Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Syafiq Mughni: "Munir Mulkhan Menawari Saya ke Israel"

Ketua PW Muhammadiyah Jatim, Syafiq Mughni, rombongan yang ikut bertemu Shimon Peres mengaku tak pernah terpikir mendukung Israel. Baca wawancaranya

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Syafiq Mughni, salah satu rombongan yang ikut berkunjung ke Israel dan bertemu Shimon Peres, meminta hak jawab kepada Hidayatullah.com, "Hanya diberitakan sebagian, seandainya lengkap mungkin gambarannya berbeda." Demikian alasan Syafiq.

Berikut ini petikan wawancara Cholis Akbar dari Hidayatullah.com dengan Syafiq Mughni beberapa hari usai keadatangannya dari Israel.

Anda mengatakan pemberitaan ada kekeliruan, di mana kelirunya?

Ketika bertemu dengan Shimon Peres, saya disebutkan mengusulkan dibukanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel. Saya tidak mengusulkan itu kepada Peres. Itu masalah politik kedua negara dan saya tidak berkompeten membicarakan itu. Kecuali itu, disebut juga menari-nari dalam acara ritual Hannukah. Sampai sekarang saya belum mengetahui acara ritualnya, karena hampir di semua tempat dinyalakan lilin, di jalan-jalan, di hotel-hotel dan di rumah-rumah.

Bagaimana ceritanya Anda bisa sampai ke sana? Dan atas undangan siapa?

Saya mendapatkan SMS dari Pak Munir Mulkhan (salah satu tokoh liberal di Muhammadiyah yang juga pengurus LibForAll--red). Beliau menawari saya pergi ke Palestina dan Israel. Saya tanyakan apa acaranya. Beliau menjawab jalan-jalan dan ketemu orang-orang di sana. Pikiran saya langsung tertuju pada Masjidil Aqsa, yang memiliki makna spiritual dan historis. Saya sudah shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, tapi rasanya kurang lengkap kalau belum bisa shalat di Masjidil Aqsa. Karena Pak Munir anggota Komnas HAM, saya pada saat itu berasumsi atas nama Komnas HAM. Tapi ternyata bukan.

Siapa-siapa saja undangan selain Anda dan Pak Abdul A'la (NU)?

Di samping saya, ada Pak Nuryadi dari Jakarta yang kebetulan aktivis Muhammadiyah. Ada Pak Badrun Alaena dan Pak Abdul Kadir, kedua-duanya kebetulan aktivis NU. Mereka merasa biasa-biasa saja, tidak ada SMS bertebaran. Mereka lebih mujur, ha ha ha.

Apakah Anda tahu, apa itu Simon Wiesenthal Center dan LibForAll Foundation?

Sebelumnya, saya tidak mengenal dua lembaga itu. Saya mengenal sedikit tentang LibForAll dari situs mereka menjelang berangkat. Di situ, ada nama teman-teman saya, seperti Pak Munir, Pak Amin Abdullah dan Pak Azyumardi Azra. Misinya juga bagus, yaitu perdamaian, anti kekerasan dan moderatisme. Waktu itu, timbul juga pertanyaan saya mengapa fokusnya hanya di Islam, padahal fenomena itu ada di hampir semua agama. Tentang Simon Wiesenthal Center saya tahu sedikit setelah di sana. Tapi misi detailnya saya tidak tahu. Lembaga inilah yang mengatur agenda kami.

Jadi apa pertimbangannya ketika itu mau menghadiri undangan tersebut?

Sebagai seorang Muslim saya merindukan Masjidil Aqsa. Sebagai dosen Peradaban Islam, saya ingin melihat tempat-tempat bersejarah di sana. Saya juga ingin mengetahui kondisi masyarakat di sana. Walaupun laksana setitik air di lautan luas, saya ingin menyentuh nurani mereka agar tercipta perdamaian dan keadilan. Sebab tidak mungkin ada perdamaian hakiki tanpa keadilan. Ini adalah pesan universal kepada seluruh umat manusia di manapun berada, termasuk di Timur Tengah.

Apakah sebelum berangkat sudah berkonsultasi dengan PP Muhammadiyah? Terutama Ketua Umum Din Syamsuddin?

Saya tidak berkonsultasi dengan PP Muhammadiyah. Saya sering bepergian ke luar negeri, dan tidak selalu berkonsultasi jika tidak atas nama Muhammadiyah. Pada waktu itu saya berprasangka baik saja bahwa Pak Din tidak keberatan. Pak Din telah mengenal saya sejak sama-sama sekolah di UCLA, dan mengetahui betul jalan pikiran saya. Pernah juga kami ikut demo bersama masyarakat Muslim di Los Angeles ketika terjadi tindak kekerasan terhadap rakyat Palestina.

Boleh tahu, semenjak sampai di sana, apa jadwal Anda dan teman-teman? Dan ke mana saja?

Kami tahu jadwal acara setelah sampai di sana. Banyak acaranya. Ada kunjungan ke Masjidil Aqsa, Betlehem tempat lahirnya Nabi Isa, Nazaret tempat Nabi Isa berdakwah, Bishop Munib Yunan (Gereja Lutheran), Ramalah pusat Pemerintahan Otoritas Palestina, Markas Uni Eropa yang bertugas meningkatkan capacity building di perbatasan Palestina-Israel, Dataran Tinggi Golan (perbatasan dengan Yordania, Syria dan Libanon), Yashiva (semacam pesantren), rumah sakit di mana banyak orang Palestina dirawat, sekolahan dan lain-lain.

Dalam pertemuan di Ashqalon, saya sempat wawancara dengan seorang pejabat militer Italia yang bertugas di perbatasan. Dia menyampaikan bahwa rakyat Palestina di Gaza sangat menderita karena seolah-olah hidup di penjara raksasa, fasilitas kesehatan sangat minim, hampir tidak ada ekspor, dan angka pengangguran sangat tinggi akibat pagar pembatas Palestina-Israel. Mereka juga menjadi korban konflik Fatah dan Hamas. Mereka hidup dari bantuan internasional. Ini juga menjadi keprihatinan teman-teman. Selain itu, kami mengunjungi Tepi Barat, wilayah Palestina, dan bertemu dengan beberapa tokoh Palestina di Ramalah, dan mendengarkan berbagai macam problem yang dihadapi rakyat Palestina. Oh ya, dalam jadwal, tadinya tidak ada pertemuan dengan Shimon Peres. Saya baru tahu ada pertemuan itu baru malam nya.

Kabarnya Anda juga sempat masuk ke Masjidil Aqsa?

Alhamdulillah, bisa shalat Dhuhur dan Ashar di sana hari Senin. Juga shalat Jumat. Menurut informasi yang saya terima kompleks masjid itu sekarang di bawah otorita badan wakaf, yang di dalamnya termasuk Pemerintah Yordania. Kami juga bisa masuk ke Qubbatus Shakhra' di mana terdapat batu yang diinjak Nabi Muhammad untuk bermi'raj ke Shidratul Muntaha.

Siapa yang mengawal ke sana? Bukankah untuk masuk ke sana susah?

Yang mengawal ke sana adalah seorang Arab Palestina bernama Mundzir Adam. Dia banyak dikenal oleh orang-orang Arab yang menjaga pintu kompleks Masjidil Aqsa. Kelihatannya gampang. Saya hanya ditanya apakah Anda Muslim. Ketika saya jawab dengan bahasa Arab bahwa saya Muslim Indonesia, mereka menyalami dengan hangat.

Di beberapa koran Yahudi Anda disebut menyematkan Kippa ke Shimon Peres, bernarkah? Bisa dijelaskan?

Memang betul. Kippa adalah kopyah tradisional di sama. Di kopyah itu ada tulisan Perdamaian dan Shalom yang mirip salam dalam bahasa Arab. Teman-teman minta saya yang menyerahkan, bukan memakaikan. Dalam pertemuan itu saya sempat menyampaikan pesan perdamaian, keadilan dan kemanjuan, serta keluhan rakyat Palestina yang kami temui di rumah sakit.

Juga Anda menghadiri Hannukah, benar juga beritanya? Dan ada beberapa foto tentang itu? Bisa dijelaskan?

Saya tidak faham mana yang Hannukah sebenarnya. Karena hampir di semua tempat dinyalakan lilin dan itu berlaku selama delapan hari. Katanya ini memperingati kemenangan orang Yahudi terhadap orang Yunani.. Saya tidak menyalakan lilin sama sekali. Kami mengunjungi sebuah Yashiva semacam pesantren di sini. Mirip sekali. Mereka ngaji apa yang mereka yakini sebagai Taurat dan Talmud. Setelah sekitar dua jam baca kitab, mereka berdiri bergandengan tangan melakukan gerakan-gerakan tarian sambil bergandengan tangan dan menyanyikan lagu. Setelah sekitar tujuh menit mereka kembali belajar. Mungkin untuk menghilangkan kepenatan. Saya asyik memoto karena lucu sekali. Mungkin inilah yang di media disebut ikut acara ritual. Ketika saya lihat foto yang disebut ikut Hannukah itu, sebenarnya bukan. Itu adalah pertemuan dengan Hakim Tinggi Agama Yahudi.

Jika tahu semua itu, artinya Anda tahu efek apa dan resiko apa yang bakal terjadi di Indonesia?

Sebelum berangkat saya tidak membayangkan efek yang bakal terjadi. Mungkin karena obsesi yang terlalu kuat untuk ke Masjidil Aqsa, dan terbiasa husnu-zhan. Setelah di sana baru saya membayangkan jangan-jangan ini menjadi masalah. Ternyata betul, ya sudah.

Kasus seperti itu kan sudah lama terjadi, semenjak tahun 1994. Dan selalu memunculkan reaksi, apa pendapat Anda?

Saya bisa memahami reaksi itu. Mereka punya alasan sendiri-sendiri, sekalipun tidak seluruhnya saya sepakat. Apalagi dengan menggunakan kalimat-kalimat yang tidak berkualitas. Tapi itulah problem umat kita. Semangat tinggi tapi kurang wawasan. Tapi kalau dengan cara begitu mereka yakin masuk surga, saya tetap menghargainya. Mudah-mudahan betul.

Sampai hari ini status Zionis-Israel adalah “teroris” yang sudah 60 tahun merampok, menjajah tanah Palestina dan menzhalimi rakyatnya baik Muslim maupun Kristen. Bagaimana Anda tidak bisa melihat kunjungan ramah tamah Anda sebagai langkah yang menyakitkan bagi bangsa Palestina yang sedang dijajah?

Niat sesungguhnya adalah perjalanan spiritual. Ingin tahu keadaan yang sesungguhnya dengan mata kepala dan merenungkan apa yang bisa dilakukan untuk perdamaian dan keadilan bagi semua. Jika kemudian ada yang bisa memanfaatkan itu untuk kepentingan politik, saya tidak bisa mengontrol. Tidak ada niat sedikitpun mendukung Israel. Buat apa? Jika ada penafsiran seperti itu, itu hak mereka. Lagi pula, kami bukan tamu pemerintahan Israel. Orang-orang Palestina sendiri bahkan menyambut kami dengan sangat hangat. * [www.hidayatullah.com]

Posting Komentar

0 Komentar