Bagi kebanyakan umat Islam sedunia, organisi OKI masih terlupakan. Sebab sudah berkali-kali kasus umat Islam tapi tidak mampu berbuat maksimal
Oleh Musthafa Luthfi*
Ketika www.hidayatullah.com menghubungi saya, KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) sedang berlangsung. Berita seputar KTT OKI memang menjadi pemberitaan di mana-mana.
Di media massa Arab, organisasi di tingkat Negara terbesar kedua setelah PBB yang membawahi 57 negara itu banyak mendominasi berita. Sayang, tak ada antusiasme masyarakat Arab, sebagainama sama tak antusiasnya ketika KTT Liga Arab.
Belum lagi sebagian pemimpin utama OKI semisal Raja Saudi, Presiden Pakistan dan Presiden Mesir tidak hadir. Ini belum termasuk suasana KTT Dakar yang kabarrnya diliputi perpecahan di kalangan dunia Arab dan Afrika (seperti Sudan dengan Chad).
Sekretariat Jenderal (Setjen) Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berpusat di Jeddah, Arab Saudi, sebenarnya sejak tahun 2002 menyetujui dan menyambut baik keputusan sidang para Menlu negara OKI di Khartoum untuk menjadikan tanggal 25 September setiap tahun sebagai HUT OKI.
Momentum tersebut menurut Setjen sebagai saat yang tepat untuk mengevaluasi fase-fase yang telah ditempuh OKI dalam mengupayakan kerjasama terpadu antar negara anggotanya yang saat ini berjumlah 57 negara.
OKI yang berdiri sejak sekitar 39 tahun lalu, sebenarnya memiliki tujuan mulia yang sangat didambakan Umat Islam seluruh dunia yang berjumlah lebih dari satu miliar jiwa itu.
Secara umum organisasi terbesar negara-negara Islam ini bertujuan mewujudkan cita-cita seluruh negara Islam untuk terlaksananya pembangunan menyeluruh bagi kebangkitan dan kemajuan.
Yang tak kalah pentingnya juga adalah mewujudkan suatu solidaritas dan integritas seluruh Negara Islam dengan jalan saling bahu-membahu dalam mewujudkan kemitraan antar-negara anggota.
Selama hampir empat dekade umur organisasi tersebut telah dilakukan sebanyak 11 kali KTT termasuk KTT terakhir dan lebih 30 kali konferensi tingkat Menlu (KTM), disamping sejumlah sidang darurat yang dilangsungkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.
Dalam sejarahnya, sidang darurat tersebut umumnya berlangsung sebagai respon atas perkembangan buruk yang terjadi di Palestina. Hal ini tidaklah aneh sebab isu Palestina merupakan isu sentral negara-negara Islam hingga saat ini.
Kelahiran OKI ke dunia nyata juga disebabkan perkembangan buruk yang terjadi di ardul Anbiya (tanah para Nabi) yang juga tempat kiblat pertama Umat Islam sejagat itu.
Konferensi negara-negara Islam pertama di Maroko pada tanggal 12 Rajab 1389 Hijriah atau 25 September 1969 sebagai hari kelahiran OKI, berlangsung setelah pembakaran Masjid Al-Aqsa tanggal 22 Agustus 1969.
Sebagai penghargaan selaku tuan rumah, Maroko hingga saat ini dipercaya oleh seluruh anggota OKI sebagai Ketua Komisi Al-Quds, tentunya dengan tugas sangat berat yakni mengembalikan kota suci tersebut ke pangkuan Palestina sebagai ibu kota abadi.
Keinginan Setjen OKI menjadikan momentum 25 September setiap tahun sebagai kesempatan baik untuk meningkatakan kesadaran Umat Islam seluruh dunia tentang perlunya kesatuan langkah, sikap dan upaya bersama dalam menghadapi tantangan harus didukung dengan sepenuh hati oleh seluruh negara anggotanya.
Ujian berat
Sejak awal kelahiran hingga saat ini masalah Al-Quds dan Palestina tetap sebagai ujian terberat sejauh mana OKI bisa menyatukan langkah negara-negara anggotanya dalam membela tanah suci Umat Islam dan berperan lebih besar guna mencapai cita-cita negara Palestina merdeka dengan ibu kota Al-Quds.
Sebagai contoh sederhana saat terjadi intifada September 2000 sebagai reaksi atas kunjungan provokatif mantan PM Israel, Areil Sharon, pemerintah negara-negara anggota belum mengambil keputusan politis yang menjadikan Intifada sebagai salah satu sarana meraih hak bangsa Palestina disamping perundingan yang diupayakan berbagai pihak.
OKI juga belum satu kata tentang perjuangan bersenjata dan bom syahid dari faksi-faksi Palestina yang berasaskan Islam. Sangat ironi sebagian masih mengikuti idiom-idiom Barat tentang perjuangan bersenjata tersebut.
Keputusan OKI menyangkut Intifada masih sebatas dukungan biasa seperti halnya dukungan rakyat kebanyakan. Otoritas Palestina sendiri masih belum mengeluarkan keputusan politis tegas bahwa Intifada dan perjuangan bersenjata bagian dari perjuangan.
Tapi otoritas Palestina tidak bisa juga disalahkan sendiri. Sikap yang diperlihatkan selama ini merupakan refleksi dari kondisi negara-negara Islam secara keseluruhan, terutama setelah serangan 11 September 2001 atas instalasi vital AS.
Kondisi negara-negara Arab dan Islam saat ini terpaksa berubah dari keinginan berperan lebih besar dalam kancah perpolitikan internasional menjadi mempertahankan diri dari berbagai tudingan yang memojokkan.
Kondisi tersebut membuat keputusan politis seperti itu terkesan masih terlalu berat bagi OKI. Apalagi fokus utama yang menyibukkannya maish berkutat pada upaya mengatasi dampak negatif dari serangan 11 September itu.
Organisasi yang didasari tali satu akidah terbesar itu sedang disibukkan oleh usaha menghadapi propaganda media internasional yang kebetulan dikuasai zionisme guna merehabilitasi citra Islam dan kaum Muslimin. Pada KTT kali ini bertambah satu "PR" lagi yakni strategi menghadapi pelecahan Rasulullah SAW.
Meskipun sekilas gambaran pahit kondisi negara-negara OKI itu sudah cukup jelas untuk tidak menuntut sesuatu yang di luar kemampuannya, namun banyak pihak berharap seyogyanya isu sentral Palestina dan isu terorisme yang memojokkan Islam dijadikan motivasi untuk menyatukan langkah secara nyata.
Seluruh anggota, terutama negara-negara Arab, seharusnya segera keluar dari kecemasan berlebihan. Kita harus berani membuktikan siapa teroris sebenarnya seperti yang pernah dicuatkan mantan PM Malaysia, Dato Mahatir Muhammad.
Negara G-8
Selain gambaran sedih di bidang politik, kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan pun masih jauh dari memuaskan, sebab angka perdagangan antar anggota masih sangat rendah bila dibandingkan dengan angka perdagangan dengan pihak luar.
Padahal semua pihak mengakui bahwa potensi untuk pengembangan semacam pasaran bersama Islam cukup besar, karena selain memiliki sumber alam yang melimpah, sejumlah negara anggota juga sudah cukup maju di bidang industri dan pengadaan sumber daya manusia (SDM).
Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab yang menjadi anggota terkemuka dalam tubuh OKI sebenarnya jauh sebelum Pasaran Bersama Eropa terbentuk sudah menjadikan Pasaran Bersama Arab sebagai keputusan penting Liga.
Keputusan yang hanya hitam di atas putih yang tak pernah dilaksanakan itu, seharusnya bisa dijadikan sumber inspirasi baru dengan pengembangan lebih luas menjadi Pasaran Bersama Islam.
Mengingat masih sulitnya melaksanakan gagasan spektakuler tersebut, sebagai langkah pertama telah didirikan Kelompok-8 (Grup-8) dari anggota OKI yang tergolong cukup maju di bidang industri.
Pembentukan Grup-8 pada akhir 90-an itu yang mirip dengan G-8 negara-negara maju merupakan gagasan PM Turki saat itu, Najmeddin Arbakan, beranggotakan Indonesia, Malaysia, Iran, Pakistan (mewakili Asia), Mesir, Aljazair (mewakili Arab), Senegal (mewakili Afrika), dan Turki (Eropa).
Meskipun kelompok delapan ini belum sepenuhnya berfungsi, namun dengan adanya political will dari seluruh kepala negara kelompok tersebut dan dukungan seluruh anggota OKI sedikitnya lambat laun bisa dikembangkan ke arah integritas ekonomi negara-negara anggota OKI.
Peluang tersebut saat ini semakin terbuka luas terutama setelah banyak investor Arab yang mulai menarik modalnya dari AS menyusul peristiwa serangan 11 September 2001.Menurut laporan yang diyakini kebenarannya oleh para ekonom Arab bahwa untuk tahap pertama sekitar 300-an miliar dolar modal pengusaha Arab yang ditarik dari AS. Ratusan milyaran lainnya juga masih dicarikan lahan investasi di Arab dan negara Islam lainnya termasuk di Asia Tenggara.
Sebenarnya kesalahan tidak hanya di kalangan investor yang banyak menanamkan modalnya di AS. Negara-negara Arab dan Islam juga sebagai penyebab banyak modal yang lari ke Barat dikarenakan sistem dan peraturan yang masih menyulitkan para investor saat itu.
Tidak banyak memang yang diharapkan dari KTT OKI ke-11 di Dakar Senegal yang berlangsung dua hari (13-14 Maret 2008). Modernisasi Piagam OKI yang dicetuskan pada KTT tersebut, mungkin salah satu yang menonjol bila ditindaklanjuti dalam bentuk action.
Dalam situasi sulit saat ini dibarengi dengan peluang besar meningkatkan kemitraan antar negara-negara Islam, yang ada di depan mata, seharusnya solidaritas OKI yang selama ini di mulut segera diubah menjadi solidaritas in action yang didasari perintah Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur`an dan Hadis bukan karena kepentingan duniawi.
Karenanya, tidak biasa disalahkan bila OKI bagi kebanyakan umat Islam sedunia masih terlupakan sebab sudah berkali-kali menghadapi kasus-kasus besar umat Islam tapi tidak mampu berbuat maksimal karena sebagian besar anggotanya masih berada dibawah baying-bayang hegemoni Barat terutama AS.
* Penulis lepas yang mantan wartawan ANTARA. Kini ber mukim di Yaman
0 Komentar