Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Perkembangan dan pengembangan naskah Qur'ân

Pertama-tama kita memulainya dengan mengangkat pentingnya tanda vokal dalam Qur'ân. Tanda ini dalam bahasa Arab disebut sebagai tashkîl, ia membantu menentukan pengucapan/penyebutan yang benar dari sebuah kata dan mencegah kesalahan ucap. Disaat Islam berkembang pesat, banyak orang kemudian masuk Islam. Dan mereka bukanlah orang-orang Arab dan juga orang-orang Arab yang bodoh mempelajari Qur'ân, oleh karenanya kesalahan pengucapan dan salah baca sering terjadi. Abu 'Ubaydah meriwayatkan mengenai Abû al-Aswad al-Du'alî:

Abû al-Aswad mempelajari tatabahasa dari cAlî Ibn Abî Tâlib (cAbu Thurâb), radiallahuanhu, namun ia tidak mengajarkannya apa yang ia telah ia pelajari dari cAlî, Kârramâllâhû Wâjjh, hingga Ziyad menunjuknya untuk menyusun sebuah buku bimbingan bagi mereka yang membutuhkannya, agar mereka dapat memahami Kitabullah. Namun Abû al-Aswad menolak tugas tersebut, hingga suatu saat ia mendengar seorang Qori membaca, [color=blue]Bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan rasulnya
(Qur'ân 9:3 yang sebenarnya berbunyi “Bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin”). Kemudian ia berkata, “Aku tidak pernah sekalipun menyangka bahwa mereka akan sesalah ini!”

Akhirnya, ia kembali kepada Ziyad dan berkata, “Aku akan melakukan apa yang diperintahkan tuan. Carikan untukku seorang penulis yang pandai dan patuh terhadap apa yang aku katakana”. Kemudian mereka membawa, seorang penulis dari suku cAbd al-Kays, namun ia [Abû al-Aswad] tidak puas dengannya. Lalu, mereka membawa untuknya penulis lain, yang kemudian dikomentari oleh Abû al-cAbbas al-Mubarrad, “Aku menganggapnya sebagai seorang dari mereka (orang-orang pandai).” Kemudian Abû al-Aswad berkata (kepada sang penulis baru), “Jika engkau melihat aku membuka mulutku mengucapkan sebuah huruf, maka taruhlah sebuah tanda diatasnya. Dan Jika aku menutup mulutku (membuat suara a u), taruhlah sebuah tanda didepaN huruf tersebut, dan jika aku membelah (bibirku), buatlah dua tanda.” Inilah system penandaan dari Abû al-Aswad.[1]

Juga menarik untuk dicatat bahwa manuskrip awal dan perkamen (kertas dari kulit) Qur'ân juga prasasti-prasastinya tidak mempunyai tanda vokal sama sekali. Gambarnya bisa dilihat dibawah ini:



Dari Quran cUthmân, Khalifah Ketiga, yang tersimpan di Taskent.



Tombstone inscription of cAbd ar-Rahmân al-Hijri at Aswân, Egypt.
Dated 31 A. H. / 654 C. E.
(Islamic Museum, Cairo, Egypt)

Mengenai isu manuskrip dan perkamen Qur'ân, Nabia Abbott menulis:

When we come to consider the vowel signs, 1st century manuscripts are of no aid, since no such signs appear in any secular document of that date. However, Kur'ân manuscripts credited to the period show a consistent vowel system in which a single red dot above, below, or to the side of a letter stood for the vowels A, I, and U respectively, and two such dots indicated the tanwin. The text of early Kur'âns, however, is never completely voweled, the vowel sign for one or more of the letters of a given word being used only where it was essential for a correct reading. The Arabic traditions place the introduction of the system early in the Muslim era, in fact crediting cAlî with it. Whether cAlî deserves the credit or not makes little difference for the date in question, for the majority of the sources credit a contemporary of cAlî, Abû al-Aswad al-Du'alî, with the system. They tell how, having at first refused to introduce the system at the request of Ziyad Ibn Abihi, governor of Irak, he finally did so when he heard the Kur'ân being wrongly recited. The system could not have been widely spread or generally used, for we find Hajjâj facing the same problem in Irak and ordering Nasr Ibn cAsim to safeguard the pronunciation of the Kur'ân; Nasr, so the story goes, introduced the double dots for the tanwin. even this did not estabish the general use of the system, for again we find Yahya Ibn Yacmar given credit for it, which credit is likewise shared by Hasan al-Basri. Still these efforts and their results proved insufficient, for again Khalîl Ibn Ahmad is credited with introducing the hamzah and the shaddah, the raum and the ishmam, as he is also credited with the vowel signs that are still in use for A, I, and U. The last were originally miniatures of the letters alif, y and w, respectively.[2]

Kutipan diatas dengan jelas menyebutkan bahwa alasan adanya pengenalan tanda tashkîl dan tanwîn adalah untuk menyediakan bacaan yang benar dari Qur'ân. Perubahan ini tidak berarti bahwa naskah Qur'ân telah rusak.

Sebuah contoh yang baik untuk menunjukkan bagaimana naskah bahasa Arab berkembang ialah penulisan huruf qâf pada Dome of the Rock. Huruf qâf ditandai dengan satu gaya dibawahnya sebanyak 5 kali, dimasa sekarang, qâf ditulis dengan 2 titik diatasnya. Contoh mengenai ini hanya bisa dilihat pada salinan awal Qur'âns. Untuk prasasti Dome of the Rock secara detail dapat dilihat.[3]




(a)



(b)

Studi banding mengenai naskah Qur'ân diadopsi dari (a) Timur Tengah (b) Afrika Utara (kecuali Mesir).

Naskah kursip dari Afrika Utara disebut naskah Maghribi. Ulasan peletakan dot pada qâf dan fa pada skrip Maghribi begitupun sistim penomoran ayat! Ini dari Surah al-Baqarah.

Contoh penting lainnya adalah naskah Maghribi yang digunakan di Afrika Utara. Sebelum populernya praktet penandaan fa dengan satu titik dan qâf dengan dua titik diatasnya ditetapkan, kedua huruf ini tandai dengan hanya satu tanda (titik dan tekanan). Penggunaan seperti ini tetap berlangsung di naskah Maghribi, dimana fa dengan titik dibawah dan qâf titik diatas. Namun begitu, dimasa lalu, penandaan yang berlawanan, i.e., fa dengan titik diatas dan qâf dengan titik dibawah juga diperlihatkan.

Kadangkala, ada baiknya STOP dan REKLEK…



Dugaan Kesalahan Penulisan

Naskah dari bahasa apapun (tidak hanya pada bahasa Arab) adalah subjek dari banyak perubahan dan amandemen yang telah disepakati oleh para pengguna bahasa-bahasa tersebut sepanjang sejarah. Penulisan telah menjadi tool untuk berkomunikasi, naskah harus sama sekali tanpa kedwiwartaan (ambiguitas) sehingga informasi yang dibawa oleh pengirim kepada penerima tidak bermakna dua. Suatu saat, seorang ahli bahasa memutuskan untuk merubah aturan yang beruhubungan dengan tulisan (scribal) dengan tujuan untuk menyederhanakan naskah. Sebagai contoh, amandemen terbaru pada skrip Arab terjadi pada pertengahan tahun 1980 an. Ini mengenai peraturan penggunaan hamzah. Awalnya, pada sejumlah kasus, hamzah digantikan dengan huruf wâw dan diikuti oleh vocal panjang wâw, yaitu dengan menaruh 2 huruf wâws pada satu kalimat. Oleh karenanya ahli bahasa Arab memutuskan untuk menghapus wâw yang pertama dan menggantikannya hamzah yang kemudian diikuti oleh wâw yang kedua. Inilah penulisan atas amandemen tersebut.

Yang berikut adalah pengejaan dari kata/nama ra'ûf sebelum pertengahan abad 80 an:



Yang berikut adalah pengejaan nama ra'ûf setelah tahun 1985:



Hal yang sama terjadi pada penggunaan kata-kata yang lain seperti mas'ûliyyah (i.e., tanggung-jawab) atau sho'ûn (i.e., perhatian). Lantas, apa yang kita dapat dari sini? Jika argument dari non Muslim diterima maka pustaka dalam bahasa Arab yang diterbitkan sebelum 1985 adalah tidak valid! Sebenarnya, naskah ialah persoalan pesetujuan/kesepakatan, seseorang tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa buku-buku yang lebih tua dari tahun 1985 penuh dengan salah eja, namun yang terbit setelahnya adalah benar. Pada faktanya, kedua naskah tersebut adalah benar dan tepat menurut kesepakatan penulisan pada era mereka masing-masing. Jadi tidak masuk akal jika menghakimi materi yang tertulis berdasarkan kesepakatan selain materi tersebut ditulis

Patut dicatat bahwa Qur'ân ditulis menurut kesepakatan (rasm) penulisan Ushmân dan bukan berdasarkan kesepakatan modern. Setelah mempelajari kesepakatan/persetujuan dari naskah Ushmân, maka pembaca manapun dapat membaca Qur'ân dengan benar. Hal ini berarti pesan dalam Qur'ân secara keseluruhan tersampaikan dari salinan kasar kepada pembaca tanpa kedwiwartaan (ambiguitas). Dan juga perlu dicatat bahwa skrip modern masih memiliki banyak keganjilan yang dapat diamandemen kemudian. Contohnya, seperti pada dhâlik atau lâkin seharusnya ditulis dengan huruf alif namun menurut kesepakatan penulisan modern, mereka ditulis tanpa alif. Inilah contohnya:



(i.e., lâkin) seharusnya ditulis



dan kata:



(i.e., dhâlik) seharusnya ditulis begini:



Namun begitu keganjilan tersebut belum dikoreksi pada naskah modern. Dan alhamdulillah artikel ini cukup untuk membantah tuduhan bahwa Qur'ân mengandung kesalahan penulisan. Dan tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar dan tidak ilmiah, jikalau Qur'ân mengandung kesalahan penulisan, lantas mengapa umat Muslim tidak membuang mushaf Ushmân dan mengadopsi naskah modern? Namun tidak begitu adanya.

Posting Komentar

0 Komentar