oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Isu aliran-aliran sesat yang ada di
Namun, seperti biasa, yang paling sewot adalah para aktivis liberal. Adalah Guntur Romli, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang mencoba untuk ‘mementahkan’ keputusan dan fatwa MUI tersebut. Lewat tulisannya di Jawa Pos dia menyatakan bahwa fatwa sesat yang dikeluarkan MUI adalah “sesat”. Dengan bahasa lain, MUI, yang nota bone kumpulan ulama itulah yang justru “sesat”.
Dalam tulisannya itu, Guntur menuduh bahwa MUI hanya melakukan “penyesatan” dan “pengkafiran”, bukan melakukan bimbingan. Artinya,
“Kriteria penyesatan versi mereka harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan etika dakwah Islam. Dalam akidah Islam, hak pengimanan dan penyesatan hanya milik Allah. Ketika wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad terhenti dengan meninggalnya Nabi, semua orang atau kelompok memiliki derajat yang sama, yaitu berusaha memahami wahyu tersebut.”
Ini adalah argumentasi yang sangat rancu. Justru yang dilakukan oleh aliran sesat itu malah melanggar konsep Al-Qur’an dan Sunnah. Allah sudah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad adalah penutup seluruh nabi (khatam al-nabiyyin) (Qs. Al-Ahzab [33]: 40).
Aliran mana pun yang mengaku memiliki “nabi baru” atau “nabi yang lain” selain Nabi Muhammad SAW maka alirannya sesat, tidak benar. Saudara Guntur mungkin lupa bahwa dia juga pernah bersyahadat bahwa, “Tidak ada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad itu adalah utusan Allah”. Apakah kesaksian ini akan dilanggar gara-gara membela “kebebasan berpikir” yang “kebablasan”? Atau, jangan-jangan dia belum pernah mengucapkannya? Wallahu’alam
Dalam sahih al-Bukhari-Muslim diceritakan bagaimana malaikat Jibril mengajarkan rukun iman kepada Nabi SAW di depan para sahabatnya. Malaikat Jibril juga mengajarkan rukun Islam kepada kita. Islam itu pondasinya ada
“Derajat mereka hanya sampai pada pencarian kriteria “benar dan salah” dalam menentukan ajaran agama, tidak sampai pada derajat mengetahui “iman dan kafir”. Wilayah “benar dan salah” adalah lahan manusia yang menjadi bidang garapan “ijtihad”, yakni usaha manusiawi yang sungguh-sungguh untuk memahami. Dalam hal itu pun, hakikat kebenarannya masih sampai pada tahap “kebenaran manusiawi”. Bukan “kebenaran ilahi”.”
Kalangan liberal sering kali menggunakan bahasa-bahasa dan istilah berbelit-belit. Jika sepintas, kelihatannya indah dan masuk dalam akal. Padahal dalah masalah aqidah, sudah jelas dan tidak berbelit-belit. Hukum benar dan salah itu jelas. Haq dan batil juga jelas. Halal dan haram juga jelas.
Mungkin Guntur sangat ‘geram’ kepada pendapat dan fatwa MUI. Sehingga dia menulis dengan “membabi-buta”.
Ia menyarankan agar MUI hanya boleh menyelidiki apakah aliran-aliran sesat itu “benar atau salah”. MUI tidak boleh menyatakan “iman dan kafir”. Lalu apa gunanya Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik, orang-orang kafir dan orang-orang beriman jika tidak untuk diketahui?
Kaum liberal selalu menonjolkan karakteristik mereka bahwa segala sesuatu itu masih “nisbi” (relatif), karena itu, hal-hal yang sudah jelaspun, dianggap boleh “diijtihadi” lagi. Dengan kata lain, firman Allah pun, masih belum dianggap final.
Pewaris Nabi
Dalam Islam, kedudukan ulama sangat dijunjung tinggi dan dihargai. Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan pernah mengatakan, wajib hukumnya memuliakan ulama Muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi. Makan, kata beliau, barangsaiapa yang meremehkannya, mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140).
Dalam Al-Quran
Siapa yang “yang terpilih” itu?, Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, mereka adalah para ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah memperkuat dengan mengatakan, “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya’ (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)
Kalangan liberal dan orang-orang seperti
Kalau pendapat para ulama itu semuanya kita masukkan dalam ‘keranjang’ sampah. Dan semua orang harus mengikuti pendapat aktivis liberal yang cenderung menisbikan sesuatu alias alias relatif, lalu pendapat yang mana yang harus diikuti?.
Sampai detik ini kita tidak pernah membaca bahwa mereka berijtihad bahwa akan ada nabi baru selain Nabi Muhammad SAW. Mereka malah berijma‘ bahwa orang yang mengaku “nabi” adalah kafir, keluar dari Islam. Nabi-nabi palsu sejak zaman Nabi SAW pun diperangi. Musailamah al-Kadzdzab adalah bukti konkret dalam kasus ini. Itu di jaman Nabi.
Anehnya,
Benar sekali! MUI pun hanya mengkhumui yang zahir, bukan yang batin. Karena secara lahir aliran sesat itu sesat, maka dia disesatkan. Kenapa mesti diributkan?. Penulis pun boleh menghukumi saudara
Tapi ingat, bahwa 10 kriteria sesat yang dikeluarkan MUI tidak bertentangan dengan rukun Islam. Jadi tidak ada alasan bahwa kriteria itu akan menutup “pintu dialog” versi
Salah Faham
Dalam poin kesepuluh kritertia MUI tertulis, bagi mereka, kriteria kelompok sesat adalah “mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya” .
Hakikat poin itu masih membuka kesempatan boleh “mengafirkan sesasama Muslim dengan dalil syar'i”. Padahal, yang seharusnya ditradisikan adalah larangan mengafirkan sesama Muslim meskipun bersenjata dalil syar'i karena selama ini tidak ada pengafiran tanpa digunakannya dalil syar'i. Misalnya, Khawarij yang mengafirkan Imam Ali Ra. Mereka mengunakan dalil-dalil syar'i, mengutip ayat-ayat Al-Quran dan Hadis.”
Di sini, kelihatannya
Dalam riwayat lain disebutkan ‘arrafan’ (mendatangi orang pintar). Konon lagi yang mengaku sebagai “nabi”. Ini logika apa?! Khawarij memang mengkafirkan Imam Ali lewat dalil-dalil syar‘i. Tetapi dalil-dalil itu dipahami secara terbalik, diplintir sedemikian rupa agar sesuai dengan hawa nafsunya. Oleh karena itu, Imam Ali menyatakan, “Kalimatul haqqi yuradu biha batil” (Kata yang benar, tetapi maksudnya busuk (batil)). Ini sama dengan Mirza Ghulam Ahmad, pencentus Ahmadiyah. Dia juga menggunakan dalil syari‘i ketika mengaku sebagai “nabi”.
Firman Allah dalam surah al-Shaff (Qs. 61: 6) diklaim mendukung ‘kenabiannya’. Kata “Ahmad” dalam surah itu ditafsirkan sebagai “Ahmad” dirinya.
Padahal itu adalah nubuwat dari nabi ‘Isa as., yang meramalkan kehadiran Nabi Muhammad SAW. Tentu saja maksud Mirza sangat baik, tapi tetap batil. Tidak dapat dibenarkan.
Penulis kira, mendukung sebuah pemikiran dan aliran pun kadang harus cerdas. Jika tidak, kita malah terjebak dalam ambiguitas pemikiran. Bukan hanya itu, kita juga justru akan terjebak dalam pengkafiran pihak lain. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []
- Penulis adalah Alumnus Universitas Al-Azhar. Sekarang menjadi staf pengajar di Pon. Pes. Ar-Raudhatul-Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis juga peminat studi Al-Qur’an, Hadits dan Kristologi. [www.hidayatullah.com]
0 Komentar