Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Martin Bruinessen: Di MUI Masuk juga Kelompok Keras

Pembatalan acara ceramah guru kaum liberal, Nasr Hamid Abu Zayd masih menyisahkan kekecewan kaum liberal. Baca wawancara Martin Bruninessen

Keberatan kelompok Islam atas kedatangan tokoh yang juga banyak dijadikan guru kaum liberal di Indonesia, Nasr Hamid Abu Zayd, menyisahkan banyak hal. The Wahid Institut, salah satu lembaga yang bergerak dalam bidang liberalisme pemikiran di Indonesia langsung menggelar konferensi pers.

Dengan menghadirkan sejumlah tokoh agama dan kelompok pro-demikrasi, Gus Dur mengatakan, pencekalan yang menimpa Nasr Hamid Abu Zayd adalah salah satu akibat dari wewenang MUI yang dianggap tinggi oleh Presiden RI. “Presiden kok ngaku akan nuruti keputusan MUI. Masak, MUI ditinggikan posisinya sederajat dengan Mahkamah Agung,” demikian kata Gus Dur sebagaimana dikutip situs the WAHID Institute.

Sementara itu, seorang Indonesianis, Prof. Dr. Martin van Bruinessen, juga ikut berkomentar. Dalam sebuah wawancaranya dengan Radio Netherlands, Ketua ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World), Universitas Utrecht Netherlands, Belanda ini mengaku kaget.

Martin yang juga penulis buku “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1999) ini seolah menuduh, yang menjadi biang masalah, karena orang-orang yang berada di Mejelis Ulama Indonesia (MUI), selain ormas-ormas Islam besar, juga ada kelompok yang dianggapnya “keras” seperti; MMI dan Hizbut Tahrir.

Di bawah ini, adalah pandangam Martin seputar pelarangan Nasr Hamid Abu Zayd yang diambil dari Radio Nederland;

Siapa sebenarnya tokoh Nasr Hamid Abu Zayd ini?

Nasr Abu Zayd seorang ilmuwan ahli sastra, yang memakai metode analisa sastra (hermeneutika) menganalisa bahasa Al-Quran. Itu barangkali juga sebabnya ada orang yang kurang senang, karena merasa Al-Quran suatu teks yang terlalu istimewa, tidak bisa dianalisa. Pada hemat saya, justru pendekatan Nasr Hamid Abu Zayd membuka peluang baru menganalisakan kembali Al-Quran dalam konteks sejarahnya.

Berarti itu bisa menjadi alasan mengapa Nasr Abu Zayd dilarang berbicara di Seminar Internasional Islam di Malang?

Ya, ini sangat mengherankan. Pernah ada satu kasus di Mesir, di mana seseorang menuntut beliau karena analisa kritis bahasa Al-Quran itu. Ia menuduh beliau sudah menjadi murtad, karena memakai metoda Barat menganalisa Al-Quran. Pernah juga ada suatu perkara di pengadilan, di mana pengadilan negeri memutuskan beliau memang murtad dan dinyatakan cerai dari isterinya yang masih Muslimah. Beliau kemudian pindah ke Belanda.

Tetapi beliau sering diundang. Sebelumnya sudah berulangkali datang ke Indonesia. Malah waktu Abdurahman Wahid masih presiden Indonesia, juga bertemu dengan presiden. Dan ada lembaga penelitian Islam yang menganggap beliau justru punya sumbangan sangat penting untuk memperbaharui pemikiran Islam.

Melihat larangan terhadap Nasr Abu Zayd, apa yang bisa dikatakan tentang kondisi Islam di Indonesia? Apakah Islam di Indonesia kurang bisa menerima kelompok-kelompok liberal? Dan apakah ini berarti kemunduran bagi Islam Indonesia?

Saya tidak tau apa alasan Menteri Agama, tetapi kalau dilihat beberapa tahun terakhir, MUI melarang atau mengkafirkan aliran-aliran yang mereka cap sesat. Kita lihat, Islam yang dulu di Indonesia itu paling toleran, terbuka sesama Muslim atau bangsa yang non-Muslim itu, belakangan ini, wacana Islam yang dominant menjadi sesat yang kaku yang hanya menganggap ada satu kebenaran dan tidak ada penafsiran lain yang menganggap benar. Itu satu penyempitan wacana Islam yang sangat saya sayangkan.

Apakah menurut Anda, di Indonesia sekarang kurang menerima kelompok-kelompok liberal seperti Nasr Abu Zayd?

Saya kira umat Islam yang ada di Indonesia belum banyak berubah. Tetapi sekarang orang yang menentukan wacana dominant agak berbeda. Dulu, mungkin karena situasi politik ada beberapa hal yang tidak bisa diungkapkan secara terbuka. Mungkin toleransi Indonesia yang dulu kita kagumi sebagai orang dari luar, mungkin sebagian dari toleransi itu dipaksakan oleh satu rezim yang tidak membolehkan konflik terbuka. Sehingga, orang lain yang tidak setuju dengan paham itu ya harus diam saja. Atau mengungkapkan keberatan mereka dengan bahasa yang sangat halus.

Sedangkan sekarang, keperluan itu sudah tidak ada lagi. Orang yang tidak puas terhadap sesuatu berani bicara dan bisa bicara dengan sangat keras. Orang yang masuk dalam MUI itu, selain ormas-ormas Islam yang besar, yang dari dulu ada, juga kelompok yang lebih radikal, kelompok Majelis Mujahidin (MMI) masuk, Hizbut Tahrir masuk, ada beberapa lain yang masuk. Mereka membawa wacana yang jauh lebih keras dan tidak menerima perbedaan pendapat. Tidak bisa menerima bahwa orang yang berpikir lain dari mereka masih bisa menjadi Muslim yang tulus.

Lalu apakah larangan terhadap Nasr Abu Zayd dalam seminar itu adalah kemunduran bagi Islam di Indonesia?

Saya kira ya. Dulu, Indonesia adalah salah satu Negara Muslim yang terbesar. Negara Muslim, di mana berbagai golongan dalam Islam bisa saling bertemu. Indonesia dulu dikagumi oleh ‘aktivis Islam’ dari Barat, dari Turki, dari Arab dan dari Iran dan Pakistan, mereka mengakui Indonesia karena mempunyai satu peluang untuk diskusi terbuka, berbagai sisi, berbagai pendapat bisa diungkapkan, bisa berkonfrontasi tanpa orang berkelahi. Tetapi sekarang, arus dominan, ingin mendiamkan suara-suara yang tidak mereka setujui. Dan itu merupakan suatu pemiskinan. Dan itu akan mematikan dinamika pemikiran Islam di Indonesia, kalau begitu terus. [rnl/www.hidayatullah.com]

Posting Komentar

0 Komentar