Oleh: Fahmi Salim, M.A.[2]
Pendahuluan
Kebutuhan untuk menggali dan merumuskan petunjuk (hidayah) Al-Qur'an untuk kehidupan umat Islam di seluruh lini kehidupan semakin dirasa mendesak. Apalagi akhir-akhir ini, di tengah kegamangan dalam memilih sikap dan pandangan hidup, justru kaum muslim menunjukkan animo yang luar biasa besar dalam masalah keagamaan yang menjadi panduan segala hal yang terkait urusan dunia dan akhirat.
Kiranya hubungan intra dan antar umat beragama dalam konteks sosial menjadi tema yang sangat aktual untuk dibicarakan. Apalagi di Indonesia, sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan dihuni oleh mayoritas muslim, tentu saja wacana dan pedoman yang dianut oleh mayoritas penduduk muslim dalam menerapkan praktek demokrasi akan menjadi mainstream fokus hubungan antara Islam dan demokrasi di satu sisi dan peran Islam dalam membimbing hubungan antar umat beragama di sisi lain.
Buku "Al-Qur'an Kitab Toleransi" yang ditulis oleh Saudara Zuhairi Misrawi ini hendak mencari posisi yang layak dalam pandangan mainstream muslim dalam upaya merespon problem-problem sosial yang selalu muncul di tengah masyarakat muslim di mana saja, tak hanya di Indonesia. Sebagai sebuah karya tulis, sudah selayaknya diapresiasi terlepas dari apa pun tendensi, interest, dan ideologi yang diusung oleh penulis dalam bukunya itu. Bentuk apresiasi yang paling baik bagi sebuah karya dalam tradisi keilmuan muslim adalah di antaranya dengan mengajukan pembacaan dan pemaknaan dari perspektif berbeda dari yang diajukan sang penulis, agar suasana dialogis yang ilmiah dan santun menjadi budaya di tengah hiruk pikuknya arus pemikiran yang menyeruak di belantika pemikiran Islam di Indonesia.
Selaku pembaca, saya akan berupaya menyoroti karya Akhi Zuhairi Misrawi dari beberapa aspek berikut: 1) beberapa asumsi yang mendasari terbitnya karya ini, 2) metodologi yang ditawarkan penulis dalam karyanya, 3) produk penafsiran yang dihasilkan, dan terakhir 4) mendudukkan isu toleransi dalam perspektif visi al-Qur'an tentang pluralitas dan batasan toleransi.
Beberapa Asumsi Dasar dalam Buku
Asumsi awal dari buku ini adalah fakta bahwa penulis agaknya sangat gusar dengan fenomena menguatnya arus ideologi kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam amatannya, ideologi ini paling favorit dan paling laris di berbagai belahan dunia Islam. (h. 17) Lokus problematisnya dapat dilihat dari fungsionalisasi Al-Qur'an untuk tindakan intoleransi. Seperti: pemurtadan, penyerangan, terorisme dll. Kondisi tersebut telah menyebabkan umat Islam mengalami krisis iman di satu sisi dan krisis nalar di sisi lain. Krisis iman, karena terjebak pada ideologi kekerasan. Krisis nalar karena iman tidak dilandasi pada analisa dan metodologi yang kuat. Disamping, sebagian besar umat Islam terjebak dalam tafsir yang lebih berdimensi taklid daripada berdimensi hermeneutis (h. 18). Kegusaran ini bagi saya sebenarnya tak perlu. Yang diperlukan saat ini adalah usaha yang berkesinambungan untuk melakukan pencerahan tafsir keagamaan yang moderat, memahami dinamika zaman, tetapi juga tidak tercerabut dari akar-akar keimanan dan doktrin keIslaman.
Kedua, dengan karyanya penulis berharap dapat menyelamatkan Al-Qur'an dari ideologisasi dan fungsionalisasi ekstrimisme. Upaya ini perlu diutamakan sehingga Al-Qur'an menjadi kitab suci yang membawa pesan-pesan toleransi, kerukunan dan kedamaian. (h. 19). Bagi saya selaku pembaca, hal ini sama pentingnya dengan menyelamatkan Al-Qur'an dari tafsir sekularisasi dan ideologi humanisme sekuler. Karena kedua hal ini akan menjadi masalah besar bagi umat Islam dan kemanusiaan universal. Yang pertama, ingin menghancurkan peradaban atas nama agama. Dan yang kedua, ingin menghancurkan sendi agama atas nama keadaban dan peradaban.
Ketiga, karya itu juga ingin meletakkan fungsi Al-Qur'an dalam kehidupan manusia sebagai 'cahaya' dan 'petunjuk', merujuk pada surah an-Nur: 35 ditegaskan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Penulis kemudian menafsiri kata 'bumi' dalam ayat itu sebagai salah satu perhatian yang besar terhadap masalah 'antroposentrisme' . Sementara kata 'langit' dimaknai penulis sebagai dimensi 'teosentrisme' yang harus berkait kelindan dengan bumi yang menyimbolkan antroposentrisme (h. 92). Tetapi pada faktanya, penulis lebih berpihak pada klaim antroposentrisme. Hal ini bisa dilihat pada pilihan metodologis penulis yang menekankan arus orientasi penafsir teks ("pemahaman" subjektif) ketimbang orientasi teks itu sendiri ("penjelasan" objektif), seperti yang akan kita kupas dalam masalah metodologi buku (h. 115-116). Penulis kemudian melompat pada kesimpulan berikut: "Karena itu keterbukaan Al-Qur'an harus dimaknai secara komprehensif. Artinya tidak semata-mata untuk keselamatan agama itu sendiri (salvation of religion) akan tetapi yang terpenting juga adalah keselamatan manusia (salvation of human) dan seluruh makhluk yang berada di muka bumi." (h. 92).
Barangkali penulis melupakan substansi ayat 153 surah al-An'am yang menyatakan dengan tegas bahwa: "Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa."
Dalam kurun waktu yang lama, menurut penulis, "Al-Qur'an sebagai alat justifikasi politik lebih dominan daripada sebagai cahaya. Akibatnya, Al-Qur'an digunakan untuk memvonis sesat pihak lain yang berbeda. Padahal dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa tuhan lebih tahu tentang siapa dari hamba-Nya yang sesat dan dia pula yang akan menentukan siapa yang sesat di hari akhir nanti." (h. 93). Sepertinya ia sedang mengutip ayat 125 surah al-Nahl dalam hal ini. Namun jika diperhatikan ayat itu lengkap dari awalnya, maka ada perintah berdakwah ke jalan Allah dengan cara hikmah, maw'izah, dan dialog argumentatif. Logika perintah dakwah tentu meniscayakan adanya dua pihak: pertama, yang telah tertunjuki dan yakin berada di posisi yang benar, dan pihak kedua sebagai objek dakwah adalah orang yang belum tertunjuki dan diyakini berada dalam kesesatan sehingga pihak pertama merasa sangat perlu untuk mendakwahi pihak kedua. Lagi pula vonis sesat (fa qad dlalla dlalalan ba'idan) telah dinyatakan Al-Qur'an dengan sangat lugas kepada orang musyrik (an-Nisa': 116), orang yang mengingkari (kufur) kepada rukun iman (an-Nisa': 136), orang kafir yang menghalang-halangi orang lain mendapatkan hidayah (an-Nisa": 168), dan orang-orang yang zalim (Nuh: 24). Jadi bagi saya, vonis sesat itu sah-sah saja jika berlandaskan bukti-bukti yang qath'i, karena Al-Qur'an pun telah memberi contoh "penyesatan" suatu kelompok. Namun yang harus digarisbawahi, yang tak perlu terjadi adalah anarkisme di lapangan dan amuk massa.
Metodologi yang Ditawarkan
Tampak sekali, sang penulis sangat mengidolakan metode Hermeneutika yang diimpor dari tradisi interpretasi Bible dan filsafat Barat. Sepertinya ia cenderung kepada pemikiran sosok hermeneut, Paul Riccoeur (1913-2005 M). Mengutip pandangan Paul Riccoeur, bahwa dalam penafsiran akan muncul dua titik yang berbeda, yaitu penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding) . Sebagai "penjelasan" , tafsir tidak mempunyai kapasitas untuk mengembangkan makna yang sesuai dengan subjek penafsir. Makna harus mengikuti objek, teks Al-Qur'an. Apa yang dikatakan Al-Qur'an harus diterima mutlak. Tafsir tak boleh melampaui isi dari teks. (h. 115) Sebagai "pemahaman", tafsir memiliki kesempatan luas untuk menghasilkan sebuah tafsiran yang mensinergikan kehendak penafsir dan kehendak pengarang dan teks. (h. 116) Tafsir sebagai penjelasan melahirkan arus "teosentrisme" , sedangkan tafsir sebagai pemahaman melahirkan arus "antroposentrisme" . Yaitu tafsir yang memberi perhatian terhadap posisi manusia sebagai penafsir yang tujuan utama penafsirannya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (h. 116). Oleh sebab itu penting kiranya jika kita mengurai lebih dalam benang kusut metodologi tafsir baru yang bernama hermeneutika ini.
Studi Komparatif antara Tafsir/Ta'wil dan Hermeneutika
Sudah banyak ilmuan yang terkecoh dengan istilah takwil sebagai terjemah Arab untuk istilah hermeneutika. Di artikel saya yang pernah diturunkan di HU Republika, 31 Desember 2007 lalu, telah dijelaskan perbedaan keduanya dari sudut sejarah dan orientasi pembahasannya. Namun ada baiknya diuraikan panjang lebar dalam makalah ini.
Dalam membandingkan terminologi takwil sebagai teori penafsiran khas peradaban Islam dan hermeneutika yang lahir dari rahim dan khas miliu peradaban Barat- Kristen, kita akan bertolak dari pernyataan Mustafa Kaylani yang menerangkan proses transformasi dalam sejarah perjalanan takwil sebagai berikut:
"Dahulu takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal sebatas penjelasan lafal dan susunan kalimat yang telah termakan zaman dengan lafal dan susunan kalimat baru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman. Sedangkan jenis takwil kedua (dalam peradaban Barat modern), telah merasuk jauh ke dalam dunia metafor (majaz); hermeneutika adalah takwil semiotis atas tanda-tanda (signs) yang telah terasa asing pada era terkini untuk mendapatkan makna semantik baru yang akan merujuk secara langsung kepada idea pengarang teks".[3]
Dari kutipan di atas, kita dapat mencandra dua aliran yang memperebutkan hakikat makna teks. Aliran pertama (tradisionalistik) , berupaya membakukan makna dalam petunjuk semantik tertentu dengan cara menjadikan makna itu muhkam yang tidak bisa serampangan ditarik ke dalam wacana metaforis. Tentu saja aliran ini berupaya mempertahankan makna asli suatu teks. Sehingga takwil dalam tradisi aliran pertama difungsikan untuk mengalihkan pemahaman lahir suatu lafal dari makna aslinya kepada makna lain dengan indikasi tertentu yang menyebabkan makna aslinya ditinggalkan. Posisi dasar pemahaman teks adalah lahiriahnya, ia hanya dapat ditinggalkan jika ada indikasi kuat untuk keserasian makna itu dengan tujuan syariah. Dari situ, maka konsep takwil menurut para ahli ushul fiqh berjalin kelindan dengan pembagian tingkatan lafal teks agama:
1) Setiap bentuk lafal yang hanya menerima satu makna tertentu, ia disebut sebagai Nash; teks. (dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa kosakata bahasa Arab mengidentikkan teks dengan pembakuan dan penunggalan makna suatu teks)
2) Jika bentuk lafal teks dapat menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang sama-sama kuat, maka ia disebut sebagai Mujmal; teks global (yang memerlukan perincian)
3) Jika bentuk lafal teks menerima lebih dari satu makna/pemahaman yang salah satunya lebih kuat dari makna lain, maka makna yang kuat itu disebut Zhahir (teks yang asli) dan makna yang lemah itu disebut Mu'awwal (teks yang dialihkan maknanya). Perubahan dari makna zhahir kepada makna mu'awwal itu mensyaratkan adanya dalil; indikator yang kuat dan memperkuat satu makna atas makna lainnya.
Sedangkan aliran kedua (modernistik) dalam teori pentakwilan telah mengalami lompatan kualitatif dalam tradisi filsafat Jerman, terutama di tangan F.D.E. Schleirmacher (1768-1834 M) yang mengadakan reorientasi paradigma dari "makna" teks kepada "pemahaman" teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai "makna historis" menjadi "pemahaman historis" yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Rasionalitas protestantisme itu telah menantang otoritas gereja yang selalu mengklaim arti Bible yang sah, serta meneguhkan semangat liberalisasi simbol-simbol otoritas agama yang eksklusif dan tertutup. Akibatnya, metodologi tafsir tradisionalis telah tergantikan dan disaingi metodologi yang lebih humanis dan memberi ruang kesadaran kritis atas keseluruhan sumber teks-teks agama. Semangat liberalisasi dan humanisasi inilah yang ikut andil merobohkan tembok sakralisasi teks sehingga teks agama tak lagi sakral dan bahkan mengalami proses humanisasi.[ 4]
Schleirmacher telah menubuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (tata bahasa yang dipakai pengarang) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang. Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya.[5] Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher- ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan "Hermeneutical Circle".
Lingkar hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak, dikarenakan teori "makna" dan "penjelasan" dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi "pemahaman" yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu, pemahaman teks adalah apa yang diinginkan oleh pembaca teks, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang teks. Dikarenakan masa kelahiran teks telah menjadi bagian masa lalu, maka tidak ada makna yang tetap seperti sediakala. Lingkar hermeneutik meniscayakan produksi makna-makna baru yang tidak pernah final. Orientasi heremeneutik inilah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof aliran eksistensialisme pasca-Schleirmacher .
Adalah Martin Heidegger (1889-1976 M) yang mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu "ketegangan" dan "tarik-menarik" antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Sejak abad pencerahan dan humanisme Barat dimulai, eksistensi bersifat tunggal; eksistensi humanisme! Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.
Pemahaman eksistensialis model Heidegger teraplikasikan secara penuh terhadap semua jenis teks. Amat wajar jika kekhasan teks agama dari sudut pentakwilan menjadi terabaikan. Jika hermeneutika dahulu berarti pentakwilan teks suci yang terpasung oleh makna yang ditentukan pihak otoritas gereja, maka ia kini telah bebas dari belenggu sakralitas dan memungkinkan pentakwilan semua jenis teks, karena bagi hermeneut modern semua teks sama secara hirarkis. Sakralitas teks agama tidak lagi mendapatkan tempat dalam rasionalitas modern.
Resepsi dan pembacaan manusia adalah dasar bagi kebangkitan dan transformasi teks dari sesuatu yang diwarisi antar generasi menjadi warisan masa silam. Ketika kita membaca suatu teks kuno maka teks itu kembali dihidupkan dan berubah dari sesuatu yang tadinya mati dan asing kepada keadaan sesuatu yang hidup saat ini. Dengan demikian, pembacaan dan pemahaman adalah asas bagi transformasi teks dari ketiadaan kepada keefektifan.
Hermeneutika Heidegger kemudian dilanjutkan oleh Hans George Gadamer (1900-2002 M) yang menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalam an hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada.[6]
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Eksistensi yang dibangun Heidegger dan Gadamer terasa idealis yang dipengaruhi logika dialektik Hegellian, yang menyatakan historisitas yang tidak dipersyaratkan wujud materil yang dikendalikan oleh faktor sosial ekonomi. Untuk menautkan proses pemahaman dengan wujud materil, maka telah menjadi keharusan untuk keluar dari metafisika transendent yang khusus dalam konsep eksistensial. Penubuhan asas konsep wujud itu akan mengubah proses pemahaman. Selain itu ia akan disyaratkan dengan prasyarat materil yang akan mengendalikan wujud ini.[7]
Menghadapi dialektika Heidegger dan Gadamer, tokoh-tokoh filsafat hermeneutika seperti: Paul Ricoer (1913-2005 M), Eric D. Hirsch (1928-....), dan Emillio Betti (1890-1968 M) mengajukan teori objektifitas dalam aliran hermeneutika. Mereka berusaha mendirikan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran teks yang menekankan metode objektif, sehingga melampaui subjektifitas hermeneutika Gadamer. Hermeneutika, bagi mereka, tidak berdiri atas asas filsafat. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.[8]
Jika kita kaitkan dengan Dr. Nasr Hamid AbuZayd (1943-...) yang terkenal lewat pendekatan hermeneutiknya dalam membaca teks-teks Islam, maka kita akan menemukan penekanan Nasr Hamid atas prinsip simbol teks yang berafiliasi kepada kondisi sosial dan realitas ketika teks itu diciptakan. Artinya teks adalah produk lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor ekonomi-sosial yang menjadi pra-kondisi kelahiran dan kemunculan suatu teks. Oleh sebab itu, realitas yang berdialektik dengan teks mendapat apresiasi dan perhatian serius Nasr Hamid. Untuk menuju arah tafsir yang objektif dan ilmiah atas teks agama, ia berangkat dari simbol sosial dengan penekanan melampaui makna lahiriah teks kepada makna batinnya.
Bagaimana Nasr Hamid meresepsi teks dan cara dia memperlakukannya? Pertama sekali dia mendukung orientasi Gadamer yang berangkat dari posisi penafsir saat ini karena setiap asas epistemologi pemahaman apa saja berawal dari posisi eksistensial. [9] Kedua, dia mengajukan upaya modifikasi terhadap orientasi hermeneutika Gadamer dengan perspektif materialisme; dua tahap yang saling mendukung itulah, dalam persepsi Nasr Hamid, titik tolak asli bagi upaya pembacaan ulang seluruh dasar agama Islam dan upaya menyingkap kepalsuan pembacaan-pembacaan masa silam atas teks Islam.[10]
Perbedaan Esensial antara Ta'wil dengan Hermeneutika
1) Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, terlebih khusus dalam masalah teks-teks agama. Sedangkan hermeneutika di Barat memperlakukan teks sebagai murni fenomena bahasa, dan tidak mengakui kesucian teks yang menuntut perlakuan khusus.
2) Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui jenis tingkatan lafal, dalam pengertian bahwa di antara jenis-jenis teks itu ada yang bisa menerima takwil seperti lafal "zhahir", dan ada pula yang hanya menunjukkan satu makna dan tidak dapat ditakwil seperti lafal "nash". Sedangkan hermeneutika Barat memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda (signifier) dan tujuan dasar teks (significance) .
3) Takwil dalam tradisi keilmuan Islam menekankan makna yang tetap tidak berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengharuskan takwil. Dan makna takwil yang baru itu masih dapat diterima oleh lafal zhahirnya dan juga sesuai dengan sirkulasi penggunaan bahasa dan adat kebisaaan yang lazim dalam syariah. Sedangkan hermeneutika di Barat berarti perpindahan orientasi dari "makna" kepada "pemahaman" yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan pembaca teks. Pemahaman adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemahaman tidak pernah final, karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan. Bahkan dalam bentuk ekstrim, hermeneutika menganggap Sunnah (yang berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an) sebatas ijtihad manusia dan terbatas pada skup budaya tertentu.
4) Takwil dalam tradisi keilmuan Islam adalah suatu cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan agama. Ia juga metode yang baik untuk menghilangkan keragu-raguan dan semakin menambah mantap keimanan. Jelasnya, takwil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau untuk mengosongkan teks agama dari ruh agama seperti yang dipraktekkan dalam filsafat hermeneutika di Barat.[11]
Lalu apakah pengaruh hermeneutika dalam pembacaan teks-teks agama?
Perlu ditekankan di sini bahwa perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Diskusi dan perdebatan seputar sah tidaknya aplikasi hermeneutika juga betul-betul tidak ada presedennya dalam benak para ulama muslim yang masih meyakini keampuhan terminologi tafsir dan takwil klasik dalam memecahkan isu-isu kontemporer. Dengan demikian, tidak memungkinkan kita mencari berbagai perspektif hermeneutika dalam cabang-cabang Islamic Studies yang telah mapan. Sebaliknya, jika kita telusuri dan dalami filsafat pemahaman teks-teks Islam yang telah dikonstruk dan diaplikasikan selama berabad-abad oleh ulama muslim, kita dapatkan kesimpulan yang kontraproduktif dengan perspektif filsafat "pemahaman" Barat.
Pemikiran agama mutakhir saat ini menyaksikan kajian-kajian dan pertanyaan-pertanya an baru yang memiliki akar dalam filsafat hermeneutika. Di antaranya adalah:
1) Kemungkinan mengajukan bacaan-bacaan yang berbeda dan tak terbatas bagi teks agama.
2) Historisitas pemahaman dan keajegan perubahan pemahaman itu sendiri.
3) Batasan legalitas terlibatnya subjektifitas penafsir dalam proses penafsiran teks.
4) Pengaruh pra-konsepsi, kecenderungan, dan harapan penafsir teks kepada pemahaman agama.[12]
Sejatinya hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama.
Sebelum kita menyinggung tantangan pemikiran yang disebabkan hermeneutika filsafat kontemporer, ada baiknya kita menyimak secara global metode umum dalam pemahaman teks yang selama ini kita kenal:
1- Tugas mufassir adalah menangkap makna teks. Makna teks adalah apa yang dikehendaki oleh pembicara atau pengarang teks. Maksud atau makna yang pasti adalah tujuan utama pengarang teks. Makna yang final itu adalah suatu hal yang objektif dan ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap makna itu.
2- Untuk mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh alur metode yang umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk bahasa teks sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan. Karena pengarang teks menjadikan bahasa sebagai sarana mengungkapkan kehendaknya, maka penafsir teks harus menguasai bahasa serta tata bahasa yang lazim dipakai oleh pengarang. Tanpanya, maka tindakan penafsir yang semena-mena akan mencederai proses pemahaman teks.
3- Kondisi penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid dan meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun pemahaman yang valid hanya dapat ditangkap melalui bentuk "nash" yang berindikasi pemahaman objektif yang sesuai dengan fakta, dalam bentuk "zhahir"nya pun redaksi teks tetap tidak tercerabut dari objektifitas dan norma asli pemahaman.
4- Jarak waktu yang memisahkan masa penafsir dengan masa saat teks diproduksi tidak akan menghalangi penafsir untuk menangkap makna hakiki yang dimaksud oleh teks agama. Karena dalam sinaran metode klasik, amat dimungkinkan pemahaman objektif atas teks meski terdapat jarak waktu dan tempat antara pengarang dengan penafsir teks.
5- Perhatian penafsir harus terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Seperti dimaklumi, proses pemahaman teks berporos kepada dua aspek: teks dan pengarang, sehingga tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak diperkenankan munculnya pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu akan mengotori upaya penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan pandangan akal semata yang dicela agama (bil ra'yi al-madzmum).
6- Teori tafsir klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak setiap upaya penafsiran yang merelatifkan dan menyamakan setiap pemahaman sebagai upaya subjektif penafsir. Sebab, teks agama, -menurut teori tafsir klasik- tidak akan menerima segala bentuk penafsiran yang sembarangan. Dengan kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran sebuah teks, maka otoritas pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang teks itu sendiri, alias kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.[13]
Metode umum yang dipraktekkan para pakar tafsir Al-Qur'an, sebagaimana terangkum dalam 6 poin di atas, memang cocok dengan karakter dasariah nushush Al-Qur'an yang menjadi objek penafsiran dari masa ke masa. Karena, seperti diyakini kaum muslim, Al-Qur'an merupakan kitab 'hidayah', petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya, Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia (Ikhraju al-Nas)dari kegelapan-kegelapan , Zhulum�t (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, N�r petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Demikianlah, dari paparan sekilas di atas, dapat dikatakan bahwa teori penafsiran klasik sebagaimana dalam pembahasan metode takwil dalam cabang ilmu ushul fiqh dan ulumul quran, mulai digugat dan ditantang oleh aliran-aliran hermeneutika filsafat pada abad ke 20. Problem isu hermeneutika filsafat kontemporer telah melontarkan berbagai diktum yang mengkritisi dan berambisi menjadi alternatif pintas bagi kebuntuan dan kebekuan penafsiran teks agama yang rigid, kaku dan kehilangan elan vital "maqashid syariah". Berikut ini akan kita saksikan bagaimana teori tafsir model hermeneutika mulai merangsek dan menawarkan dahaga intelektual bagi kaum muslim modernis:
1- Pemahaman teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala makna dalam teks. Intuisi dan cakrawala berfikir setiap penafsir dalam proses pamahaman tidak dicela, karena ia merupakan prasyarat eksistensial bagi tercapainya suatu pemahaman.
2- Upaya pemahaman teks adalah proses tiada henti; seperti halnya pluralitas pemahaman teks tidak mengenal batas-batas. Karena pemahaman adalah: upaya kreatif dan perpaduan antara cakrawala penafsir dengan wawasan teks. Dengan demikian setiap terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala pikirannya, maka dimungkinkan lahirnya pemahaman baru.
3- Suatu pemahaman objektif atas teks dalam arti pemahaman yang benar-benar sesuai dengan fakta ril, tidak dimungkinkan oleh karena pra konsepsi penafsir adalah syarat tercapainya suatu pemahaman.
4- Tidak ada pemahaman yang tetap dan tidak berubah; tidak dibenarkan pula suatu pembatasan dan finalisasi pemahaman yang tidak bisa berubah-ubah.
5- Tujuan penafsiran teks pada saat ini, bukan untuk menangkap maksud pengarang teks. Sebab, penafsir saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya pengarang teks. Dalam teori filsafat hermeneutika, posisi pengarang tak lebih sebagai salah satu pembaca teks yang tidak berbeda dari penafsir-pembaca teks yang lain. Teks sebagai entitas mandiri dan berdaulat, berdialog dengan penafsir sehingga melahirkan suatu pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak diharuskan mencari dan menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si pengarang teks.
6- Tidak ada patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau benar suatu penafsiran. Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan tunggal. Antitesa dari teori klasik yang mengandaikan maksud pengarang sebagai tujuan penafsiran, hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan tujuan pengarang sama sekali. Karena setiap penafsir di setiap zaman memiliki cakrawala yang khas zamannya, maka terbuka kemungkinan pemahaman-pemahaman baru, yang tidak bisa dikatakan salah satunya lebih baik dan benar dari yang lain.
7- Hermeneutika filsafat sesuai dengan teori relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang sangat luas bagi penafsiran-penafsir an yang radikal sekalipun.
Dari ke-7 metode umum "pemahaman" teks dalam filsafat hermeneutika yang telah dipaparkan, terkuak dengan jelas ketidakcocokan teori filsafat pemahaman ini dengan sifat dan karakter dasariah Al-Qur'an seperti yang telah dijelaskan. Memang diakui luas oleh para pakar Al-Qur'an bahwa teks-teks kitab suci mengandung pelbagai kemungkinan makna dan pemahaman sesuai kecenderungan bidang ilmu yang dikuasai setiap mufasir. Dalam sejarah tafsir, telah lahir berbagai produk karya ulama yang mencoba menguraikan kandungan Al-Qur'an dari berbagai perspektif dan corak penafsiran. Ada jenis tafsir 'bil riwayah' dan juga 'bil dirayah'. Metode penulisan tafsir bil dirayah ini juga telah melahirkan berbagai corak, di antaranya tafsir analitik yang memiliki orientasi bermacam-macam sesuai dengan keahlian dan kepakaran masing-masing penafsir. Ada yang berorientasi: hukum fiqih (tafsir ahkam, fiqhi), bahasa dan susastera (tafsir lughawi, balaghi), tasauf dan tazkiyah (tafsir isyari), saintifik
(tafsir 'ilmiy), bahkan yang sarat dengan muatan-muatan sosial dan reformasi keumatan (tafsir adabi-ijtima' i), dan lain sebagainya. Kesemua corak dan orientasi penafsiran itu tetap saja berporos pada spirit yang sama bahwa Al-Qur'an dapat ditinjau dari pelbagai spektrum kemanusiaan dengan penekanan khusus sebagai kitab hidayah, petunjuk untuk kebaikan manusia, yang datang dari Zat Yang Maha Transenden (Tanzil min Rabbi al-'Alamin).
Produk Tafsir Ayat Toleransi; "Selamat Natal" Versi Surah Maryam: 33
Saya akan mengambil satu contoh produk tafsir mazhab toleransi yang diusung Zuhairi Misrawi; tentang anjuran mengucapkan selamat natal kepada kaum kristiani. Dikatakan bahwa Al-Qur'an telah memberikan contoh ucapan selamat natal sebagaimana tersurat dalam ayat 33 surah Maryam. (h. 350-357). Dua alasan dikemukakan terkait tidak sepantasnya kita mengharamkan ucapan selamat natal itu. Pertama: selamat natal adalah tradisi keagamaan yang sudah berkembang lama sekali. Kedua: selamat natal adalah ucapan simbolik atas hari bahagia umat Kristen. Sebagai ungkapan bahagia, maka tak ada alasan untuk melarangnya karena hal tersebut justeru salah satu pesan yang dimuliakan dalam Islam. (h. 350)
Saya akan melihatnya berbeda dari perspektif yang dipakai penulis buku. Pertama: redaksi 'wassalamu' yang dinisbahkan kepada nabi Isa 'Alayhi wa 'ala Nabiyyina Afdlalu al-Salam ini diucapkan beliau sendiri ketika ibunda Maryam bint 'Imran dipojokkan dan dituduh kelompok Yahudi bahwa Isa yang baru saja dilahirkan adalah hasil perzinahan. Membantah tuduhan itu, Maryam kemudian menunjuk Isa yang merupakan mukjizat dari Allah swt untuk menepis tuduhan murahan itu (ayat 28-33). Perlu dicatat juga bahwa sebelumnya redaksi seperti ini ditujukan pula kepada nabi Yahya 'Alayhi wa 'ala Nabiyyina Afdlalu al-Salam dengan redaksi 'wasalamun' (ayat 13). Para ulama tafsir dan bahasa menyatakan bahwa jenis redaksi seperti ini sering diungkapkan pada saat dan situasi seorang hamba Allah dalam kondisi sangat lemah, tidak kuasa atas makar dan sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan-Nya. [14] Karena keduanya, baik Yahya maupun Isa sama-sama dikejar dan ditindas Bani Israil. Nabi Yahya
berhasil mereka bunuh, sementara Isa diselamatkan Allah dan diangkat ke langit. Ini belum lagi peristiwa kelahirannya yang menakjubkan dan mengundang kecurigaan luar biasa. Sehingga wajar keduanya menggunakan redaksi Salaam.
Kedua: secara literal dan sepintas redaksi wassalamu diartikan dengan ucapan selamat. Lalu disimpulkan bahwa ucapan selamat natal sudah dicontohkan sendiri oleh nabi Isa as (tentu saja dengan asumsi ketika mengucapkannya kita berkeyakinan bahwa beliau adalah seorang nabi dan hamba Allah). Namun jika kita telusuri beberapa kitab tafsir yang memiliki otoritas ternyata bukan seperti itu yang dimaksudkan rangkaian ayat ini. Justeru dengan pengakuan tersebut, Isa as telah menetapkan bahwa dirinya hanya sebagai hamba yang menyembah Allah swt semata, dia juga sebagaimana makhluk Allah lainnya dilahirkan (hidup), mengalami kematian dan dibangkitkan kembali pada hari pembalasan. Hanya saja beliau akan memperoleh keselamatan sebagaimana para nabi dan rasul lainnya pada hari pembalasan yang keseluruhan manusia sangat sulit untuk memperoleh keselamatan hisab pada hari itu.[15]
Ketiga: sesuai konteks rangkaian ayat di atas dan korelasinya dengan rangkaian ayat selanjutnya (ayat 34-37) yang terjemahannya sebagai berikut: 34. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. 35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia 36. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.37. Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar. Rangkaian ayat ini justru menepis kebolehan mengucapkan selamat natal, seperti diyakini orang-orang Nasrani. Karena rangkaian ayat yang sebelum ini menjelaskan secara gamblang peristiwa kelahiran Isa dari rahim Maryam ibunya yang dirasa sangat tidak mungkin ia kemudian dinobatkan menjadi anak Tuhan; Isa sesungguhnya adalah anak manusia biasa yang dilahirkan melalui "proses yang diluar kebiasaan". Isyarat itu terungkap dari ayat 35.[16]
Keempat: sesuai analisa bahasa dan sastra Arab, fungsi definitif dari "al" pada kata assalamu adalah untuk "semua jenis keselamatan" (al lil jinsi) jika digabungkan dengan konteks rangkaian ayat ini yang merupakan pengingkaran dan penolakan akidah Nasrani, maka ia lebih merupakan sindiran (ta'ridl) untuk melaknat kaum Yahudi atas tuduhan zina kepada Maryam, dan juga bagi kaum Nasrani yang menjadikannya juru selamat. Seakan ayat ini memberi pesan bahwa Isa menyatakan semua keselamatan hanya untuk dirinya dan azab lah yang akan ditimpakan kepada para penentangnya dari umat Yahudi ataupun para pemujanya dari umat Kristiani. Fungsi kebahasaan seperti ini sudah berlaku umum dan menjadi 'urf pemakaian Al-Qur'an. Surah Thaha ayat 48 misalnya menyatakan wassalamu 'ala man ittaba'alhuda, selain makna aslinya ia juga mengandung pesan yang tidak diungkapkan bahwa azab lah yang akan didapat bagi orang yang mendustakan dan berpaling dari petunjuk itu.[17]
Saya hanya ingin mengatakan bahwa berat sekali tugas menganalisa dan mencermati kandungan Al-Qur'an, ia tidak bisa difahami dengan baik hanya secara literal atau mengikuti petunjuk terjemahan lahirnya saja. sehingga wajar jumhur/ulama berpendapat mustahil seorang bisa menterjemahkan Al-Qur'an secara harfiyah, karena kualitas bahasa arab yang sangat tinggi untuk Al-Qur'an. Nah tugas ini akan lebih berat lagi kalau sudah menyangkut ayat-ayat akidah yang fondasional. Paparan saya itu bukan berarti saya sudah menafsiri Al-Qur'an tapi yang saya lakukan adalah mengutip tafsir para ulama yang diakui otoritasnya di bidang tafsir, sebagai amanah ilmiah yang harus disampaikan. Kita tidak perlu berapologi untuk sekedar menampakkan toleransi semu dan munafik, apalagi dengan menggadaikan akidah kita.
Visi Al-Qur'an tentang Pluralitas dan Toleransi
Akhirnya, sebagai etape akhir pembacaan saya atas pembacaan (Qira'ah 'ala Qira'ah) Zuhairi, disini perlu ditegaskan bahwa mengakui eksistensi praktis agama-agama lain yang beragam dan saling berseberangan ini dalam pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan oleh kaum pluralis. Bagi saya sikap yang tepat adalah menerima kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan beragam. Karena Allah swt Yang Maha Bijak telah menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian sistematis dan seimbang; ada baik dan buruk, haq dan bathil, cahaya dan gelap, bahagia dan sengsara. Tapi kehendak Ilahiah ini ada dua macam, merujuk kepada istilah yang dipopulerkan Syekh Muhammad 'Abduh (1849-1903 M), yaitu: 1) kehendak ontologis (iradah kawniyyah) dan 2) kehendak legalistis (iradah syar'iyyah). Di satu sisi, Allah SWT menciptakan sesuatu dan memang
menghendakinya secara ontologis dan legalistis, seperti: kebaikan, kebenaran, iman, malaikat, dan segala sesuatu yang Dia cintai dan ridhai. Tapi di sisi lain, Allah SWT menciptakan sesuatu dan menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara legalistis, seperti: kejahatan, kebatilan, setan, kekufuran dan segala sesuatu yang Dia benci.
Dr. Syekh Yusuf al-Qaradhawi[ 18] menyebutkan empat faktor yang melahirkan sikap toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim: i) keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak untuk dihormati. ii) kayakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas (ontologis) yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam. iii) seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan kelak. (al-Hajj: 69, al-Syura: 15) Dengan demikian hati seorang muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka (al-Mumtahanah: 8), dan dalam waktu yang sama harus berpegang teguh pada kebenaran
keyakinannya sendiri. iv) keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat Adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik (at-Tawbah: 6). Begitu juga Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir (al-Maidah: 8).
Wallahu A'lam bil Shawab.
------------ --------- --------- ---
[1] Makalah disampaikan dalam acara seminar dan bedah buku "Al-Qur'an Kitab Toleransi", karya sdr. Zuhairi Misrawi, Lc. Penerbit: Fitrah, 2007. yang diselenggarakan oleh Program Pasca-Sarjana Kelas Internasional PTIQ-Jakarta pada hari Kamis, 3 April 2008.
[2] Penulis adalah Ketua I LP3MI Nurul Hikmah, Staff Peneliti di INSIST dan PP Ikatan Da'i Indonesia, dan Dosen Tafsir pada STIU DI al-Hikmah, Jakarta Selatan.
[3] Mustafa al-Kaylani, Wujud al-Nash wa Nash al-Wujud (Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1992), hlm. 34
[4] Lihat Ilyas Quwaisim, Isykaliyyat al-Qira'ah fi al-Fikr al-'Araby al-Mu'ashir (Univ. Al-Zaitunah, Tunis: 1998), hlm. 88
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aaliyyat al-Ta'wil (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-'Araby, 1992), hlm. 21
[6] Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aaliyyat al-Ta'wil, hlm. 40
[7] Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aaliyyat al-Ta'wil, hlm. 44
[8] Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aaliyyat al-Ta'wil, hlm. 49
[9] Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aaliyyat al-Ta'wil, hlm. 49
[10] Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aaliyyat al-Ta'wil, hlm. 49
[11] Muhammad 'Imarah, Qira'at al-Nash al-Diniy bayn al-Ta'wil al-Gharbi wa al-Ta'wil al-Islami (Kairo: Maktabah Syuruq, 2006) hlm. 55
[12] Ahmad Wa'izhi: Mahiyyat al-Hermeneutiqa, Jurnal al-Mahajja vol.6, hlm.52
[13] Mahiyyat al-Hermeneutiqa, hlm.54-58
[14] lihat Tafsir al-Muharrar al-Wajiz; Ibnu 'Athiyyah seperti dikutip oleh Imam al-Alusi dalam Kitab Ruh al-Ma'ani vol. 9 juz. 16 h. 107
[15] lihat Tafsir Ibnu Katsir; juz 3 h. 117-118
[16] lihat Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an; juz 4 h. 2308
[17] lihat Tafsir al-Alusi dalam Ruh al-Ma'ani; Opcit. h. 131
[18] Ghairu al-Muslimin fi al-Mujatama' al-Islami: 53-55
0 Komentar