Buku ini memang merupakan kumpulan tulisan di berbagai media dan kesempatan. Namun, semuanya dibingkai dalam cara pandang yang kokoh dan padu. Dalam komentarnya atas buku ini, cendekiawan Gontor Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menulis: ”Suatu karya yang tidak dapat lahir kecuali dari seseorang yang memiliki framework yang jelas. Pendekatannya mengesankan seperti anti-Barat dan anti-kemapanan, padahal ini adalah upaya riil untuk berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan Barat.”
Penulis buku ini sudah cukup kita kenal. Dia adalah peneliti INSISTS. Cendekiawan muda Betawi ini menyelesaikan doktornya di ISTAC-Kuala Lumpur. Kini, selain mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia, dia masih menyelesaikan disertasi untuk doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Buku ini menjadi indikator bahwa penulisnya ”bukan orang sembarangan”.
Dalam kaitan dengan ”Diabolisme Pemikiran”, penulisnya mencatat, bahwa ”Diabolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani Kuno... maka istilah ”diabolisme” berarti pemikiran, watak, dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian kepadanya.” Iblis bukan bodoh, bukan ateis. Iblis kenal Tuhan. Tapi, Iblis ingkar, kafir, menolak tunduk kepada Allah. Kesalahan Iblis bukan tidak berilmu, tetapi membangkang, merasa hebat, dan melawan perintah Allah. ”Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah ’prototype’ intelektual ’keblinger’.” (hal. 143-144).
Membaca buku ini, kita seperti dibawa hanyut oleh penulisnya dalam menelusuri relung-relung pemikiran orientalis yang penuh dengan jebakan dan penyesatan pemikiran. Satu persatu logika-logika orientalis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dikupas dan dikritisinya. Tak jarang, penulisnya menggunakan kata-kata yang lugas dan tajam dalam memberikan kritiknya.
Pada bagian tulisan ”Orientalis dan Al-Quran”, Syamsuddin mencatat: ”Dinyatakan dalam Al-Quran bahwasanya orang Yahudi dan Kristen memang tidak pernah berhenti, dengan segala macam cara, mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Mereka ingin umat Islam melakukan seperti apa yang mereka lakukan, menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sahih dan benar. Untuk memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif, orientalis-misionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar (expert scholars) mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang ’Jauh’ (Far Eastern, seperti Jepang, China dan India) maupun yang ’Dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia).” (hal. 2-3).
Dalam kajian Al-Quran, misalnya, satu persatu orientalis yang berusaha meragu-ragukan Al-Quran dikritisi pemikirannya. Banyak orientalis memang menyerang al-Quran dengan motif dan perspektif agama mereka. Gagasan pembuatan ”Edisi Kritis al-Quran” dari Arthur Jeffery, misalnya, jelas dilatarbelakangi pola pikir kondisi Bibel. Ia bermaksud merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa ’Mushaf Tandingan’ (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergtrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat Edisi Kritis Al-Quran. Namun, upaya ini gagal karena arsip-arsip di Munich hancur musnah tertimpa bom saat Perang Dunia Kedua. (hal. 5).
Dalam sejumlah CAP, kita pernah membahas, bagaimana gagasan Edisi Kritis Al-Quran kemudian dikembangkan oleh kaum liberal di Indonesia. Sejumlah dosen UIN alumni dan jebolan Jerman kini menyokong upaya pembuatan Al-Quran Edisi Kritis. Sadar atau tidak, para dosen ini sudah terjebak dalam metode pikir orientalis. Dan ironisnya, mereka bangga menjadi pelanjut pemikiran orientalis.
Sepertinya, tidak ada rasa malu lagi untuk menjadi penerus pikiran dan sikap orientalis. Bahkan, banyak yang bangga! Bangga menjadi pengkritik Islam. Umur dan waktunya dihabiskan untuk menyerang Islam. Kepandaiannya dikerahkan untuk menyerang Islam. Bahkan tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan bahwa banyak konsep dasar Islam yang harus dibongkar. Persis seperti apa yang digambarkan Dr. Syamsuddin Arif dalam buku ini. Jika orientalis sudah ragu dengan agama mereka, ragu dengan Kitab Suci mereka, maka mereka pun ingin agar umat Islam mengikuti jejak mereka pula.
Pada bagian ”Orientalis dan Teologi Islam”, Syamsuddin Arif mengungkap deretan karya-karya orientalis dalam bidang ini, baik yang berbahasa Inggris, Jerman, maupun Perancis. Salah satu tujuan mereka melakukan kajian yang sangat serius dalam bidang ini adalah: ”untuk menciptakan konflik dan melestarikan perpecahan di kalangan umat Islam, agar mudah untuk dikuasai berdasarkan prinsip devide et impera. Maka tidak mengherankan kalau objek kajian yang paling diminati oleh para orientalis adalah soal munculnya sekte-sekte sempalan dalam Islam.” (hal. 48).
Lebih jauh Syamsuddin menulis:
”Dengan terbitnya karya-karya tersebut, para orientalis itu bermaksud dan berhasil mengedepankan aliran-aliran sempalan yang sudah diabaikan dan dilupakan orang, mengetengahkan pemikiran-pemikiran sesat yang semula tersisih dan terpinggirkan, dan mengangkat ke permukaan sekte-sekte menyimpang yang selama ini tertekan. Ada satu pesan yang ingin mereka sampaikan, bahwasanya ajaran Islam itu tidak monolitik. Banyak terdapat perbedaan dan perselisihan di kalangan umat Islam, sehingga sejak awal sejarahnya memang sudah terpecah belah. Para orientalis tidak hanya menyoroti hal ini, tetapi juga membesar-besarkan persoalan yang tidak prinsipil.” (50).
Membaca analisis Dr. Syamsuddin tersebut kita dibuat terperangah. Inilah yang selama ini memang terjadi dan sudah puluhan tahun menjadi penyakit kronis dalam dunia Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia. Lihatlah buku-buku sejarah dan peradaban Islam yang dijadikan buku rujukan dan diajarkan kepada para mahasiswa kita. Begitu banyak paparan tentang sejarah konflik, perang, dan kucuran darah. Seolah-olah, Islam adalah agama konflik, dan tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah Islam.
Sebuah buku berjudul Sejarah Peradaban Islam yang ditulis seorang guru besar di UIN Jakarta menulis tentang Sayyidina Utsman r.a. dalam gambaran yang sangat buruk, sebagai berikut:
” Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.” (hal. 38-39).
Inilah contoh cara penggambaran seorang sahabat Nabi Muhamamd saw yang sangat tidak etis dan tidak proporsional. Buku seperti inilah yang selama puluhan tahun diajarkan kepada para mahasiswa di berbagai kampus Islam. Jangan heran, jika akibatnya, banyak muncul sarjana agama yang kemudian tidak mencintai sahabat Nabi saw dan bahkan beberapa diantaranya secara terang-terangan mencaci maki mereka. Seorang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, menulis artikel berjudul ”Pembukuan Quran oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”. Temannya yang lain menulis ”Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreatifan Generasi Pasca Muhammad.” (Lihat, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 23 Tahun XI/2003). Di pengantar Redaksinya, Jurnal ini juga menulis: ”Dari sekian tumpuk daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Utsman Ibn Affan...”
Peneliti INSISTS bidang sejarah, Asep Sobari, mengritik cara-cara pengajaran sejarah semacam itu. Dalam hasil risetnya terhadap pemerintahan Utsman r.a., Asep menunjukkan bahwa gambaran buruk para sejarawan tentang Sayyidina Utsman adalah keliru. Misalnya soal pengangkatan kerabatnya dalam jabatan kenegaraan. Berdasarkan riwayat Khalifah ibn Khayyath dan al-Thabari, Dr. Akram al-Umari mencatat, selama pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Utsman r.a. mengangkat 34 pejabat, dan hanya 7 orang saja yang merupakan kerabatnya, yaitu Mu`awiyah ibn Abu Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh, Walid ibn `Uqbah, Sa`id ibn `Ash, Abdullah ibn `Amir ibn Kurayiz, Ali ibn Rabi`ah dan Marwan ibn Hakam.
Mu`awiyah ibn Sufyan, Abdullah ibn Abu Sarh dan Walid ibn `Uqbah sudah menjabat sejak masa pemerintahan Umar ibn Khaththab. Selain itu, dari empat kerabat yang diangkat langsung oleh Utsman r.a., dua diantaranya kemudian dicopot dari jabatannya, yaitu Sa`id ibn `Ash dan Walid ibn `Uqbah, setelah yang terakhir ini terbukti minum khamr dan menerima hukuman. Fakta ini menunjukkan Utsman r.a. sangat berhati-hati dan selektif dalam memilih kerabatnya yang diangkat menjadi pejabat tinggi.
Jasa-jasa Utsman r.a. terhadap Islam sangatlah luar biasa. Dia pengusaha kaya raya yang telah mewakafkan harta dan jiwanya untuk dakwah Islam. Jasa besarnya menghimpun Mushaf Al-Quran diterima oleh semua sahabat dan diakui jasanya oleh semua ulama (kecuali ulama jahat). Maka, aneh, jika ada dosen dan mahasiswa kampus berlabel Islam yang memperhinakan sahabat Nabi saw yang mulia.
Karena itulah, dengan terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif, maka kita perlu melakukan kerja keras untuk meneliti kembali satu persatu buku-buku teks studi Islam khususnya di Perguruan Tinggi. Dalam buku Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006), saya mengungkap peringatan Prof. HM Rasjidi terhadap masuknya pola kajian orientalis di IAIN melalui buku Prof. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya – satu buku wajib dalam studi Islam sejak tahun 1973. Padahal, tahun 1975, Prof. Rasjidi sudah mengingatkan: buku ini ”sangat berbahaya”.
Ironisnya, banyak dosen dan cendekiawan Muslim lebih suka diam dan cuek terhadap peringatan Prof. Rasjidi tersebut. Banyak yang memilih menjadi penonton yang baik. Jangan heran, ”api yang dulu kecil, sekarang sudah menjadi besar”. Banyak yang belajar Al-Quran, tetapi kemudian bangga menjadi pengkritik al-Quran. Banyak yang belajar sejarah Islam, tetapi kemudian alergi dengan sejarah Islam. Banyak yang belajar syariah, tetapi membenci syariah. Sebab, cara belajar dan buku yang dipelajarinya memang sudah mengikuti pola kajian orientalis.
Karena itu, kita patut bersyukur dengan terbitnya buku Syamsuddin Arif ini. Sebuah buku yang berkualitas ilmiah tinggi. Melalui bukunya, cendekiawan Muslim asal Bewati ini telah menjebol satu mitos yang dibangun oleh kaum orientalis, bahwa sesorang tidak dapat menjadi cendekiawan yang baik (good scholar) dan muslim yang baik (good Muslim) pada saat yang sama. Syamsuddin menjebol mitos itu. Ia membuktikan, seorang bisa menjadi cendekiawan dan sekaligus Muslim yang baik, yang berpegang teguh kepada keyakinan agamanya.
Mengutip satu pepetah Jerman, dalam pengantar bukunya, Syamsuddin Arif menulis: ”Siapa membaca akan mengetahui, dan siapa menulis tak akan mati.” Umat Islam tentu bersyukur dengan terbitnya buku ini. Umat bisa berdialog dan mengenal Doktor Syamsuddin Arif melalui tulisannya, Tetapi, bisa diduga, setelah membaca buku ini, akan banyak pembaca yang penasaran ingin mengenal lebih jauh sosok penulis dan cendekiawan belia kelahiran Jakarta tahun 1971 ini. Dalam tradisi keilmuan Islam, interaksi guru dan murid memang menjadi faktor penting dalam transfer keilmuan.
Pembaca mungkin akan merindukan kucuran ilmu dari penulisnya lebih jauh. Setelah satu persatu ulama Betawi yang berwibawa meninggalkan kita, bumi Jakarta kini terasa semakin gersang dicekam kemaksiatan dan kesemrawutan pemikiran. Banyak umat kini merindukan kedatangan ulama-ulama Betawi yang kokoh dalam ilmu, keyakinan, dan amal. Maka, alangkah indahnya jika suatu ketika nanti di Jakarta berdiri sebuah pusat kajian Islam bernama: ”Majlis Ta’lim Dr. Syamsuddin Arif”.
Yang jelas, terbitnya buku Dr. Syamsuddin Arif ini telah membuktikan, bahwa masyarakat Betawi bukan hanya telah melahirkan FBR, Forkabi, dan Lenong Betawi, tetapi juga melahirkan cendekiawan dan ulama yang bermutu tinggi. Mudah-mudahan ilmunya bermanfaat dan akan terbit lagi buku-buku yang lebih berkualitas. Amin. Wallahu A’lam. [Depok, 15 Februari 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
0 Komentar