Menurut Hajji Khalifah, seorang ilmuwan yang meninggal
pada 1657 Masehi, karya pertama yang membahas hal ini ditulis oleh Hilal ibn
Yahya al-Bashri yang lebih dikenal dengan nama Hilal al-Ray. Ia meninggal pada
895 Masehi.
Sedangkan,
antologi mengenai akta-akta kenotarisan pertama yang masih ada terdapat pada
karya milik Al-Thantawi, seorang cendekiawan Muslim yang meninggal pada 933
Masehi. Karya yang ditulisnya itu berjudul Al-Jami al-Kabir fi al-Syuruth dan
Kitab al-Syuruth al-Shaghir.
ADVERTISEMENT
Hajji
Khalifah juga membuat daftar mengenai berbagai macam karya seputar dunia
kenotarisan. Dia mengumpulkan akta-akta notariat yang dibuat oleh para ahli
fikih yang bermazhab Hanafi. Ia juga menilai bahwa akta kenotarisan merupakan
gabungan sastra dan praktik hukum.
Khalifah
bahkan membuat semacam definisi. Ia mengatakan, Ilm al-Syuruth al-Sijillat
merupakan disiplin ilmu yang menguji cara penetapan--yang dibakukan dalam buku
atau catatan--atau keputusan hukum seorang hakim.
Dengan
cara yang memungkinkan, penggunaannya dapat dijadikan sebagai bukti hukum
setelah kematian saksi-saksi yang terlibat dalam sebuah perkara. Menurut khalifah,
muatan disiplin ini mengandung keputusan hukum, seperti yang tertulis serta
sastra.
Jadi,
kata khalifah, istilah yang digunakan adalah istilah yang sesuai dengan hukum
terapan dan hukum-hukum agama. Berdasarkan catatan sejarah, bagian barat dunia
Islam mulai mengembangkan kenotarisan setelah disiplin ini berkembang pesat di
bagian timur dunia Islam.
Kehidupan serta kegiatan para notaris banyak diungkapkan
melalui karya biografi para penulis Muslim di kawasan Barat. Misalnya, Ibn
al-Fardi dalam karyanya Maushul. Al-Fardi ini merupakan cendekiawan Muslim yang
meninggal pada 1012 Masehi.
ADVERTISEMENT
Pada
masa berikutnya, ada Ibn Basykuwal dengan karyanya yang berjudul Shilah,
sedangkan Marrakusyi menulis Dzayl. Dalam karyanya itu, mereka menyusun
kumpulan akta kenotarisan sebagai model bagi mereka yang ingin mempelajari
bidang ini.
Ilmu
notariat ini dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki banyak manfaat
dan menguntungkan. Banyak orang pada masa itu belajar kenotarisan, baik melalui
pendidikan maupun secara otodidak, sebab banyak karya yang dibuat untuk
keperluan tersebut.
Salah
seorang yang memenuhi kebutuhan hidup dari bidang ini adalah Yahya ibn Amr
al-Judzami. Ia adalah penduduk Kordoba yang juga hakim. Ia menghidupi dirinya
dengan berpraktik sebagai notaris. Ada pula Muhammad ibn Ayyub al-Ghafiqi yang
hidup pada abad ke-12.
Ghafiqi
meninggalkan kampung halamannya di Saragosa menuju Valensia bersama dengan ayah
dan kakeknya. Saat itu, wilayah tersebut diduduki pasukan Kristen. Di sana,
Ghafiqi melanjutkan kehidupannya sebagai seorang pakar ilmu Alquran, tata
bahasa, leksikografi, dan syair.
Selain
itu, Ghafiqi juga menguasai sejarah, genealogi, sastra, dan bahasa Arab klasik.
Dengan kemampuan yang dimilikinya itu, Ghafiqi diminta bantuan oleh orang-orang
untuk membuat dan menyusun dokumen-dokumen resmi hukum.
Ghafiqi
bersedia membuat dokumen yang diinginkan itu dengan meminta bayaran tinggi.
Meski orang-orang yang meminta bantuannya agak keberatan, akhirnya mereka
memberikan bayaran seperti yang diinginkan Ghafiqi.
0 Komentar