Perjuangan Mohammad Natsir menjalankan politik luar negeri Indonesia ditunjukkan dalam perjuangannya membebaskan negeri-negeri di Afrika hingga Baitul Maqdis, ia telah merintis pembentukan kekuatan ketiga di tengah percaturan politik global
[Ilustrasi] Hubungan erat: M Natsir
bersama Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini (Mufti Palestina) dan Hassan Al-Hudaibi
adalah Mursyid Am Ikhwanul Muslimin
TANGGAL 17 Juli 2022 bertepatan dengan 114 tahun pahlawan nasional
Republik Indonesia Mohammad Natsir. Natsir adalah
sosok yang lengkap sekaligus langka bagi bangsa Indonesia.
Selain ulama dan pendidik, ia juga
dikenal politikus, pejuang kemerdekaan, sekaligus tokoh perdamaian global. Di
antara berbagai perspektif dalam melihat sosok Natsir, satu hal yang jarang
diungkap adalah peran Natsir dalam panggung politik luar negeri Indonesia.
Selama ini, jejak juang mantan Perdana
Menteri Indonesia itu masih lebih banyak dibahas dalam sudut pandang politik
domestik. Situasi ini akhirnya berdampak pada sosok Natsir yang secara umum
hanya ditempatkan sebagai local actor alih-alih international
actor.
Hal ini sangat dimaklumi karena sejarah
telah berubah. Kebijakan luar negeri Indonesia di awal kemerdekaan yang
sangat outward-looking kini berubah menjadi inward-looking.
Kondisi ini secara tidak langsung membuat
sosok Natsir dalam perspektif akademik -termasuk dalam kajian keIslaman dan
keumatan- lebih banyak ditempatkan dalam konteks isu dalam negeri. Padahal jika
kita berkaca kepada sejarah, Natsir telah menorehkan peran diplomasi Indonesia
dan dunia Islam yang sangat luar biasa.
Bahkan sebelum Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, Natsir sudah berjuang melawan penindasan global untuk
mewujudkan perdamaian dunia: sebuah prinsip yang sangat melekat dengan fondasi
politik bebas aktif Indonesia. Tak heran, Natsir dijuluki sebagai tokoh dunia
Islam atas perjuangannya di kancah internasional.
Pada tahun 1941, Natsir yang saat itu
berusia 33 tahun, sudah menulis penindasan Israel terhadap Baitul Maqdis dengan
perspektif hukum international. Natsir saat itu mengkritik sikap perdana
menteri Afrika Selatan periode 1919-1924 dan 1939-1948 Jan Smuts yang
menyebut Balfour Declaration (Deklarasi Balfour) telah sesuai dengan hukum
internasional, Natsir menegaskan bahwa hukum internasional tidak dapat dipakai
untuk melegitimasi penjajahan dan pelanggaran terhadap kedaulatan suatu bangsa.
“Waktu Roosevelt dan Churchill berdjumpa
ditengah Lautan Atlantik, keduanja telah sepakat bahwa jang dinamakan
“internationaal recht” itu berdasar kepada beberapa sjarat2. Salah satunja,
geen territoriale veranderingen die niet in overeenstemming zijn met de
vrijelijk geuite wenschen der betrokken volken”, jakni: tidak boleh diadakan
perubahan batas dan daerah, jang tidak disetudjui dengan kerelaan jang
dinjatakan dengan se-merdeka2-nja oleh bangsa2 jang bersangkutan,” tulis Natsir
dalam artikel berjudul ‘Djumlium Balfour – Mac Mahon.’ (Majalah Pandji Islam 1941).
Natsir juga meyuarakan prinsip politik
bebas aktif dalam isu Palestina yang tidak pro Amerika maupun Rusia karena bagi
Natsir, keduanya berperan dalam mendukung eksistensi Israel di Timur Tengah.
Saat mengkritik AS, Natsir mempertanyakan dualisme AS dalam merespons isu HAM
yang dinilainya diam saat melihat penjajahan Israel atas tanah Palestina. Dalam
bukunya Masalah Palestina (1971), Natsir menulis:
“Diwaktu membitjarakan Israel ini, dia
tak pernah menjebut istilah-istilah seperti hak azazi manusia. Djadi berlainan
sekali antara apa jang diomongkan dan apa jang dimaksud dengan omongannja.
Tidak dapatlah diharapkan Amerika akan membela orang-orang jang tertindas di
Palestina itu. Tidak mungkin. Sebab sedjarah lahirnja Israel itu adalah dengan
bantuan dan inisiatif dari negara-negara besar itu sendiri didalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Mana mungkin dia akan menghapuskan anaknja. Jah tidak bisa dan
tidak akan mungkin.”
Sebaliknya, Natsir juga mengkritik
tindakan Rusia dalam menyikapi problem Israel di Timur Tengah. Natsir
mengkritik Rusia yang tidak berani berhadapan langsung dengan Israel karena
tidak rela jika Israel dienyahkan. Bagi Natsir, Rusia dan AS sama-sama berpihak
kepada Israel hanya beda acara.
“Rusia djuga begitu. Bukankah Rusia
memberikan sendjata kepada Mesir? Namun demikian dia tidak akan rela apabila
Israel dihilangkan. Tidak bisa…..! Dia mengakui Israel. Paling banjak dia
mengatakan: ‘Kembali kegaris kedudukan tanggal 5 Djuni. Demikian paling banjak
jang dapat dikatakannja. Akan menghapus Israel jang sudah dilakukan dengan
tjara jang tidak halal, hanja dilegalisir sepihak oleh PBB, dan dengan
memungkiri segala djandji dalam perang dunia ke-II, njata tidak mungkin. Djadi
dalam strateginja semua negara-negara besar itu, terhadap Israel tetap sama.
Perlainanja hanjalah dalam taktiknja sadja.”
Sikap
Natsir ini telah sejalan dengan garis politik luar negeri Indonesia yang
dikumandangkan oleh Bung Hatta dalam pidatonya Mendajung Antara Dua Karang pada
tahun 1948 bahwa Indonesia tidak boleh menjadi objek kepentingan dari dua blok
besar AS dan Uni Soviet. Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri dan menjadi
subjek yang menentukan arah perjuangannya sendiri.
Dalam tulisannya Indonesia’s
Foreign Policy di Majalah Foreign Affairs (1953),
Bung Hatta juga menjelaskan politik bebas aktif Republik Indonesia bukanlah
kebijakan netral. Tapi merupakan kebijakan “independen”. Dan yang dimaksud
dengan aktif adalah upaya untuk bekerja secara energik demi memelihara
perdamaian dan merelaksasi ketegangan yang ditimbulkan oleh kedua blok itu,
melalui usaha-usaha yang sedapat mungkin didukung oleh mayoritas anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Tidak hanya di Baitul Maqdis, perjuangan
Mohammad Natsir untuk menjalankan politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif juga ditunjukkan dalam perjuangannya membebaskan negeri-negeri di Afrika
utara dari cengkaraman penjajahan. Pada tahun 1954, Natsir
menelurkan resolusi Muktamar VII Partai Masyumi yang mengangkat upaya diplomasi
terhadap kemerdekaan Maroko, Tunisia, Aljazair yang saat itu dijajah oleh
Prancis.
Kala itu Masyumi mendesak agar PBB dan
anggota-anggotanya menggunakan pengaruhnya untuk mengakhiri penderitaan rakyat
di negara-negara Afrika itu. Natsir pun menjadi Ketua Komite Solidaritas
Perjuangan Aljazair dan Badan Pembantu Perjuangan Rakyat Tunisia.
Di Badan perjuangan bagi Tunisia ini,
Natsir melibatkan para pemimpin parpol lainnya seperti Partai Kristen Indonesia
dan Partai Sosialis Indonesia agar urusan perjuangan bangsa Tunisia ini
menjadi foreign policy seluruh lapisan bangsa Indonesia.
Sebuah kebijakan dan butir-butir resolusi kebijakan luar negeri yang hampir tak
saya temui, bahkan di era partai-partai modern Indonesia pada saat ini.
Tak heran, tahun 1957, Natsir menerima
bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine
Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika
Utara.
Urusan politik luar negeri bebas
aktif Natsir tidak hanya menjadi domain isu Timur Tengah, tapi juga isu
Asia-Pasifik. Jika selama ini kita mengenal Mosi Integral Natsir yang berhasil
melahirkan NKRI, di pentas Asia-Pasifik kita juga mengenal Mosi
Vietminh Natsir.
Dalam buku Biografi Mohammad
Natsir (2019), Lukman Hakim menjelaskan pada permulaan tahun 1950,
salah satu persoalan antarbangsa yang menonjol di kawasan Asia adalah Perang
Vietnam. Saat itu, Vietnam Utara atau Vietminh menjadi rebutan blok Timur dan
Barat.
Dalam konteks politik internasional di
masa itu, Vietminh adalah gerakan komunis yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat di Saigon yang berpihak kepada Barat. Indonesia pun diseret
untuk pro antara blok Komunis maupun blok Kapitalis.
Sakirman dari PKI mengusulkan agar
pemerintah Indonesia segera menjalin hubungan diplomatik dengan Vietminh,
yang artinya lebih berpihadak kepada blok Soviet. Sedangkan Natsir mengusulkan
agar pemerintah Indonesia untuk tidak terburu-buru mengakui Vietminh dan
seharusnya mengumpulkan informasi yang lengkap terlebih dahulu.
Natsir juga mendesak Inter Asian
Conference untuk berkumpul sebagai kekuatan ketiga antara blok Soviet
dan AS untuk merespons persoalan ini. Natsir benar-benar menjalankan
diplomasi bebas aktif yang tidak menguntungkan Soviet, tapi juga tidak
memberikan kue kepada Amerika.
Mosi Natsir ini akhirnya dipilih oleh
anggota Dewan saat itu. Ridwan Saidi menyebut, lewat mosinya, Natsir telah
merintis pemikiran ke arah pembentukan kekuatan ketiga di tengah percaturan
politik global.
Pada tahun 1961, pemerintah Indonesia
mengeluarkan garis-garis besar politik luar negeri Indonesia berdasarkan
Keputusan Dewan Pertimbangan Agung yang di antaranya adalah; 1. Mengabdi pada
perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia. 2. Mengabdi pada perjuangan
untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia. 3. Mengabdi pada
perjuangan untuk membela perdamaian dunia.
Natsir pun terlibat dalam upaya membangun
rekonsiliasi antara Indonesia dengan negara-negara lainnya seperti Malaysia dan
Arab Saudi, meski Natsir sudah tidak di pemerintahan, bahkan berseberangan
dengan Orde Baru. Ini semata-mata dilakukan Natsir karena kecintaannya terhadap
persatuan dunia Islam.
Tentu garis perjuangan diplomasi ini
tidak boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia. Founding fathers kita
telah meletakan semangat politik bebas aktif yang seharusnya menjadi prinsip
Indonesia dalam menentukan sikap di tengah konstelasi internasional. Dan itu
bisa kita mulai dengan meneladani politik bebas aktif Indonesia yang telah
diwarisi oleh Mohammad Natsir dan jasa diplomasinya bagi NKRI.*
Pizaro, Pengajar HI Universitas Al-Azhar
Indonesia
Sumber:https://hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2022/07/19/233603/mohammad-natsir-dan-politik-bebas-aktif-indonesia.html
0 Komentar