Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Mereka Membawa Misi Zionis

Wajah Chalid Mawardi masih tak nyaman ketika banyak wartawan menemuinya kala itu. Chalid Mawardi, ketua Bidang Politik PBNU kala itu, baru saja kaget. Maklum, ketika itu, jutaan masyarakat Muslim Indonesia dikejutkan dengan hadirnya tokoh Indonesia, yakni; Abdurahman Wahid (Gus Dur), Habib Chirzin, dan Djohan Effendi sesaat kunjungan mereka ke Israel. Tiga orang ini, baru saja menemui wakil Menlu Israel dan mengadakan pembicaraan bahkan manganjurkan pentingnya bagi Indonesia segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Chalid menilai saran Gus Dur itu terlalu dini dan gegabah. "Israel itu negara imperialis, penjajah. Ia masih menduduki wilayah Arab," kata Chalid dikutip Republika, Kamis, 10 November 1994.

Menurut Chalid, membuka hubungan dengan Israel adalah bertentangan dengan pembukaan UDD 1945. Ia juga punya alasan lain. Menurutnya, Israel melanggar hak asasi manusia dan melakukan diskriminasi terhadap penduduk Arab dan pemukim Yahudi di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

"Jadi tak ada urgensinya membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Malah akan merugikan," tegasnya.

Sementara itru, Menurut wakil ketua PBNU Syaiful Mujab, tak ada satu dalih pun yang dapat membenarkan kepergian Gus Dur ke Israel. Syaiful menuntut agar Syuriah PBNU tidak cuma menegur Gus Dur. "Entah apa namanya, pokoknya harus ada tindakan terhadap Gus Dur," kata Syaiful.

April 2007, 13 tahun setelah kejadian itu, gelombang protes dari kantong-kantong ummat Islam muncul di mana-mana. Mereka, antara lain dari Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA), dan Forum Umat Islam (FUI) yang merupakan gabungan berbagai 40 ormas Islam men olak beramai-ramai rencana kehadiran Delegasi Parlemen Israel (Knesset) ke Sidang Inter Paliamentary Union (IPU) di Nusa Dua Bali, Indonesia.

Wakil 40 ormas Islam ini beramai-ramai mendatangi DPR-RI dan diterima Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno guna melakukan penolakan gelegasi Israel itu yang akan datang ke Bali pada 29 April-4 Mei 2007.

Tak sekedar mendatangi DPR, FUI dan elemen Islam menggelar Tabligh Akbar di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Sejumlah pembicara ditampilkan untuk menentang kedatangan delegasi parlemen Israel ini. HAdir Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, Ketua MPR-RI Dr Hidayat Nur Wahid, Ketua MUI dan Ketua Dewan Dakwah sekaligus Ketua KISDI, KH Khalil Ridwan Lc, Ridwan Saidi, Ketua BKSPP KH Amin Noer, Al Muzamil Yusuf (DPR), Munarman SH (mantan ketua YLBHI), Fadli Zon (IPS), Ferry Noor (Kispa), M Al Khaththath (FUI), Muh Fadzlan (Mubaligh asal Papua) dan beberapa tokoh Islam. Di berbagai daerah, acara yang sama serentak terjadi.

Melihat reaksi masyarakat ini, pada akhirnya, delegasi Israel batal menghadiri Inter Parliamentary Union (IPU). Alasannya, Indonesia, menolak setting keamanan yang diajukan dan telah disusun oleh Shin Bet, dinas keamanan Israel yang bertugas mengamankan para pejabat negara.

‘Dekat Yahudi’

Kasus-kasus serupa, sering menjadi masalah di dalam Negeri. Meski demikian, tak banyak orang mengambil hikmah dan pelajaran. Sebagian orang, baik atas insiatif sendiri atau undangan pihak Israel sering “menggunting dalam lipatan” untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan Israel.

Namun, ibarat pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, hubungan atau kunjungan diam-diam itu, tiba-tiba mencuat ke publik. Baru-baru ini, tepatnya Jumat, (8/12) lalu, serombongan wakil cendiawan Muslim Indonesia ketahuan mengunjungi Israel.

Dr. Syafiq Mughni, Ketua Pimpinan Wilayah (PWM) Muhammadiyah Jawa Timur, salah satu pengurus PB NU, Abdul A’la, CEO, juga LibForAll Foundation, C.C. Holland Taylor adalah nama-nama yang banyak disebut Koran Yahudi, Jerusalem Post dalam kunjungan itu.

Rombongan asal Indonesia ini, ditengarai hadir atas sponsor Simon Wiesenthal Center dan LibForAll Foundation. LibForAll Foundation pernah disebut-sebut beberapa media sebagai lembaga Zionis yang berkedok memperjuangkan “Liberalisme dan Pluralisme” di Indonesia.

Selama seminggu mereka berada di Israel dengan didampingi Kepala Wiesenthal Center Associate, Rabbi Abraham CooPeres dan CEO, LibForAll Foundation, C.C. Holland Taylor. Selain diajak berkeliling ke perbatasan Jalur Gaza, mengunjungi Masji Al-Aqsa, juga dikenalkan dengan kebudayaan dan beberapa acara keagamaan Yahudi. Mereka juga mengunjungi sekolah anak-anak di Sderot yang berhadapan langsung dengan Jalur Gaza. Dan kemudian diakhiri dengan pertemuaan dengan Presiden Israel, Shimon Peres.

Selain itu, Abdurahman Wahid juga seorang anggota International Board Governors dari Peres Peace Center, di mana, dengan kapasitas itu, yang ia sudah beberapa kali mengunjungi Israel di masa lampau. Sementara itu, Peres sendiri disebut media Yahudi pernah mengunjungi di Indonesia, meski dengan alas an keamanan, kunjungan tidak lebih dari sehari. Tak jelas, kapan di mana dia datang.

Selain itu, hubungan antara Israel dan Indonesia juga dilakukan dalam bentuk bisnis. Jerussalem Post mengutip, ada beberapa orang-orang pebisnis asal Indonesia yang pernah terlibat dalam spekulasi dagang dengan Israel.

Yang menarik, pernah Peres menanyakan kepada mereka tentang kunjungan dan hubungan ini, para anggota rombongan itu bahkan menyadari aktivitas ini.

Di tahun 2005, Israel juga ikut mengirim bantuan berkedok kemanusiaan untuk Indonesia, Sri Lanka dan Thailand guna membantu bencana stunami.

C. Holland Taylor adalah Ketua & CEO LibForAll Foundation kepada Jerussalem Post mengatakan, Abdurahman Wahid telah mengeluarkan suatu keputusan melawan Hamas, salah satu sayap pejuang kemerdekaan Palestina. Wahid juga pernah mengatakan, bahwa Indonesia adalah satu-satunya tempat di dalam dunia di mana Hamas telah ditolak oleh sebgian besar organisasi Muslim.

Juni 2007 lalu, beberapa organisasi Yahudi disebut-sebut sebagai sponsor penyelenggaraan Konferensi di Bali bertema "Toleransi antara Agama-agama," di mana Hindu, Islam dan para saksi Holocaust diikut sertakan. Konferensi itu juga diorganisir Abduraahman Wahid.

Jerussalem Post juga mengutip, Oktober lalu, sebanyak tujuh delegasi wartawan Indonesia juga telah diundang berjumpa dengan Peres. Usaha seperti ini, tidak lain, sebagai bentuk usaha ‘mendekatkan diri’ pada Israel.

Bagi banyak umat Islam di dunia, khususnya Palestina, pertemuan seperti ini bukanlah dipandang sebagai hal kecil. Pembantaian Qana tahun 1996, menewaskan sekitar 100 warga sipil Libanon. Sebagian besar mereka adalah anak-anak dan wanita. Peres, ketika itu adalah Wakil Perdana Menteri Israel.

Bom Israel juga menewaskan empat pengamat PBB; dari Austria, Kanada, China dan Finlandia. Peristiwa ini mengundang tuduhan, bahwa Israel melakukannya dengan sengaja.

Entahlah, seolah-olah menutup mata terhadap peristiwa kekejian Israel itu, masih banyak beberapa orang yang secara ‘diam-diam’ terus berhubungan Israel. Meski kejadian-kejadian seperti ini bukanlah hal baru.

“Aspirasi Zionis”

Kasus seperti ini, seolah mengulang kembali peristiwa lama yang banyak dijadikan pelajaran berharga.

Februari tahun 1994, selama hampir seminggu, Indonesia diguncang demo besar-besaran setelah hadirnya empat wartawan Indonesia usai mengunjungi Tel Aviv dan melakukan wawancara eksklusif dengan Perdana Menteri kelima Israel Yitzhak Rabin. Diantara rombongan wartawan itu salah satunya adalah pengurus ICMI pusat, Dr. Nasir Tamara.

Selain Nasir Tamara, wartawan yang ikut dalam rombongan itu adalah: Derek Manangka (Media Indonesia), Wahyu Indrasto (Eksekutif), dan Taufik Darusman (Business Wekly). Derek Manangka bahkan membuat tulisan berseri yang jelas-jelas mengajak habis-habisan pentingnya Indonesia segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Kunjungan dan laporan warta-wan-wartawan tentang Israel menimbul-kan gelombang protes.

Selain empat wartawan, kunjungan serupa juga pernah dilakukan bekas Abdurrahman Wahid. Sebagai anggota Shimon Perez Foundation, Abdurahman mengunjungi Israel didampingi sejumlah tokoh antara lain: Habib Hirzin, Bondan Gunawan. Hasilnya sama, di dalam Negeri, gelombang protes terjadi.

Selain melahirkan demo besar-besaran, kehadiran mereka juga mengikarkan kemarahan pemerintah. Menlu Ali Alatas dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) kala itu, menyesalkan kunjungan ke Israel itu.

Pihak Departemen Luar Negeri, menurut Alatas, serasa “kecolongan” atas kepergian mereka dan tak pernah minta izin.

"Ini apa-apaan, Deplu RI tak tahu menahu soal itu. Gus Dur pergi ke Israel sama sekali tanpa sepengetahuan Deplu," kata Menlu Alatas," Kalaupun dia meminta izin Deplu untuk ke Israel, pasti akan saya tolak. Masa nggak ngerti," begitu pernyataan Alatas kepada wartawan seusai menghadiri acara penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana untuk almarhumah Ibu Fatmawati di Istana. Bagi Alatas kala itu, keberatan pemerintah, karena kebijakan Indonesia dengan Israel masih belum berubah, demikian ungkap Almarhum Ali dikutip Republika, Kamis, 10 November 1994.

Namun sinyal-sinyal seperti ini nampaknya tak menghasilkan kepekaan hati nurani bekas para palancong di tanah Yahudi itu. Bahkan saat duduk sebagai presiden RI, Abduraahman Wahid sudah mengumumkan hendak merintis pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.

Tahun 1999, PDI Perjuangan (PDI-P) pernah mengusulkan rencana kontroversialnya, Membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Anggota Balitbang PDI-P, Subagio Anam,kala itu, mengatakan kepada koran Israel Ha'aretz bahwa pihaknya akan mengembangkan hubungan dengan Israel untuk membawa kesejahteraan keseluruh wilayah.

Kepada Republika tokoh PDI-P, Aberson Marle Sihaloho, juga menegaskan bahwa PDI-P berpandangan tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Menurut Aberson, membuka hubungan dan mengakui Israel merupakan sikap yang sesuai dengan UUD 1945.

Adalah Prof. Dr. Noam Chomsky, profesor bidang linguistik di Massachusetts Institute of Technology (MIT) menilai, apa yang telah dilakukan Israel di Libanon dan Palestina selama ini dengan dukungan AS, merupakan bukti pelanggaran kedua negara itu atas hukum internasional dan kejahatan melawan hukum.

“Kita sangat tahu bahwa Israel, AS dan negara-negara Barat lainnya, serta kelompok yang kerap menyuarakan pemikiran Barat, tidak percaya perkataan seperti itu. Sudah ada bukti yang cukup bahwa mereka mentoleransi kejahatan Israel di Libanon yang didukung oleh AS, termasuk empat invasi yang dilakukan Israel sebelumnya, penjajahan yang telah melanggar perintah-perintah Dewan Keamanan selama 22 tahun, rangkaian pembunuhan serta penculikan,” ujarnya saat wawancara dengan Kaveh Afrasiabi, pendiri dan direktur Global Interfaith Peace tahun 2006.

Harian Filintin, Rabu (09/05) menurunkan sebuah artikel yang ditulis Dr. Yusuf Kamil Ibrahim berjudul “al athfal al filistiniyun dhahaya al irhab al shahyuni” (bocah-bocah Palestina korban teroris Zionis). Artikel ini mengupas kondisi bocah-bocah Palestina yang menjadi korban kekerasan Israel baik secara fisik maupun psikologis.

Seorang cendekiawan Muslim Palestina, Dr. Yusuf Kamil, menulis di Harian Filintin. Dalam artikelnya yang berjudul “al athfal al filistiniyun dhahaya al irhab al shahyuni” (bocah-bocah Palestina korban teroris Zionis), mengungkap kondisi bocah-bocah Palestina yang menjadi korban kekerasan Israel baik secara fisik maupun psikologis.

Menurutnya, sejak awal intifadhah Al-Aqsa, Israel telah membunuh lebih 676 bocah di bawah usia 18 tahun. Di samping pembunuhan 22 bocah sejak awal tahun 2007. Selama inifadhah lebih 9000 bocah Palestina terluka, ratusan di antaranya mengalami cacat tubuh permanen. Sementara ribuan bocah Palestina lainnya mengalami goncangan jiwa akibat berinterasi dan menyaksikan peristiwa yang menakutkan. Selain itu lebih 3000 bocah Palestina diculik dan ditahan Israel selama intifadhah. Sampai saat ini lebih 300 bocah Palestina masih mendekam di dalam penjara Zionis Israel.

Ini, belum menyangkut pelanggaran hak hidup, hak memperoleh pendidikan dan hak hidup bebas. Hingga hari ini, di tengah-tengah terus dibangunnya tembok pemisah rasial Israel, Zionis-Yahudi secara seenaknya memutuskan Jalur Gaza, di mana tempat utama keluar masuknya arus barang, makanan, listrik dan pasokan air.

Karenanya, mantan Ketua MPR RI yang juga pengamat masalah Timur Tengah, Dr. Amien Rais pernah mengatakan, ketidakpekaan sebagian orang –baik yang mengusulkan hubungan diplomatic dengan Israel atau yang secara diam-diam ‘melakukan hubungan’ dengan Israel—secara tidak langsung, ia adalah kepanjangan dari aspirasi Zionis.

Orang-orang Indonesia yang terpengaruh Zionis itu tentu kelakuannya mirip dengan kaum Zionis. Dan, sesungguhnya, mereka mudah dideteksi. Mereka mendambakan sebuah hubungan diplomatic yang penuh antara Jakarta dan Tel Aviv. Seandainya secara resmi mereka bukan agen Zionis, tapi aspirasinya adalah aspirasi Zionis, “ demikian ujar Amien Rais dalam wawancaranya dengan Majalah Forum, 22 Oktober 2000. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Posting Komentar

0 Komentar