Privatisasi selama ini dianggap untuk kemakmuran masyarakat. Tapi siapa sesungguhnya yang mendapat kemakmuran? bagian pertama dari dua tulisan
Oleh: Hidayatullah Muttaqin
Komite Privatisasi memutuskan menerima usulan Kementerian BUMN untuk memprivatisasi 37 Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN yang diprivatisasi mencakup 34 BUMN yang baru memasuki program privatisasi tahun 2008 dan 3 BUMN yang privatisasinya tertunda di tahun 2007. BUMN-BUMN ini akan diprivatisasi melalui penawaran saham perdana (IPO) di pasar modal dan penjualan langsung kepada investor strategis (strategic sales) yang ditunjuk oleh pemerintah (Bisnis Indonesia, 5/2/2008). Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menyatakan Kementerian BUMN siap melepas seluruh saham pemerintah pada 14 BUMN sektor industri (Bisnis Indonesia Online, 25/1/2008) sedangkan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil menyatakan pemerintah akan menjual 12 BUMN kepada investor strategis (Bisnis Indonesia, 21/1/2008) dari 37 BUMN yang diprivatisasi.
BUMN yang diprivatisasi antara lain: Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makassar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero, Adhi Karya, PT Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PT Inti, Rukindo, dan Bahtera Adi Guna, Kemudian, PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Perkebunan Nusantara VII, dan Sarana Karya, Semen Batu Raya, Waskita Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri. Yodya Karya, Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT Kraft Aceh, PT Dirgantara Industri, Boma Vista, PT Barata, PT Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, dan Industri Kapal Indonesia (Kominfo Newsroom, 21/1/2008).
Keputusan pemerintah melakukan privatisasi besar-besaran sangat mengejutkan. Sebab belum pernah privatisasi dilaksanakan sebanyak 37 BUMN sekaligus dalam setahun. Sejak kebijakan privatisasi dimulai pada tahun 1991, privatisasi terbesar menimpa 4 buah BUMN dalam satu tahun.
Privatisasi paling menghebohkan terjadi pada tahun 2002 ketika pemerintah menjual 41,94% saham Indosat kepada Singapura dengan harga obral US$ 608,4 juta. Padahal tahun tersebut Indosat baru saja membeli 25% saham Satelindo dari De Te Asia senilai US$ 350 juta. Dengan pembelian tersebut kepemilikan Indosat atas Satelindo genap 100% dengan nilai perkiraan US$ 1,3 milyar. Di samping memiliki Satelindo, Indosat juga mempunyai anak perusahaan IM3, Lintasarta, dan MGTI. Pada tahun 2001 penerimaan negara dari pajak dan deviden Indosat mencapai Rp 1,4 trilyun. Jadi dari sisi finansial saja pemerintah Indonesia sangat dirugikan (Hidayatullah: 2002).
Sejak awal privatisasi Indosat sudah tidak transparan. Singapura yang menawar Indosat melalui salah satu sayap bisnis BUMNnya, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) ditetapkan sebagai pemenang. Anehnya, ketika penandatangan persetujuan pembelian saham Indosat, nama pembeli yang muncul bukannya STT melainkan Indonesia Communications Limited (ICL) yang berkedudukan di Mauritius, sebuah negara yang menjadi surga pencucian uang. Kepada Metrotv (29/12/2002) Gus Dur mensinyalir adanya komisi 7 persen atau sekitar 39 juta dolar dari total nilai penjualan yang masuk ke kas PDI-Perjuangan untuk pemenangan pemilu pada tahun 2004 (Hidayatullah: 2002).
Belajar dari kasus privatisasi Indosat, kemungkinan obral besar-besaran BUMN tahun ini merupakan upaya untuk menggalang dana pemenangan pemilu 2009 bisa saja terjadi. Semestinya masyarakat mulai sekarang mewaspadai pengompasan harta negara oleh oknum-oknum rakus dan tamak. Jika tidak, di tengah kesulitan hidup masyarakat saat ini, aset negara terus menyusut sementara asing semakin menguasai negeri ini.
Privatisasi di Indonesia
Kebijakan privatisasi dari tahun 1991 hingga tahun 1997 dilakukan dengan penjualan saham perdana di pasar modal dalam negeri dan pasar moda luar negeri. Tahun 1991 pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik kemudian dilanjutkan pada tahun 1994, pemerintah menjual 35% saham PT Indosat. Tahun 1995, pemerintah menjual 35% saham PT Tambang Timah dan 23% saham PT Telkom, tahun 1996 saham BNI didivestasi 25% dan tahun 1997 saham PT Aneka Tambang dijual sebanyak 35% (www.bumn-ri.com).
Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan untuk menutupi pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya terus membengkak. Tahun 1985 HLN pemerintah sudah mencapai US$ 25,321 milyar. Pada tahun 1991 jumlah HLN pemerintah membengkak dua kali lipat menjadi US$ 45,725 milyar. Jumlah HLN pemerintah terus bertambah hingga tahun 1995 mencapai US$ 59,588 milyar. Pemasukan dari hasil privatisasi BUMN tahun 1995-1997 yang digunakan pemerintah untuk membayar HLN dapat menurunkan HLN pemerintah menjadi US$ 53,865 milyar pada tahun 1997 (Hidayatullah: 2002).
Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi (program penyesuaian struktural) yang didasarkan pada pemikiran ekonomi Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan, (2) swastanisasi perekonomian Indonesia seluas-luasnya, (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi, (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief: 2001).
Di bawah IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan public utilities, peningkatan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan memprivatisasi BUMN. Program privatisasi yang sudah dijalankan Orde Baru dilanjutkan lagi dengan memperbanyak jumlah BUMN yang dijual baik di pasar modal maupun kepada investor strategis. Tahun 1998 pemerintah kembali menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing Cemex. Tahun 1999 pemerintah menjual 9,62%. saham PT Telkom, 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong, dan 49% saham PT Pelindo III investor Australia. Tahun 2001 pemerintah kembali menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo, 11,9% saham PT Telkom. Antara tahun 2002-2006 privatisasi dilanjutkan dengan menjual saham 14 BUMN dengan cara IPO dan strategic sales (www.bumn-ri.com).
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan pengelola website www.jurnal-ekonomi.org
0 Komentar