Oleh: Dr Adian Husaini,
Pembina Pesantren At-Taqwa, Depok.
”Hutang Barat terhadap Islam” (The Wes’st Debt to Islam).
Itulah tajuk satu bab dari sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us:
Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins
Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy.
Di
tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di
Barat saat ini, buku seperti ini sangat patut dibaca. Selain banyak menyajikan
data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu, buku ini memberikan arus lain
dalam menilai Islam dari kacamata Barat.
Berbeda
dengan manusia-manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam – seperti
sutradara film Fitna, Geert Wilders – penulis buku ini memberikan gambaran yang
lumayan indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak
Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. ”Hutang Barat
terhadap Islam,” kata, Tim Wallace-Murphy, “adalah hal yang tak ternilai
harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We
in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid.’’
Pengakuan
Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu, sangatlah
penting, baik bagi Barat maupun bagi Islam. Di mana letak hutang budi Barat
terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu
pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai
Zaman Pertengahan (the Middle Ages). Sejak beberapa bulan lalu, setiap hari,
Harian Republika, juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di
masa lalu, yang memberikan pengaruh besar terhadap para ilmuwan di Barat.
Di
Zaman Pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum
Muslim menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi
juga di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia
Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. Bagi mayoritas masyarakat di dunia
Kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar,
dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang
toleran di Spanyol-Islam.
Saat
itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan
mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslim dan
Yahudi yang hidup nyaman dalam perlindungan masyarakat Muslim. Barat dapat
menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini, karena mereka berhasil
mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan Muslim.
Tim
Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains
Yunani dan lain-lain, adalah atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim. Di
masa kegelapan Eropa tersebut, orang-orang Barat secara bebas menerjemahkan
karya-karya berbahasa Arab – tanpa perlu membayar Hak Cipta. Sejarawan Louis
Cochran menjelaskan, bahwa Adelard of Bath (c.1080-c.1150), yang dijuluki
sebagai “the first English scientist”, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama
tujuh tahun, pada awal abad ke-12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan
banyak sekali buku-buku para sarjana. Ia menerjemahkan “Elements” karya
Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa pada buku tentang geometri yang
paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar pengajaran geometri selama
800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku table asronomi, Zijj,
karya al-Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama al-Majriti of Madrid
(d.1007). Buku itu merupakan pengatahuan astronomi termodern pada zamannya.
Seorang
penerjemah yang sangat fenomenal bernama Gerard of Cremona. Selama hampir 50
tahun tinggal di Toledo (1140-1187), dia menerjemahkan sekitar 90 buku dari
bahasa Arab ke bahasa Latin. Separoh lebih berkaitan dengan matematika,
astronomi, dan bidang sains lainnya; sepertiga berkaitan dengan kedokteran dan
sisanya tentang filsafat dan logika. Bidang-bidang keilmuan inilah yang
memberikan fondasi bagi munculnya renaissance (kelahiran kembali peradaban
Barat) di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13 M.
Bukan
hanya dalam bidang penerjemahan Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi,
Oxford University yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama
sesudah itu, juga menjiplak model kampus-kampus ternama di Andalusia.
Dengan
bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Islam dan karakter Islam itu sendiri,
Wallace-Murphy mengajak koleganya di dunia Barat untuk mengakui jasa-jasa besar
Islam terhadap Barat. Lebih dari itu, dia mengimbau, agar Barat mampu melihat
Islam dengan lebih jernih dan jangan bernafsu untuk mengintervensi urusan dunia
Islam. Termasuk dalam soal toleransi dan penghormatan terhadap budaya dan
pemeluk agama lain. Terhadap pertanyaan, “Can the world of Islam solve its own
problems?”, apakah dunia Islam mampu menyelesaikan masalahnya sendiri,
Wallace-Murphy menjawab tegas: Itu telah terbukti di masa lalu, dan berkat
prinsip-prinsip ajaran Islam yang penuh toleransi terhadap budaya dan agama
lain, maka Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Bahkan,
ditambahkannya, karena keyakinan kaum Muslim yang tidak tergoyahkan dan hasrat
besar akan kemerdekaan, maka ”Siapa atau apa yang akan mampu menghentikan
mereka?” Agama Islam, katanya, telah memberikan inspirasi yang begitu besar di
masa lalu, dan mereka akan meraih kejayaan kembali di masa depan di berbagai
bidang yang mereka telah memiliki pengalaman hebat di banding yang lain, dalam
soal toleransi, kreativitas, dan penghormatan. Lalu, ia menutup bukunya dengan
sebuah imbauan kepada masyarakat Barat: “Berikanlah penghormatan kepada kaum
Muslim, sebagaimana mereka telah memperlihatkan kepada kita, saat mereka –
tanpa syarat – membagi buah kebudayaan mereka kepada kita.” Kata
Wallace-Murphy, “Grant them the same respect that they have shown to us when
they, unconditionally, shared the fruits of their culture with us”.
Sains
Islam
Ilmu
pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dan dunia Islam ketika itu
berhasil mentransfer dan mengembangkan ilmu pengatahuan yang dikembangkan oleh
peradaban lain, seperti Yunani, India, Cina, Persia, Babilonia, dan sebagainya.
Tetapi, para ilmuwan Muslim tidak begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan
Yunani atau yang lain. Bahkan, menurut pakar sains Islam, Prof. Cemil Akdogan,
ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang ”khas Islam”, yang
berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Yunani atau peradaban lain.
Dalam
bukunya, Science in Islam and the West, (ISTAC-IIUM, 2008), Cemil Akdogan
menjelaskan, bahwa sains Islam adalah produk dari pendekatan tauhidik,
sedangkan sains Barat modern adalah produk dari pendekatan dualistik. Dalam
Islam, sains tidak terpisahkan dari Islam. Sedangkan di Barat, sains bersifat
”bebas Tuhan” (godless).
Ironisnya,
ketika Barat modern mengambil sains dari dunia Islam, mereka mensekularkan
sains tersebut dan membebaskan sains dari campur tangan agama. Ini adalah salah
satu produk sekulerisme yang memandang alam sebagai hal yang semata-mata
”profane” dan tidak terkait dengan unsur ketuhanan. Karena itulah, mereka
memandang bahwa manusia boleh memperlakukan alam sesuai dengan kehendak mereka
sendiri. Prof. Naquib al-Attas menilai, sains sekular Barat inilah sumber
kerusakan terhadap dunia saat ini, bukan hanya kerusakan manusia tetapi juga
dunia binatang, tumbuhan, dan alam mineral.
Prestasi-prestasi
besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah terpisah dari
dorongan besar yang diberikan Kitab Suci al-Quran dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Al-Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap
aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata
“al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Ditegaskan dalam QS 3:18-19,
orang-orang yang berilmu harus mampu menemukan dua kesimpulan: (1) Tidak ada
Tuhan selain Allah, (2) ad-Din (agama) dalam pandangan Allah hanyalah Islam.
Dengan
semangat inilah, kaum Muslim mampu menaklukkan dunia ilmu. Sepenggal sejarah
peradaban Islam yang digambarkan oleh Tim Wallace-Murphy dalam bukunya,
memperlihatkan bagaimana “rahmatan lil-alamin” memang pernah terwujudkan ketika
umat Islam mengikuti dan menerapkan perintah al-Quran untuk belajar dan bekerja
keras. Umat Islam menjadi umat yang disegani dan dicontoh oleh peradaban lain.
Satu
pelajaran penting yang dapat kita ambil dari buku Tim Wallace-Murphy itu adalah
kesadaran akan hakekat ajaran Islam itu sendiri, yang berhasil diserap dan
diaplikasikan oleh kaum Muslim, sehingga menghasilkan sebuah peradaban yang
tinggi. Umat Islam tidak pernah menutup diri dari peradaban lain. Unsur-unsur
positif dari mana pun bisa diambil. Tetapi, bukan pandangan hidup syirik yang
bertentangan dengan ajaran Tauhid.
Dalam
kaitan inilah, kita tidak habis pikir dengan banyaknya cendekiawan yang ”silau”
dengan peradaban Barat; yang bangga dan rajin melantunkan lagu-lagu
sekularisme, liberalisme, feminisme, pluralisme agama, dan isme-isme lain yang
hanya menyeret kaum Muslim menjadi ”satelit Barat”. Karena itulah, sangatlah
ajaib, bahwa banyak perguruan Tinggi Islam saat ini, misalnya, lebih bangga
menerapkan metode hermeneutika Barat dalam menafsirkan al-Quran ketimbang
menggunakan Ilmu Tafsir al-Quran itu sendiri.
(Depok,
2 Rabiulakhir 1429 H/9 April 2008).
0 Komentar