi etnis Uighur mungkin ikut menjadi faktor terjadinya kesenjangan ini. Namun di sisi lain, beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Xinjiang sebenarnya lebih dari sekedar ‘pembiaran’ oleh pemerintah China bagi semua etnik untuk bersaing bebas. Kebijakan pemerintah China, walaupun mungkin juga diarahkan untuk meningkatkan kemakmuran etnis Uighur, memang menunjukkan adanya keberpihakan terhadap etnis Han.
  • China memiliki slogan “Great Han Nationalism” (Da Han zhuyi) yang tidak disukai oleh etnis Uighur karena tendensi superioritasnya terhadap etnis minoritas. Tambah lagi pola relasi antar etnis di China mengikuti apa yang disebut oleh seorang peneliti sebagai ‘familyism’yang berpola hirarkis di mana etnis Han adalah ‘saudara yang lebih tua’ dan etnis lainnya, termasuk Uighur, adalah ‘saudara yang lebih muda’ yang posisinya dalam tradisi kekeluargaan di China harus bersikap patuh terhadap otoritas saudara yang lebih tua. Pola ini terefleksikan di dalam struktur partai Komunis China dan struktur pemerintahan China, termasuk di Xinjiang (Kellner, 2002: 9). Xinjiang sebetulnya mendapat status otonomi dan diberi nama Xinjiang Uighur Autonomous Region (XUAR) sejak 1 Oktober 1955. Namun pemerintah daerah dirancang untuk tetap menjadikan etnis Uighur sebagai minoritas di dalam struktur pemerintahan (Boehm, 2009: 79). Dengan kata lain, status otonomi Xinjiang hanya sebatas nama, bukan realitas.

  • Kebijakan ekonomi China di Xinjiang pada akhirnya tidak mencapai tujuan yang dicanangkan semula, malah sebaliknya memarjinalkan ekonomi etnis minoritas dan menciptakan kesenjangan ekonomi yang besar di Xinjiang. Implikasinya adalah etnis Uighur merasa didiskriminasikan, menjadi warga kelas dua di wilayahnya sendiri, dan menganggap telah terjadi ‘invasi orang-orang Han’ ke wilayah mereka.
  • Menurut sebuah studi, kesenjangan ekonomi di antara etnis Han dan Uighur di Xinjiang sangat besar. Pada tahun 1973, rata-rata pendapatan petani Uighur adalah 732 yuan, sementara petani Han 2.680 yuan (Howell & Fan, 2011: 124). Studi lain menyebutkan 98% populasi Han tinggal di perkotaan, sementara sekitar 90% populasi Uighur tinggal di pedesaan. Tingkat pengangguran etnis Uighur dikatakan lebih dari 70%, sementara Han kurang dari 1%. Sementara orang-orang Han naik mobil, orang-orang Uighur naik kuda dan gerobak. Kota terbesar di Xinjiang, Urumqi, boleh dikatakan telah menjadi kota Han dengan gedung-gedung perkantorannya yang menjulang, sementara penduduk Uighur di kota itu banyak yang tinggal di lingkungan miskin dan menjajakan barang-barang tradisional di pojok-pojok kota (Boehm, 2009: 86-87). Bahkan etnis Uighur telah tergusur dari pasar tradisional mereka di kota itu, Pasar Erdaoqiao. Di pasar yang sebelumnya dikelola oleh penduduk lokal itu dibuat bangunan-bangunan baru yang membuat harga sewanya naik. Banyak pedagang Uighur yang tak mampu mengejar kenaikan harga sewa dan akhirnya tergusur dengan sendirinya (Boehm, 2009: 88). Beberapa pengusaha dari etnis minoritas mengeluhkan prasangka terhadap diri mereka saat hendak meminjam uang di bank dan saat berurusan dengan administrasi pemerintahan. Ada pula yang mengatakan bahwa manajer-manajer dari etnis minoritas di perusahaan-perusahaan kecil milik pemerintah telah digusur dan digantikan oleh manajer dari etnis Han (Becquelin, 2000: 85). Data-data di atas, bagaimanapun, tidak bermakna etnis Han selalu mendapat preferensi lebih dibandingkan etnis Uighur di dalam pasar tenaga kerja, terutama ketika yang terakhir ini memiliki keunggulan kompetitif di dunia kerja (Howell & Fan, 2011: 119-120). Bagaimanapun, lonjakan kehadiran etnis Han serta dampak ekonomi dan diskriminasi – riil maupun yang dipersepsikan – terhadap etnis Uighur telah menimbulkan keresahan dan protes terhadap pemerintah China di kalangan masyarakat Uighur pada umumnya.
  • Masyarakat Han yang hadir di Xinjiang antara lain adalah mereka yang memiliki latar belakang semi-militer (paramilitary) atau disebut juga sebagai Korps. Mereka diorganisasikan lewat Xinjiang Production and Construction Corps (bingtuan) dan memiliki perkebunan yang tersebar di sepanjang perbatasan dan di seluruh wilayah Xinjiang (Becquelin, 2000: 68). Koloni-koloni pertanian yang mereka bangun memiliki peran yang mirip dengan koloni militer di era kekaisaran China, yaitu untuk mengawal wilayah perbatasan. Asal-usul Korps ini adalah veteran Tentara Merah (Red Army) dan garnisun Kuomintang lokal yang diberdayakan secara ekonomi di kawasan itu pasca tahun 1949. Mereka disebut juga sebagai unit “Partai-pemerintah-tentara” (dang zheng jun zuzhi) dan memiliki hubungan khusus dengan pemerintah pusat. Pada tahun 1997, Korps memiliki anggota sebanyak 2,4 juta orang, kurang lebih setara dengan sepertujuh populasi Xinjiang. 90% anggota Korps berasal dari etnis Han, dan separuhnya terdiri dari perempuan dan anak-anak. Di dalam laporan tahunannya pada tahun yang sama, organisasi ini menyebutkan bahwa “negara perlu mengorganisasikan pemindahan orang-orang Han dari pedalaman ke Xinjiang untuk melindungi perbatasan dan menghidupkan lahan” dan juga “untuk melindungi persatuan negeri dan persatuan bangsa-bangsa di China”. Korps memiliki jurisdiksi sendiri dan hanya bertanggung jawab pada pemerintah pusat, sehingga keberadaannya sering menimbulkan friksi dengan Pemerintah Propinsi. ‘Perusahaan’ ini mengendalikan 48% dari seluruh tanah di Xinjiang, memiliki sekolah, rumah sakit, penjara, polisi (wujing) dan milisi (minbing) yang jumlah resminya lebih dari 100.000 orang. Korps memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan wilayah. Pada tahun 1990, lembaga ini diberi status korporasi dan namanya menjadi Xinjiang New Construction Corporation (Xinjiang xinjian gongsi). Namun, seperti diakui wakil komandan Korps dalam satu wawancara, “[Secara tampilan] keluar, ini adalah sebuah grup bisnis; secara internal, ini tetap Korps” (Becquelin, 2000: 77-80; Boehm, 2009: 87-88).
  • Kebijakan-kebijakan pemerintah China, seperti telah dijelaskan di atas, tidak memperbaiki stabilitas dan keharmonisan di Xinjiang. Pemerintah berusaha menciptakan terjadinya asimilasi budaya, tetapi yang berkembang adalah menguatnya identitas etnis lokal yang diiringi munculnya keinginan untuk memisahkan diri dari China, atau setidaknya sikap kritis dan tidak puas terhadap kebijakan yang dirasa merugikan. Kegagalan ini disikapi pemerintah China dengan kebijakan yang semakin represif, yang pada gilirannya justru memperbesar sikap antipati terhadap pemerintah di kalangan masyarakat Uighur. Antipati ini kadang meledak dalam bentuk kerusuhan serta ‘aksi terorisme’.
  • Setelah peristiwa 11 September dan munculnya kebijakan ‘war on terror’ yang dimotori Amerika Serikat, China memanfaatnya untuk lebih jauh menindas ‘perlawanan’ penduduk lokal di Xinjiang dan menuding mereka sebagai kelompok teroris. Peristiwa 11 September telah memberikan legitimasi sekaligus memberikan keuntungan disebabkan berkurangnya perhatian internasional terhadap penindasan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah China. Pada tahun 2001-2002, sekitar 3.000 Uighur dilaporkan telah ditahan. Langkah untuk mengontrol pendidikan dan publikasi juga dilakukan secara serius. Gubernur XUAR, Abdulahat Abdurixit, pada awal 2002 sudah berbicara tentang re-edukasi masyarakat dalam rangka membenahi ideologi mereka (Kellner, 2002: 22-25). Hingga tahun 2008, kekerasan di Xinjiang malah “mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan aksi-aksi separatisme di Xinjiang “semakin canggih dan semakin berkaitan dengan agama” (Boehm, 2009: 64-65). Ekspresi keagamaan yang mewarnai aksi-aksi perlawanan terhadap pemerintah China dalam hal ini hanyalah bentuk yang digunakan untuk menentang ketidakadilan ekonomi yang menjadi akar masalahnya. Namun tampaknya pemerintah China menutup mata terhadap sumber masalahnya dan kini mengambil langkah ekstrim yang membuatnya menjadi sorotan dunia internasional sekarang ini.
  • Apa yang terjadi di Xinjiang sekarang ini adalah hal yang nyata dan merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap Muslim Uighur. Penduduk dalam jumlah sangat besar ditangkapi dan dimasukkan ke dalam ‘kamp-kamp re-edukasi’ (yang jumlahnya diduga mencapai satu juta orang), kadang tanpa alasan yang jelas (Westcott, 2018; washingtonpost, 2018; RFA, 2018); simbol-simbol dan praktek agama Islam dilarang (Haas, 2017); orang-orang Han dikirim tinggal di dalam rumah-rumah warga untuk memata-matai mereka (DAWN, 2018). Seseorang bisa ditahan hanya karena membaca ayat al-Qur’an di pemakaman. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tujuan kebijakan pemerintah China ini sebenarnya bukan untuk memadamkan ekstrimisme, melainkan untuk menghapus identitas etnis minoritas, dan pada saat yang sama “to remove any devotion to Islam” (Buckley, 2018). Di dalam kamp-kamp re-edukasi, tahanan mengalami indoktrinasi, dan kadang mengalami penyiksaan dengan ditelanjangi, dipukuli, dan diestrum (Yan, 2018).
  • Saya (penulis) mendapatkan informasi langsung dari seorang Muslimah suku Hui yang berasal dari Xinjiang. Walaupun ia bukan dari etnis Uighur, keluarganya juga mengalami dampak negatif kebijakan pemerintah. Pamannya ditahan sejak setahun yang lalu. Ia dan keluarganya terpaksa pindah ke kota lain dan mengganti identitas mereka. Ibunya juga ditangkap beberapa waktu yang lalu saat berkunjung ke Xinjiang untuk satu keperluan. Muslimah ini juga membenarkan adanya program pemerintah yang memasukkan orang-orang Han tinggal di dalam rumah-rumah Muslim. Ada dua orang yang tinggal di rumah sepupunya yang sebelumnya belajar di Mesir. Ia menggambarkan apa yang tengah terjadi sekarang di Xinjiang mirip seperti Revolusi Kebudayaan di masa lalu.
  • Etnis Muslim terbesar di China adalah suku Hui yang secara ras sebetulnya sama dengan Han. Mereka hidup tersebar di berbagai wilayah China dan relatif mendapat kebebasan dalam menjalankan agamanya (Beech, 2014). Tapi itu empat tahun yang lalu. Dalam dua atau tiga tahun terakhir ini keadaan tampaknya mulai berubah. Muslim Hui di daerah-daerah lain mulai terkena dampak represi kebijakan pemerintah dalam satu rangkaian kampanye ‘Chinaisasi’ (sinicization campaign). Tulisan-tulisan Arab dihapus dari masjid-masjid dan toko-toko milik Hui dan hanya diperkenankan penggunaan tulisan-tulisan berbahasa China. Gerak-gerik penduduk Muslim diawasi. Pejabat-pejabat lokal mulai berbicara tentang pentingnya penerapan kebijakan di Xinjiang pada wilayah-wilayah minoritas Muslim lainnya di China (Wong, 2018).
  • Beberapa kasus penangkapan dialami juga oleh warga atau anggota keluarga Muslim dari negara-negara Asia Tengah dan Pakistan yang sedang berada di Xinjiang. Namun negara-negara ini enggan untuk mengecam China secara terbuka disebabkan hubungan ekonomi dan besarnya investasi China di negara mereka (Dailymail, 2018; Pannier, 2018). Diamnya negara-negara Muslim yang lain dalam hal ini mungkin sebagiannya juga berkaitan dengan adanya kerja sama ekonomi dan investasi China di negara mereka masing-masing.
  • Data-data di atas memperlihatkan bahwa pemerintah China sejauh ini tidak berusaha menyelesaikan masalah dalam negerinya dengan langkah-langkah yang adil bagi warganya. Kebijakannya terhadap warga Uighur dan warga minoritas lainnya belakangan justru semakin ekstrim dan represif. Keberanian pemerintah China dalam melakukan pelanggaran kemanusiaan ini terjadi dengan mengambil keuntungan dari program ‘war on terror’ – walaupun Amerika Serikat mengecam apa yang terjadi di China sekarang ini – serta disebabkan posisi tawarnya yang tinggi lewat kerja sama ekonomi dengan negeri-negeri Muslim, khususnya yang bertetangga dengannya. Padahal tidak tertutup kemungkinan kebijakan pemerintah China ini akan memberi dampak juga bagi negara-negara tersebut di kemudian hari.
  • Data-data yang ada juga memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dalam dua tahun terakhir ini tidak lagi semata diarahkan untuk menghapus radikalisme dan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di propinsi itu, tetapi lebih diarahkan untuk menghapus identitas minoritas Muslim di wilayah itu serta mengasimilasi mereka sepenuhnya ke dalam ideologi partai komunis China. >>>> [BERSAMBUNG 3]

Posting Komentar

0 Komentar