Secara sadar, the funding father negeri ini tepat pada 22 Juni 1945 telah menetapkan sebuah rancangan kepastian berdirinya sebuah bangsa. Tak sekadar sebuah peryantaan keputusan itu lahir yang ditetapkan dengan nama Piagam Djakarta oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sejarah lahirnya dasar negera yang
kemudian disepakti dengan istilah Pancasila tidak bisa dipisahkan dari Piagam
Jakarta, yakni dokumen yang menengahi pandangan golongan agamis dengan golongan
nasionalis-kebangsaan. Panitia sembilan yang beranggotakan Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A.
Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin, menyusun Piagam
Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945.
Tak sekadar pandangan dasar Negara.
Di dalam Piagam Djakarta itu pun juga ada pernyataan kemerdekaan sebuah bangsa.
Sebuah teks proklamasi yang telah disepakati dalam satu klausul di Piagam
Djakarta
“ …Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,
dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perdjuangan
pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu-gerbang
Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas
berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh
keinginan-luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia
dengan ini menjatakan kemerdekaannja…”
Jadi,
sudah tegas, sikap bangsa Indonesia akan menyatakan kemerdekaan sudah
disepakati oleh BPUPKI dan sesungguhnya teks Proklamasi Kemerdekaan yang telah
disepakati oleh pendiri bangsa ini lebih kuat ketimbang teks Proklamasi
Kemerdekaan yang dibacakan pada saat 17 Agustus 1945. Walallahu’alam, mengapa
kok tiba-tiba muncul teks Proklamasi Kemerdekaan tanpa mengambil dari isi
Piagam Djakarta.
Lebih
lanjut para perumus itu pun menegaskan dasar Negara melalui teks Piagam Djakarta
itu sebagai berikut:
……….Kemudian
dari pada itu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk
memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada:
keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknja; menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam
permusjarawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh Rakjat Indonesia…..
Sebagaimana tulisan Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, MA dalam tulisannya
yang berjudul Piagam Jakarta Bagi Umat Islam Indonesia, Piagam Jakarta, adalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tujuh kata yang menerangkan sila
ketuhanan. Tadinya sila tersebut berbunyi, "....dengan berdasar kepada: ke
Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,"
kemudian berubah menjadi "....berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa." Penghilangan tujuh kata itu menurut proklamator Moh.Hatta setelah
beliau mendapat informasi pada tanggal 17 Agustus 1945 sore dari seorang opsir
Jepang yang tidak beliau ingat namanya yang menyatakan bahwa orang Katolik dan
Kristen dari bagian timur tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, bila
tujuh kata itu tidak dicoret dari konstitusi. Piagam yang ditandatangani pada
tanggal 22 Juni 1945 itu, akhirnya dirubah pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan
alasan yang tidak jelas sumbernya ini.
Rasanya tidak masuk akal bila orang
Kristen dan Katolik menolak piagam itu, karena dua dari sembilan orang yang
menandatangani Piagam Jakarta terdiri dari wakil-wakil ummat Kristen dan
Katolik (Mr. AA Maramis dan Mr. J. Latuharhary). Lagi pula piagam itu hanya
berbicara tentang kewajiban ummat Islam dan tidak berhubungan samasekali dengan
kepentingan ummat Kristen.
Karena alasan-alasan yang tidak
jelas itu pula, maka wakil-wakil ummat Islam dalam Konstituante hasil pemilu
demokratis tahun 1955 berusaha untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam
konstitusi permanen Indonesia. Setelah bersidang lebih kurang dua tahun di
Bandung, wakil-wakil rakyat Indonesia hampir saja sampai kepada kata sepakat untuk
konstitusi baru Indonesia. Sayang sekali, Presiden Soekarno sebagai nasionalis
bertindak gegabah dengan membubarkan Konstituante dan membentuk DPR GR (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong) hasil penunjukan serta mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli yang intinya kembali kepada UUD 1945. Dalam dekrit tersebut
disebutkan "sekalipun tujuh kata dihilangkan, tetapi menjiwai UUD 1945 dan
merupakan bagian yang tidak terpisah dari konstitusi". Jiwa Piagam Jakarta
inilah yang telah melahirkan undang-undang Islam dalam negara Republik
Indonesia sampai sekarang.
Saatnya sebagai bangsa kita harus
tegak dan jernih melihat sejarah bangsa ini. Jangan saling berkhianat dan
menelikung sejarah bangsa ini. Akbar Muzakki
0 Komentar